Gunung Rinjani, Habis Viral Terbitlah Aral
Proyek Seaplane dan Glamping yang direncanakan di zona inti Taman Nasional Gunung Rinjani mengabaikan prinsip ekologis, etika lingkungan, dan kearifan lokal.

Taufik Nurdin
Aktif berkegiatan bersama Gunung Institute dan Perintis Literasi
18 Juli 2025
BandungBergerak.id – Baru-baru ini Gunung Rinjani hangat diperbincangkan. Namun bukan karena panoramanya yang memikat, tapi berita duka yang datang dari puncak gunung yang menjadi primadona para pendaki. Juliana Marins, seorang wisatawan asal Brasil meninggal di lereng puncak Gunung Rinjani (26/6/2025). Sontak peristiwa ini menjadi viral, menyebar cepat di berbagai kanal media sosial dan pemberitaan. Jagat maya riuh, menggulirkan empati, opini, bahkan kritik. Gunung yang selama ini dianggap sebagai tempat pelarian dari rutinitas, kini menjadi saksi bisu atas batas rapuh antara petualangan dan keselamatan.
Dibalik peristiwa itu, ada juga kabar yang bisa saja menjadi duka yang sama yaitu “aral”. Jika merujuk pada KBBI edisi III, aral berarti; rintangan; alangan/alangan yang muncul tidak disangka-sangka. Dalam konteks ini, “aral” bukan sebagai rintangan medan setapak untuk mencapai puncak Rinjani, tapi “aral” menghadapi eksploitasi.
Menurut laporan TribunLombok.com (9 Juli 2025), ratusan demonstran yang tergabung dalam berbagai aliansi masyarakat sipil turun ke jalan, tepatnya di depan kantor Balai TNGR. Mereka menyuarakan penolakan terhadap rencana proyek Seaplane dan Glamping yang diduga akan dibangun di zona inti (Danau Sagara Anak) Taman Nasional Gunung Rinjani oleh PT Surya Perkasa Indah (PT SPI). Ini bukan semata tentang ruang wisata, ini soal ruang hidup. Proyek-proyek semacam itu, yang dibungkus dalam narasi “pengembangan pariwisata berkelas”, sejatinya bisa menjadi jalan sunyi menuju kerusakan ekologis.
Bayangkan saja, “aral” seperti ini tidak menjadi sorotan khalayak yang menjadi perbincangan hangat di jagat maya. Padahal, jika kita lebih dalam lagi menyelami tentang apa itu gunung tentu saja “aral” semacam di atas akan menjadi kabar duka.
Satu hal yang sering luput dari perencanaan pembangunan berbasis wisata adalah anggapan bahwa ruang alam seperti gunung adalah ruang kosong, kosong dari manusia, kosong dari budaya, kosong dari makna. Padahal, bagi masyarakat lokal dan adat, gunung memiliki posisi sentral dalam kosmologi dan kehidupan sosial. Dan yang paling penting, mereka tahu dan mempunyai konsep bagaimana cara memperlakukannya dalam dimensi etis.
Baca Juga: Menjelajah dan Menafsir Gunung Papandayan
Mengunjungi Situs Megalitikum Gunung Padang
Gunung Sebagai Entitas Kosmologis
Pentingnya kita memahami gunung bukan hanya sebagai objek semata, akan membuat awareness terhadap sesuatu yang setidaknya akan mempengaruhi fungsi gunung itu sendiri. Dalam konteks yang lebih luas lagi, bagaimana pengaruh tersebut terhadap lingkungan. Jika kita berkaca pada kosmologinya masyarakat Sunda lampau, gunung bukanlah objek geologis yang menjulang tinggi di kaki langit. Ia adalah entitas hidup yang menyimpan makna kosmis, spiritual, sekaligus sosial. Pandangan ini merefleksikan cara pandang masyarakat Sunda terhadap alam sebagai bagian dari struktur semesta yang terintegrasi, tempat manusia, roh leluhur, dan kekuatan adikodrati saling bersinggungan.
Lebih jauh lagi, pendekatan ekologis terhadap kosmologi Sunda menunjukkan bagaimana gunung dipandang sebagai penjaga kesuburan dan siklus air. Oleh karena itu, kerusakan gunung tidak hanya berarti bencana ekologis, tetapi juga dianggap sebagai kerusakan kosmis gangguan terhadap tatanan semesta.
Di Lombok, masyarakat Sasak juga menempatkan Gunung Rinjani sebagai tempat sakral. Setiap tahun, ritual pekelem dilakukan di Danau Segara Anak sebagai bentuk persembahan kepada penjaga gunung. Bagi mereka, gunung bukan ruang mati, melainkan ruang hidup yang harus dijaga keharmoniannya.
Melupakan aspek spiritual dan budaya ini sama saja dengan mereduksi gunung menjadi sebatas tempat indah untuk berswafoto.
Ekologis dan Spiritualitas: Mengembalikan Martabat Gunung
Narasi kosmologis ini bukan sekadar cerita lama, tetapi bisa menjadi fondasi bagi pendekatan ekologis hari ini. Ketika pembangunan modern mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal, kerusakan sering kali menjadi keniscayaan. Lalu, apakah proyek Seaplane dan glamping ini mengindahkan prinsip ekologis dan etika lingkungan? Ataukah hanya sebuah “kemewahan buatan” yang menafikan fungsi gunung sebagai penyangga kehidupan?
Penting untuk diingat bahwa zona inti taman nasional bukanlah ruang untuk dimodifikasi demi kenyamanan wisatawan elite. Ia adalah ruang konservasi, ruang sunyi yang justru harus dibiarkan tetap alami sebagaimana mestinya. Sebab gunung tidak bisa disulap menjadi wahana tanpa konsekuensi ekologis. Jika kita terus melihat gunung sebagai objek wisata semata, maka kita membuka pintu pada “aral” yang lebih besar.
Namun, dalam hiruk-pikuk dunia yang katanya modern yang kerap mengedepankan kenyamanan dan eksklusivitas, makna gunung sebagai ruang sakral dan ekologis mulai tergerus. Proyek Seaplane dan Glamping yang direncanakan di zona inti Taman Nasional Gunung Rinjani bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan simbol dari pergeseran paradigma: dari pelestarian menjadi komersialisasi.
Peristiwa meninggalnya Juliana Marins di lereng Rinjani menjadi momentum reflektif: bahwa gunung bukanlah tempat untuk ditaklukkan, ini menjadi pengingat akan risiko dan batas rapuh manusia di hadapan alam. Namun di balik duka personal itu, ada potensi luka ekologis yang jauh lebih luas dan terstruktur: ancaman terhadap kelestarian Rinjani akibat proyek-proyek eksploitatif yang mengabaikan asas ekologis dan keadilan ruang. Dan “aral” yang kini muncul dalam bentuk proyek-proyek komersial itu harus dilihat sebagai peringatan bahwa kita sedang berada di persimpangan antara pelestarian dan eksploitasi. Jika duka yang terjadi pada satu jiwa bisa begitu mengguncang, maka ancaman terhadap kelestarian sebuah ekosistem semestinya jauh lebih mencemaskan.
Jangan sampai kita gagal memilih jalan yang bijak, maka bukan hanya Rinjani yang akan kehilangan makna, tetapi juga kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam. Jika pendekatan pembangunan tak berpihak pada keberlanjutan, maka kita sedang menggali lubang bencana ekologis. Rinjani tak hanya membutuhkan narasi keindahan, tetapi juga komitmen perlindungan dan penyadartahuan terhadap apa itu gunung.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB