Cerita dari MBG Cipongkor, Mengapa Keracunan Massal Berulang?
Program MBG sebagai solusi untuk mengatasi stunting memunculkan tanda tanya tentang jaminan pemenuhan hak dasar masyarakat atas pangan yang aman dan berkualitas.
Penulis Tim Redaksi29 September 2025
BandungBergerak - Lalu lalang ambulans menembus hujan angin di wilayah dataran tinggi Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, 24 September 2025. Kendaraan-kendaraan itu membawa pelajar korban keracunan makan bergizi gratis (MBG) dari posko darurat penanganan korban keracunan MBG di aula kantor Kecamatan Cipongkor untuk dirujuk ke RSUD Cililin.
Ratusan pelajar dari jenjang Paud, SD, SMP, dan SMA mendapat perawatan di posko Kecamatan Cipongkor. Sekitar 100 unit ambulans dari berbagai wilayah bersiaga di halaman kecamatan, ditambah ratusan relawan medis yang ikut berjaga.
Di dalam aula, pelajar terbaring di atas velbed. Selang di lengan mereka terhubung dengan tabung infus yang menggantung di tali plastik yang membentang. Sejumlah petugas medis lalu lalang memeriksa mereka. Sebagian pelajar dirujuk ke RSUD Cililin untuk tindakan lebih lanjut.
Pelajar Ai Windi, 9 tahun, dan Rinad, 14 tahun, terbaring lemah akibat keracunan paket MBG di sekolah mereka, SDN Sirnagalih dan MTs Muslimin Cipongkor.
“Anak saya merasa mual, sesak napas, dan demam,” kata orang tua mereka.
“Saya mengalami sesak napas, sakit di sekitar perut, mual dan demam juga,” kata Rinad.
Murid MA Syarif Hidayatullah, Nurul, 16 tahun, dan Azmi, 17 tahun, juga mendapat perawatan di Puskesmas Citalem, Cipongkor. Karena ruang rawat dan ruang periksa penuh, keduanya dirawat di teras depan.
“Saya mengalami sesak napas, mual, dan muntah-muntah,” kata Nurul.
Azmi mengalami gejala serupa sehabis makan MBG. “Sesak dan muntah,” kata Azmi.
Ini adalah kali kedua keracunan MBG di Cipongkor pada 24 September 2025. MBG berasal dari dapur SPPG Neglasari yang membuat 3.986 paket. Salah satu orang tua murid, Maman, 55 tahun, kapok dengan program MBG di sekolah anaknya di MTs Muslimah Cipongkor.
“Mending sudah saja di stop daripada jadi repot begini,” katanya.

Nur Jana, 38 tahun, diselimuti rasa khawatir setelah anaknya yang sempat dibolehkan pulang harus kembali ke posko. Ia takut kondisi anaknya tiba-tiba memburuk.
“Harapan ibu mah udah aja tutup (dapurnya). Dihentikan aja (MBG),” ujarnya.
Hal serupa dirasakan Siti Fatimah setelah menyantap MBG Posyandu dengan menu ayam geprek, tumis tahu, timun, sambal, selada, dan buah stroberi. Ia mengaku hanya memakan potongan tahu. Gejala mulai terasa sejak siang hari.
“Kemarin sudah terasa jam 12 siang, sakit pundak, tapi saya minum air kelapa jadi agak mendingan. Tapi malam lemas dan pagi-pagi sampai sekarang lemas dan mual serta tenggorokan sakit,” terangnya.
Posko kantor kecamatan terus menerima pelajar yang mengalami gejala keracunan. Seorang petugas di lapangan tidak bisa menyebut jumlah pasti korban, namun diperkirakan lebih dari 300 orang. Belakangan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung menghitung jumlah korban lebih dari 1.000 korban.
Kasus pertama keracunan terjadi pada 22 September 2025. Kejadian ini kemudian ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) pada 23 September 2025.
Para korban dirawat di posko darurat di aula kantor Kecamatan Cipongkor. Sebagian lainnya ditangani di Poned Puskesmas Cipongkor. Pelajar dengan kondisi lebih parah atau demam tak kunjung membaik dalam dua hari langsung dirujuk ke RSUD Cililin.
Bagaimana Dapur MBG Bekerja?
Ada 85 dapur SPPG yang sedang dievaluasi di Kabupaten Bandung Barat karena tidak memiliki sertifikasi sehat. Berdasarkan data Badan Gizi Nasional (BGN), terdapat delapan SPPG yang beroperasi di Cipongkor, tersebar di Desa Neglasari, Cijambu, Cijenuk, Citalem, Sarinagen, Sukamulya, dan Sirnagalih.
Per 22 September 2025, terdapat 8.583 dapur SPPG di sejumlah daerah di Indonesia, namun baru 34 yang memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi.
BandungBergerak menghimpun informasi bagaimana cara kerja dapur MBG atau SPPG. Dapur Makmur Jaya Desa Cijambu salah satu dapur MBG di Kabupaten Bandung Barat. Dapur di bawah Yayasan Rajib Putra Barokah ini tidak terkait dengan keracunan masal.
Kepala SPPG Yayasan Rajib Putra Barokah Ikbal Maulana menjelaskan proses operasional dari memasak hingga pengemasan. Masak dimulai pukul 23.00 WIB hingga selesai pukul 03.00 WIB, lalu distribusi dilakukan pukul 07.00 WIB. Menurutnya, semua sesuai SOP dengan melibatkan 54 orang petugas ditambah ahli gizi.
“Ada filterisasi SDM, sebelum masuk semua dicek,” ujar Ikbal.
Ikbal menyebut, persiapan masak dilakukan sejak sore, dimulai mencuci, memotong bahan, lalu mengolah. Semua bahan baku disortir agar tidak ada yang tidak layak.
“Jadi pengelolaan sesuai SOP. Soal stroberi yang katanya ada ulat, itu bukan dari dapur sini. Kalau sayuran atau tomat ada ulat, biasanya sudah terlihat saat sortir, jadi tidak bisa masuk dapur,” jelasnya.
Dapur SPPG yang dipimpin Ikbal memproduksi harian 3.567 porsi untuk 23 sekolah di Desa Cijambu dari tingkat SD hingga SMA. Pengawasan dilakukan ahli gizi.
Disinggung mengenai kasus keracunan, Ikbal tidak mau berandai-andai.
“Belum bisa menyebutkan mengenai keracunan hingga terbit hasil lab,” katanya.
Pengawasan Program MBG
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah salah satu tujuannya untuk menangani stunting dan memperbaiki gizi masyarakat. Sasarannya anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, hingga balita.
Namun sejak diberlakukan Januari lalu, program ini menuai banyak masalah: makanan basi, food tray impor diduga mengandung babi, dapur fiktif, hingga keracunan massal di berbagai daerah.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat 5.626 kasus keracunan makanan di 17 provinsi sejak 6 Januari hingga 19 September 2025. Angka ini terus bertambah, termasuk kasus besar di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat.
Ketua Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebut penyebab KLB Cipongkor adalah kesalahan teknis dapur baru Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
“Keterangan awal kan menunjukkan bahwa SPPG itu memasak terlalu awal sehingga masakan terlalu lama. Dan tadi pagi, kita sudah koordinasi dengan seluruh SPPG yang baru yang beroperasional satu bulan terakhir, kemudian kita minta agar mereka mulai masak di atas jam setengah dua agar waktu antara masak processing dengan delivery-nya tidak lebih dari 4 jam,” jelas Dadan, dikutip dari laman resmi BGN.
Baca Juga: 1.000 Lebih Korban Keracunan Setelah Menyantap MBG di Kabupaten Bandung Barat, Perlu Moratorium dan Evaluasi agar Malapetaka tak Terulang
Salah Kaprah Pemerintah Soal Kasus Keracunan pada Makan Bergizi Gratis
Proses Mudah Menjadi SPPG
Di laman resmi mitra.bgn.go.id, prosedur menjadi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi cukup sederhana. Calon mitra hanya perlu mendaftar akun dengan identitas instansi, email, nomor HP, alamat, KTP, dan logo.
Dokumen yang dilampirkan juga ringan: NIB, SK Kemenkumham, Akta Badan Usaha, dan NPWP. Setelah itu dilakukan verifikasi dan validasi. Untuk lokasi dapur, calon mitra mengajukan data, diverifikasi, lalu disurvei sebelum diputuskan kelayakannya.
Calon mitra juga diminta untuk melengkapi pengajuan lokasi calon SPPG. Alur yang diberlakukan pun tidak jauh berbeda. Calon mitra hanya perlu mengirim pengajuan, melengkapi validasi data, mempersiapkan tempat SPPG. Setelahnya pertugas survei akan melakukan peninjauan lapangan dan melakukan rapat untuk menentukan kelayakan calon SPPG tersebut.
Namun, dari dokumen resmi BGN, standar pengolahan makanan tidak dijelaskan tegas. Bahkan peralatan dapur, instalasi, hingga alat keselamatan kerja hanya bersifat opsional. Padahal aspek tersebut penting untuk menjamin higienitas makanan.
Sebagai perbandingan, di Jepang yang punya program serupa MBG bernama Kyushoku, dijalankan berbasis Undang-Undang Shokuiku (Pangan dan Gizi). Program ini berjalan dengan dua sistem dapur (mandiri di sekolah dan dapur pusat) serta melibatkan ahli gizi dalam penyusunan menu.
Penelitian Althaf Gauhar Auliawan dan Windy Harsiwi dari Universitas Diponegoro menilai keberhasilan Kyushoku karena dasar hukum jelas dan berfungsi sebagai bagian dari pendidikan gizi.
“Program Kyushoku di Jepang tidakhanya dijadikan sebagai ‘proyek’ semata, tetapi juga dijadikan salah satubagian dari pendidikan, khususnya pendidikan giziuntuk anak-anak dan keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan,” tulis keduanya.

Evaluasi MBG
Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat Eka Mulyana prihatin dengan kasus berulang ini. Ia menilai MBG program baik, tetapi pelaksanaan SPPG, pemilihan bahan pangan, dan fasilitas harus dievaluasi menyeluruh.
“Itu semua jadi bahan evaluasi. Apakah di situ, di salah satu alur itu, terjadi hal-hal yang tidak diharapkan tersebut,” kata Eka dalam percakapan daring, 24 September 2025.
Eka menyarankan pemerintah membentuk tim khusus untuk mengusut kasus ini dan memperketat proses dari perencanaan bahan, produksi, hingga distribusi.
Penelitian The Indonesian Institute dan Center for Public Policy Research (TII) juga menekankan sisi kesehatan, keamanan, dan kebersihan dari makanan program MBG sejak bermunculannya kasus keracunan massal.
Peneliti menyarankan evaluasi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang disepakati dalam proses penentuan menu untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sisi kebersihan, Badan Gizi Nasional perlu memastikan bahwa mitra SPPG sudah mendapatkan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagaimana yangtercantum dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan.
Pemerintah juga turut memastikan bahwa SPPG pun sudah menjalani pelatihan metode HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
“Metode HACCP menjadi poin penting dalam proses penjaminan mutu karena dapat menjadi pedoman yang jelas bagi tenaga kerja SPPG dalam mengolah makanan MBG dari tahap pra produksi hingga distribusi makanan,” demikian laporan hasil penelitian The Indonesian Institute dan Center for Public Policy Research (TII).
Ketiadaan sertifikasi dan kepastian standariasi terhadap SPPG menjadi sorotan betapa lemahnya pengawasan dari pihak pemerintah. TII merilis laporan yang menyoroti tingginya kerentanan korupsi dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dalam laporannya, mereka menekankan bagaimana regulasi yang dilakukan pemerintah hanya sebatas pada sektor internal saja. Bahkan program ini terindikasi adanya konflik kepentingan karena tidak transparansnya proses verifikasi SPPG.
“Program MBG tampak menjanjikan di atas kertas, namun gagal memenuhi prasyaratan tata kelola yang sehat. Tingginya kerentanan korupsi dalam program MBG menunjukkan program ini harus dimoratorium segera supaya tidak memperbesar kerugian negara,” ujar Agus Sarwono, peneliti Transparency International Indonesia, dalam keterangan resmi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung merilis Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat siswa mengalami keracunan makanan dari MBG terbanyak dibandingkan dengan daerah lain se-Indonesia.
LBH Bandung menyatakan, peristiwa keracunan akibat MBG di Kabupaten Bandung Barat seharusnya menjadi tamparan keras karena terus terjadi berulang. Pemerintah diminta melakukan langkah serius untuk mlekukan mitigasi keracunan massal.
“Program MBG yang awalnya diumumkan sebagai solusi untuk mengatasi stunting dan memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, kini menjadi ironi yang menyedihkan di berbagai wilayah Indonesia. Alih-alih bertujuan menyediakan pangan sehat bagi anak-anak Indonesia, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik. Sejak diluncurkan pada awal 2025, MBG gagal memenuhi komitmen gizi dan memicu kasus keracunan massal. Akibatnya, hak dasar masyarakat atas pangan yang aman dan berkualitas dilanggar,” demikian pernyataan resmi LBH Bandung.
LBH Bandung mendesak, pemerintah menghentikan total pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis karena telah menimbulkan korban dan kerugian bagi publik luas, negara melalui pemerintah pusat hingga pemerintah daerah wajib melakukan upaya perlindungan serta pemulihan bagi korban terdampak keracunan.
LBH Bandung juga mendorong Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ombudsman RI, dan lembaga pengawas independen lainnya untuk segera turun tangan dan menyelidiki peristiwa keracunan makan bergizi gratis yang berdampak kepada munculnya korban yang mayoritas siswa sekolah.
*Reportase ini ditulis reporter BandungBergerak Salma Nur Fauziyah, Prima Mulia, dan Muhammad Akmal Firmansyah. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB