• Berita
  • KAMPUNG NAGA #2: Corak Islam dalam Hajat Sasih dan Kesenian Terbang Gembrung

KAMPUNG NAGA #2: Corak Islam dalam Hajat Sasih dan Kesenian Terbang Gembrung

Upacara Hajat Sasih dan kesenian Terbang Gembrung di Kampung Naga menjadi potret asimilasi antara tradisi leluhur dan pengaruh agama Islam.

Pemain Terbang Gembrung Kampung Naga duduk berjejer sesuai dengan ukuran alat musik yang dimainkannya dan semua pemainnya laki-laki. (Foto: Dokumentasi Merrina Listiandari)

Penulis Merrina Listiandari26 September 2025


BandungBergerak – Jawa Barat kaya akan tradisi yang diwariskan oleh para karuhun. Warisan budaya ini terutama yang masih digenggam erat oleh komunitas-komunitas adat yang tersebar di berbagai daerah. Meskipun dunia terus berubah seiring perkembangan zaman, kehidupan komunitas-komunitas adat tetap bertahan seolah mereka terpisah dari dinamika masyarakat perkotaan.

Kehidupan di kampung-kampung adat mungkin terlihat statis, namun justru itulah yang menjadi ciri, keunggulan, dan keindahan masyarakat adat yang tetap setia menjaga akar tradisinya. Salah satunya adalah Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung ini tetap teguh memelihara tradisi dan budaya leluhur seperti upacara Hajat Sasih yang bernuansa Islam dan kesenian Terbang Gembrung yang khas.

Setelah beberapa menit alat musik terbang ditabuh, para penonton diajak menari bersama. (Foto: Dokumentasi Merrina Listiandari)
Setelah beberapa menit alat musik terbang ditabuh, para penonton diajak menari bersama. (Foto: Dokumentasi Merrina Listiandari)

Tradisi Hajat Sasih di Kampung Naga

Upacara Hajat Sasih memiliki posisi yang sangat tinggi bagi masyarakat adat Kampung Naga. Upacara ini dinilai setara dengan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji bagi umat Islam pada umumnya. Asimilasi budaya Islam dipadu dengan adat istiadat yang secara turun-temurun diajaran para karuhun tampak sangat kental.

Hajat Sasih merupakan hajat terbesar dan sangat disakralkan sekaligus ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kampung Naga. Pelaksanaan Hajat Sasih dilakukan sebagai puncak dari 6 upacara dalam satu tahun yang mengambil bulan-bulan Islam dalam perayaannya, yaitu Muharram, Rabiul Awal, Jumadil Akhir, Sya’ban, Syawal, dan Dzulhijjah. Upacara Hajat Sasih sendiri  dilakukan secara besar-besaran dan dirayakan tidak hanya oleh masyarakat Kampung Naga yang masih tinggal di wilayah adat, tapi juga oleh masyarakat yang sudah tinggal di wilayah lain.

Kampung Naga memang menetapkan aturan tentang jumlah penduduk yang tinggal di wilayahnya. Saat ini Kampung Naga dihuni 287 jiwa dari 102 kepala keluarga. Jumlah ini tidak boleh berubah. Aturan ini bukan karena larangan tertentu atau tabu, namun lebih kepada menekankan pada penyesuaian jumlah penduduk untuk menghuni kampung dengan luas hanya 1,5 hektare.

Terbatasnya kemampuan Kampung Naga dalam menampung penduduknya menyebabkan keturunan mereka berkembang di tempat lain setelah terjadinya pernikahan. Karenanya upacara Hajat Sasih menjadi hari raya sekaligus ajang berkumpul atau silaturahmi keluarga.

Upacara Hajat Sasih dilakukan selama sehari penuh dan diselenggarakan besar-besaran. Ritual yang telah dilakukan secara turun-temurun ini bertujuan untuk mendapatkan keberkahan serta restu dari Sembah Dalem Eyang Singaparna. Ritual ini terdiri dari doa bersama, pembersihan makam Sembah Dalem Eyang Singaparna dan Tempat Pangsolatan yang sangat disakralkan oleh masyarakat adat. Semua ini dilakukan oleh para pria yang dipimpin oleh kuncen. Sementara itu, para perempuan bertugas menyiapkan makanan, termasuk tumpeng khusus.

