• Kampus
  • Tragedi Penari Janger dalam Lakon Teater Awal di UIN SGD Bandung

Tragedi Penari Janger dalam Lakon Teater Awal di UIN SGD Bandung

Tragedi 1965 meninggalkan trauma mendalam bagi Srengi, seorang penari janger di Bali sekaligus penyintas peristiwa kelam di masa lalu.

Lakon teater Janger Merah dari kelompok Teater Awal yang pentas di UIN SGD Bandung, Rabu, 17 September 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam24 September 2025


BandungBergerak - Gelap dan mencekam mengiringi pementasan Teater Awal di Gedung Abdjan Soelaeman, UIN SGD Bandung, Rabu, 17 September 2025. Mengusung tema Janger Merah, Teater Awal menceritakan peristiwa kelam Tragedi 1965 di Bali.

Lakon ini diawali cerita keluarga kecil Srengi dan Sudra yang tinggal di sebuah kampung. Setelah kejadian 30 September di Jakarta, teror dan intimidasi terus membayangi mereka sepanjang hari. Puncaknya saat malam hari, warga yang sudah lama jengah dengan kelompok merah, merujuk pada Partai Komunis Indonesia (PKI), memburu mereka beserta keluarganya.

Srengi, tokoh utama sekaligus istri Sudra adalah penari Janger yang jadi primadona di kampungnya. Menjelang pemilihan umum, Srengi sering tampil menari di acara kampanye partai.

Tarian Janger awalnya diciptakan pada tahun 1930-an dari aktivitas petani kopi untuk menghibur diri. Bernasib sama dengan lagu Genjer-genjer, tarian Janger selalu dikaitkan kegiatan PKI.

Sejak awal pementasan, audiens sudah dibuat merinding dan gemetar dengan suara keras dari pukulan pintu yang memaksa sang pemilik rumah keluar. Mereka berteriak dari berbagai penjuru meminta Sudra untuk keluar.

Di dalam rumah Sudra dan Srengi berpelukan ketakutan. Sudra memberanikan diri keluar. Srengi tetap di dalam rumah.

Sudra langsung menjadi bulan-bulanan warga yang terhasut berita dari Jakarta. Tubuh Sudra yang kecil tak berdaya menerima berbagai siksaan, diiringi gesekan cello dengan nada rendah yang menyatat.

Di saat Sudra sekarat, perhatian massa tertuju pada Srengi. Ia diculik dengan leher ditodong bedog. Srengi dipaksa untuk mengeluarkan informasi terkait gerakan warga yang dicurigai kelompok merah.

50 Tahun Kemudian

Setelah 50 tahun kejadian kelam itu, arwah-arwah yang mati karena dibunuh secara keji masih bergentayangan tanpa kepala. 

Alit, cucu Srengi yang masih duduk di bangku SD, semangat menyanyikan lagu Janger. Dia akan tampil menari janger dan bernyanyi di sekolahnya. 

Srengi yang hidup dengan suami baru, Suana, melarang Alit untuk tampil dan menyanyikan lagu tersebut. Ia teringat suaminya yang pertama dibunuh dan mayatnya dibuang entah ke mana. 

“Kita ini bukan anak seniman, ngapain ikut-ikutan seperti itu,” ujar Srengi.

Rumah Srengi dan Alit dihuni dua makhluk tak kasat mata berupa sosok-sosok tanpa kepala. Kedua arwah selalu mempertanyakan mengapa mereka dipenggal tanpa alasan yang jelas. 

“Kita ini bukan dilupakan, tapi ditutup rapat-rapat,” ujar salah satu arwah kepada rekannya.

Trauma yang Membekas

Srengi hidup bersama Suana dengan memikul beban masa lalu. Srengi masih dianggap pelacur kaum merah. Peristiwa kelam itu masih menghantuinya hingga tua. Kerap kali bayangan itu muncul saat dia tertidur. Rasa trauma dan dendam membuatnya depresi.

Srengi masih menyimpan belati bekas memenggal suami pertamanya. Suana yang tak mengetahui Srengi menyimpan belati itu menganggap Srengi penghianat.

“Kau pembohong dan penghianat Srengi!” ujar Suana. 

Umpatan itu sering terlontar kepada para korban yang dianggap sebagai kaum merah. 

Belakangan Srengi mengetahui bahwa Suana sebagai salah satu yang membunuh suaminya. Waktu itu Suana dalam posisi tak punya pilihan.

“Kalau kami tak mau membunuh, maka kami yang akan dibunuh,” ujar Suana.

Lakon ini ditutup tarian janger oleh Alit. Para korban pembunuhan sudah dikuburkan secara layak menurut istiadat masyarakat Bali. Para arwah sudah tenang setelah 50 tahun dibuang dan dilupakan.

Baca Juga: Teater Payung Hitam Dilarang Menampilkan Lakon Wawancara Dengan Mulyono, Kebebasan Berekpresi Kampus ISBI Dibungkam
Teater Adhikara: Realitas Guru Perempuan, Digaji Kecil Diganjar Stigma

Mengangkat Cerita yang Dikubur Paksa

Pertunjukkan ini berasal dari karya Ibed S. Yuga, penulis dan aktif di teater. Hendi Bugs, sutradara lakon ini menyebut bahwa Srengi adalah salah satu contoh penyintas tragedi 1965. Sepanjang hidupnya Srengi mendapat tuduhan tanpa pengadilan. 

“Ingatan itu tak bisa dilupakan,” ujar Bugs, usai pementasan. 

Terkait tarian Janger, ia menjelaskan sejak zaman kolonial budaya tersebut sering dibawakan oleh kaum proletar sebagai hiburan. Namun tarian tersebut kemudian dikaitkan dengan peristiwa kelam 1965.

“Aktivis seni di sana menjadi target pembantaian itu sendiri,” tuturnya. “Padahal mereka tak tahu apa-apa, tapi dituduh.” 

Ia berharap, pementasan ini bisa membawa pesan agar tragedi di masa lalu tak terulang lagi.

“Semoga kita bisa terjaga dari segala provokasi atau hasutan orang-orang yang memang punya niat yang buruk untuk diri kita, untuk bangsa dan negara,” tandasnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//