• Berita
  • Mempertanyakan Unsur Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual dalam Revisi KUHAP

Mempertanyakan Unsur Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual dalam Revisi KUHAP

Revisi KUHAP memunculkan banyak pertanyaan dari sisi kasus kekerasan seksual, apakah pasal-pasal yang ada benar-benar memberikan ruang aman bagi korban?

Himpunan Mahasiswa Satrasia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia menggelar diskusi tentang KUHAP bertajuk Langkah Melawan Fasisme dan Bagaimana KUHAP Menghambatnya di UPI Bandung, Selasa, 9 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 22 September 2025


BandungBergerakRevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dianggap terburu-buru, tidak matang, dan berisiko merugikan masyarakat sipil. Pembahasan RKUHAP dinilai kurang mempertimbangkan kepentingan publik dan partisipasi masyarakat. Diskusi terkait perlindungan korban kekerasan seksual pun tampaknya tidak mendapat perhatian yang cukup dalam proses revisi ini.

Pada diskusi bertema “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual serta Posisi Pendamping Korban dalam Proses Peradilan”, yang diselenggarakan di Gedung LPPM UPI, Bandung, pada Jumat, 19 September 2025, berbagai kelemahan RKUHAP terkait perlindungan korban kekerasan seksual dibahas dengan kritis.

Obertina Modesta dari Women Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang menyampaikan bahwa RKUHAP tidak cukup tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual. Ia mencontohkan, korban kekerasan seksual yang melapor justru bisa menjadi tersangka jika konten seksual direkam tanpa persetujuan dan disebarluaskan, mengacu pada UU ITE. Hal ini, menurut Obertina, menunjukkan kurangnya mekanisme yang jelas dalam melindungi korban. Tanpa prosedur yang operasional, korban yang melapor bisa malah dianggap sebagai pelaku.

Selain itu, RKUHAP berisiko mengkriminalisasi korban yang menghapus bukti berupa foto atau video yang dikirim oleh pelaku, sebagai bagian dari upaya menghilangkan jejak traumatis.

"Ketika seseorang melapor, polisi harus segera bertindak. Namun, di dalam KUHAP saat ini, hal ini tidak diatur dengan tegas, padahal itu sangat penting bagi korban," ujar Obertina.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, kekerasan seksual di ranah publik tercatat sebanyak 1.830 kasus, dengan tiga di antaranya terjadi di fasilitas kesehatan.

Obertina menilai bahwa meskipun KUHAP terlihat netral gender, ia tidak menyadari bahwa struktur patriarki masih sangat kuat dalam masyarakat. Asumsi kesetaraan di hadapan hukum justru mengabaikan adanya bias tak sadar yang bisa merugikan kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.

"Saya melihat bahwa RKUHAP belum secara rinci mencantumkan hak-hak disabilitas, perempuan, dan lansia. Hal ini perlu diperhatikan dengan lebih kritis," tambah Obertina.

Salah satu peserta diskusi, Fitriani Yuliawati, berpendapat bahwa RKUHAP masih lebih fokus pada perspektif pelaku dan belum memperhatikan posisi korban, terutama dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat. Hal ini mencerminkan bahwa pembuat kebijakan lebih memikirkan kepentingan kelompoknya daripada mempertimbangkan kebutuhan korban.

Menurut Great Research Student Center (Great) UPI, penyelenggara diskusi ini, kekerasan seksual bukan hanya masalah kriminalitas, tetapi juga luka psikologis jangka panjang bagi korban. Sayangnya, hal ini sering kali luput dari pembahasan dalam RKUHAP.

Dalam banyak kasus, korban kekerasan seksual merasa terjebak dalam sistem hukum yang tidak berpihak, di mana suara mereka sering diragukan dan proses hukum berjalan lambat.

Baca Juga: Aksi Kamisan Jatinangor Mengajak Melek terhadap Ancaman KUHAP
BEM SI Jabar Turun ke Jalan, Menolak Pengesahan RKUHAP

Pasal-Pasal Krusial yang Memiliki Potensi Penyalahgunaan

Deti Sopandi dari PBHI Jawa Barat menyoroti beberapa pasal yang berpotensi disalahgunakan, seperti Pasal 5 huruf d RKUHAP yang memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk melakukan berbagai tindakan hukum. Pasal ini, menurut Deti, membuka peluang bagi penyelidik untuk melakukan tindakan yang lebih luas dan dapat disalahgunakan untuk menekan individu yang dicurigai.

Selain itu, Pasal 16 yang mengatur cara-cara penyelidikan, seperti pembuntutan, penyamaran, dan pembelian terselubung, juga dianggap berisiko melanggar hak-hak individu.

Deti berharap RKUHAP terus dikritik dan didiskusikan secara terbuka agar masyarakat umum memahami betapa pentingnya perangkat hukum ini dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk tetap teguh dalam melawan aturan-aturan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

"Edukasi yang kreatif, melalui media sosial atau diskusi nonformal, sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat," ujar Deti.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//