Selama penyelenggaraan Hajat Sasih Kampung Naga menutup akses masuk ke wilayah kampung mereka bagi para pendatang atau turis yang bukan warga dan keturunan kampung adat. Bagi mereka ini adalah upacara sakral dan bukan tontonan wisata.

Baca Juga: KAMPUNG NAGA #1: Harmoni Budaya Islam di Kampung Adat
NGULIK BANDUNG: Kampung Naga, Kehilangan Jejak Sejarah Akibat Peristiwa Kelam

Alat musik terbangan yang digunakan dalam Terbang Gembrung di Kampung Naga. (Foto: Dokumentasi Merrina Listiandari)
Alat musik terbangan yang digunakan dalam Terbang Gembrung di Kampung Naga. (Foto: Dokumentasi Merrina Listiandari)
Alat musik terbangan yang digunakan dalam Terbang Gembrung di Kampung Naga. (Foto: Dokumentasi Merrina Listiandari)
Alat musik terbangan yang digunakan dalam Terbang Gembrung di Kampung Naga. (Foto: Dokumentasi Merrina Listiandari)


Kesenian Terbang Gembrung

Kampung naga memiliki beberapa jenis kesenian buhun, di antaranya dua jenis kesenian terbang yaitu Terbang Gembrung dan Terbang Sejak, serta angklung dan gambang. Namun yang paling terkenal dan memiliki filosofi yang erat hubungannya antara manusia dan Tuhannya adalah kesenian Terbang Gembrung, kesenian yang menggunakan terbangan, sebuah alat musik tepuk atau dipukul menggunakan tangan yang mirip dengan rebana.

Asal usul penamaan kesenian ini berasal dari kata terbang yang berarti ngapung dalam bahasa Sunda. Masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa Allah berada di langit ke-7 dan perlu terbang untuk mencapainya. Ini disimbolkan dengan menggunakan alat musik terbangan (Nugraha,2014). Karenanya kesenian ini hanya dimainkan pada saat-saat tertentu melalui upacara-upacara penting di bulan-bulan Islam.

Kesenian terbangan sebenarnya tidak hanya ada di Kampung Naga, banyak daerah priangan yang juga memiliki kesenian semacam ini. Daerah-daerah seperti Majalaya, Tasikmalaya, serta Cirebon yang memiliki sejarah penyebaran agama Islam juga mengenal jenis kesenian terbangan. Yang membedakan dengan Terbang Gembrung di Kampung Naga salah satunya terdapat pada irama tepukan dengan nada lebih sederhana, juga ukuran alat musiknya yang lebih besar (Saringendyanti, 2008).

Alat musik terbangan yang digunakan dalam Terbang Gembrung di Kampung Naga terdiri dari empat jenis. Pertama, ada tingting yang ukurannya lebih kecil dari kemprang, kemudian kemprang yang lebih kecil dari barupak, barupak yang lebih kecil dari brumbung, alat musik terbangan terbesar. Tingting dan kemprang biasanya digabungkan dengan kayu penyambung dan dapat dimainkan oleh satu orang. Pemain Terbang Gembrung duduk berjejer sesuai dengan ukuran alat musik yang mereka mainkan dan seluruh pemainnya adalah laki-laki.

Kesenian Terbang Gembrung berisi puji-pujian kepada Allah serta selawat nabi yang diiringi oleh alat musik terbangan yang memiliki irama khas saat ditepuk. Kesenian ini sangat sakral bagi masyarakat Kampung Naga karena menggambarkan penghambaan seorang manusia kepada Tuhannya. Terbang Gembrung hanya dimainkan pada saat-saat tertentu, seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad, peringatan pertengahan bulan Hijriah di bulan Jumadil Akhir, penyambutan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka tak heran kesenian ini dianggap sebagai salah satu sarana penyebaran Islam di Priangan pada kisaran abad ke-17.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//