• Kolom
  • NGABUBURIT MENYIGI BUMI #18: Memitigasi Dampak Guguntur dari Gunung Guntur

NGABUBURIT MENYIGI BUMI #18: Memitigasi Dampak Guguntur dari Gunung Guntur

Nama Gunung Guntur terkait peristiwa banjir lahar akibat letusan mahadahsyat di masa lalu. Mitigasi kian penting karena sudah 175 tahun gunung belum meletus lagi.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Kesuburan persawahan di kaki Gunung Guntur, Kabupaten Garut. (Foto: T Bachtiar)

9 April 2023


BandungBergerak.id - Tungku alam raksasa Gunung Guntur terus memanaskan semua air meteorik yang meresap di tubuh gunung. Air yang berada di kedalaman tubuh gunung api direbus menjadi air panas yang keluar di Ciengang, Cipanas, Desa Cimanganten, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut. Sejak lama, mata air panas itu telah dimanfaatkan untuk balneoterapi, terapi kesehatan di bak-bak pemandian.

Di kaki Gunung Guntur, kolam dan persawahan tak pernah kekurangan air, menjadi jalan keberkahan bagi masyarakat di sekitarnya. Pohon kelapa berjajar di pematang, tak henti bercermin di kolam yang luas. Inilah sesungguhnya ciri bumi kawasan Tarogong, yang terus memudar berbarengan dengan semakin hilangnya kolam karena diurug untuk permukiman dan penginapan. Membangun destinasi wisata yang tidak sesuai karakter bumi.

Sebelum memasuki kota Garut dari arah Bandung, dari jalan raya, Gunung Guntur sudah terlihat jelas begitu memasuki Tarogong. Gunung yang besar memayungi kawasan Cipanas. Lerengnya berwarna emas kecoklatan, nyata sekali perbedaannya dengan aliran lava yang meleler pada letusan besar tahun 1840, yang berhenti persis di atas pemandian Cipanas. Leleran lava itu saat ini bentuknya menyerupai sepatu but raksasa sepanjang 2,75 kilometer.

Sebelumnya, telah terjadi 16 kali letusan Gunung Guntur yang melelerkan lava, yang saling menindih. Leleran lava terakhir itulah yang terlihat seperti sungai kering. Ketika lava itu meleler di lereng gunung, ia segera terkena udara. Bagian luar lava itu akan segera mengering, membatu, sementara di bagian dalamnya masih tetap cair dengan suhu 1.100 derajat Celsius, sehingga terus meleler menuruni lereng. Ketika pasokan magma dari dalam berkurang atau habis, kekuatannya akan melemah.

Ketika bagian luar telah membatu, sementara pasokan magma terputus, terbentuklah lorong atau gua lava yang panjang menuruni lereng. Itulah terowongan lava atau gua lava. Karena tidak mampu menyangga bebannya sendiri, atap gua lava yang baru terbentuk itu kemudian ambruk, membentuk aliran lava dengan bagian tengahnya yang cekung, seperti sungai yang kering.

Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #17: Gunung Cinta untuk Laboratorium Kegunungapian
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #16: Jangan Tunggu Terjadi Longsor di Desa Pasanggrahan Purwakarta

Masih banyak warga Garut pada tahun 1960-1070-an menyebut Gunung Guntur itu Gunung Gedé. Penyebutan itu sangat beralasan, karena wujud gunung ini terlihat sangat besar. Gunung ini tidak seperti gunung api lain yang umumnya berkerucut tunggal, atau monokonida, Gunung Guntur berkerucut banyak atau polikonida, disebabkan oleh titik letusannya terus bergeser, terus berpindah. Dengan kerucut-kerucut yang berjajar mulai dari Gunung Masigit, Gunung Sangiangburuan, Gunung Parupuyan, Gunung Kabuyutan, hingga Gunung Guntur. Inilah yang menyebabkan gunung ini terlihat sangat besar.

Gunung Guntur masa lalu pernah meletus dahsyat dan meluncurkan awan panas, jatuhan abu tebal, pasir, kerikil, bom gunung api, dan melelerkan lava. Aliran bahan letusan gunung api mengendap di tubuh gunung, lalu bercampur dengan air hujan, menjadi lahar, menjadi adonan yang dapat meluncur di lereng, di lembah, menimbun dengan seketika apa saja yang dilaluinya. Banjir lahar mahadahsyat inilah yang telah mengubah nama Gunung Gede menjadi Gunung Guntur.

Lahar yang melanda kaki gunung itu meluncur sejauh 7,5 kilometer dari pusat letusan dengan lebarnya sampai 3,5 kilometer. Endapan material jatuhan yang terjadi pada letusan antara tahun 1840-1847 di Cipanas, tebalnya 24 sentimeter, dan di Tarogong 18 sentimeter.

Kaitan antara peristiwa banjir lahar yang sangat besar dengan penamaan gunung ini sangat berkaitan. Kata guntur dalam Kamus Bahasa Sunda yang disusun R Satjadibrata bermakna caah, banjir. Ngaguguntur berarti membersihkan leutak, lumpur kolam dengan bantuan air untuk mendorongnya. Demikian juga dalam Kamus Basa Sunda yang disusun RA Danadibrata, guntur berarti caah gede nepi ka batu-batu nu geledé, tatangkalan kabawa palid, banjir besar yang menghanyutkan batu-batu besar dan pepohonan. Demikian juga dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia yang disusun PJ Zoetmulder, guntur berati banjir dari letusan gunung api, atau berarti meletus, merebah, ambruk, tertimbun (di bawah letusan gunung api).

Kata guntur dalam Gunung Guntur lebih bermakna banjir lahar karena letusan gunung api. Sama halnya dengan kejadian yang terdapat dalam sasakala Gunung Guntur yang mengisahkan Sunan Ranggalawe yang menjadi Raja di Timbanganten, dengan ibukotanya di Korobokan. Sunan Ranggalawe sangat terpukul ketika melihat wilayah kerajaannya hancur luar biasa. Penduduk yang meninggal sebanyak 11.000 jiwa, sebagian lagi mengungsi ke tempat lain, sehingga daerahnya menjadi kosong. Sejak itulah ada yang menyebut Gunung Gede atau Gunung Agung menjadi Gunung Guntur. Ibukota Nagari Timbanganten dipindahkan dari Korobokan ke Tarogong. Dalam legenda ini tergambarkan dengan jelas bahwa kehancuran kawasan itu karena banjir lahar yang dahsyat.

Meski belum ada pentarikhan yang dapat menjawab sakakala itu, letusan gunungnya adalah nyata. Apakah letusan dahsyat yang terjadi antara 110.000 – 80.000 tahun yang lalu, ataukah letusan yang terjadi pada tahun 1690? Sejak tahun 1847 sampai tahun 2022, sudah 175 tahun, Gunung Guntur yang tingginya mencapai + 2.249 meter di atas permukaan laut ini belum meletus.

Melakukan mitigasi, menyiapkan warga secara mandiri dari segala kemungkinan yang akan terjadi bila Gunung Guntur meletus, merupakan tindakan yang bijaksana dan mengandung nilai kemanusiaan yang sangat tinggi. Ada warga di 61 kampung yang berada di dalam radius 5 kilometer dari pusat letusan, yang termasuk ke dalam kawasan yang berpotensi terlanda hujan abu lebat dan lontaran batu pijar, serta ada kawasannya yang berpotensi terlanda aliran awan panas, lava, dan lahar.

Demikian juga ada warga di 155 kampung yang berada di dalam radius 8 kilometer yang termasuk ke dalam kawasan yang berpotensi terlanda hujan abu dan kemungkinan dapat terkena lontaran batu pijar, dan sebagian kawasannya ada yang berpotensi terlanda aliran lahar dan terkena perluasan aliran awan panas, lava, dan guguran puing gunung api. Menyiapkan apa yang harus dilakukan adalah tindakan yang lebih baik daripada panik, tidak tahu apa yang harus dilakukan pada saat kejadian.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//