1.000 Lebih Korban Keracunan Setelah Menyantap MBG di Kabupaten Bandung Barat, Perlu Moratorium dan Evaluasi agar Malapetaka tak Terulang
Seluruh korban keracunan di Kabupaten Bandung Barat memiliki gejala yang sama setelah menyantap Makan Begizi Gratis (MBG).
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 September 2025
BandungBergerak - Horor menyelimuti ratusan keluarga di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Anak-anak mereka, sebagian masih duduk di bangku SD hingga SMA, terbaring lemas di posko kesehatan darurat dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cililin akibat keracunan massal setelah mengonsumsi makanan bergizi gratis (MBG) yang dibagikan pemerintah melalui dapur SPPG. Ibu menyusui dan balita juga turut menjadi korban.
Keracunan pertama kali dilaporkan Senin, 22 September 2025 di Kecamatan Cipongkor. Sebanyak 393 orang mengalami gejala mual, pusing, dan muntah usai menyantap MBG dari Dapur SPPG Kampung Cipari, Desa Cijambu.
Kasus meluas ke Kecamatan Cihampelas, dengan 192 korban, termasuk siswa dari SMKN 1 Cihampelas, MA Al-Mukhtariyah, MTs Al-Mukhtariyah, hingga SDN 1 Cihampelas.
Selanjutnya, korban terus bertambah dari dapur-dapur lain di Desa Neglasari, Citalem, dan Cijambu. Hingga Kamis, 25 September 2025, tercatat 703 orang menjadi korban keracunan setelah makan MBG.
Situasi Darurat, Siapa Bertanggung Jawab?
Ruangan-ruangan publik seperti aula kecamatan, GOR, dan masjid dialihfungsikan menjadi posko darurat. Petugas medis dan relawan bekerja siang malam. Beberapa pasien sempat pulang, namun kembali dirawat karena gejala kambuh.
Esih, 44 tahun, buruh tani asal Cipongkor, dua kali membawa anaknya ke posko darurat setelah makan MBG di sekolah. Menu yang dikonsumsi: ayam geprek, tahu, dan stroberi. Anak esih duduk di kelas 6 MI Sahida Cipongkor.
“Pas pulang dari sekolah, anak bilang, ‘Ma, enggak enak, mual, sakit perut,’” ungkap Esih.
Gejala serupa juga dirasakan Siti Nuraeni, 25 tahun, ibu menyusui dari Desa Neglasari. Ia mengalami mual dan pusing usai menyantap ayam MBG yang dibagikan melalui Posyandu.
“Gak mau makan lagi. Kapok,” ujarnya.
Dian, orang tua siswa SMKN 1 Cihampelas, mengaku anaknya sempat pingsan di sekolah. Ia dibawa ke RSUD Cililin dengan keluhan pusing, muntah, dan nyeri ulu hati.
“Pihak sekolah langsung bawa dengan ambulans. Sadar lagi sekitar jam 1.30 siang,” tuturnya.
Meski sudah sempat diizinkan pulang, anaknya kembali mengalami gejala dan dirawat ulang. Dian menyayangkan kurangnya pertanggungjawaban dalam kasus ini.
“Kalau demo, pelaku cepat ditangkap. Tapi dalam kasus ini, tidak ada yang tegas bertanggung jawab,” keluhnya.
RSUD: Gejala Kuat Mengarah pada Makanan MBG
Plt Kepala Dinas Kesehatan KBB Lia N Sukandar mencatat total korban keracunan mencapai 1.258 orang. Sebanyak 1.000 telah sembuh, namun 12 pasien masih dirawat, termasuk 4 pasien yang sempat kambuh. Gejala yang dominan adalah mual, nyeri perut, muntah, dan lemas.
“Sebagian pasien ada yang kembali setelah makan makanan lain di rumah. Sudah kami imbau agar makan bubur dulu, masak sendiri, dan hindari makanan luar,” jelas Lia.
Saat ini, pihak Dinkes tengah menguji 19 sampel dari muntahan pasien, sisa makanan, dan menu MBG di dua laboratorium: Labkesda Bandung Barat dan Labkemas Jawa Barat.
Sementara itu, Dirut RSUD Cililin Neng Siti Djulaeha mengonfirmasi bahwa dari 173 pasien yang ditangani rumah sakit, hampir semua menunjukkan gejala setelah menyantap MBG.
“Ada yang gejalanya muncul satu jam setelah makan, ada juga yang beberapa jam kemudian. Sebelumnya, mereka rutin konsumsi MBG tanpa keluhan,” jelasnya.
Meski sempat kewalahan, Neng memastikan semua pasien berhasil ditangani dengan bantuan tenaga medis lintas fasilitas.
Tutup Tiga Dapur MBG
Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail memutuskan menutup tiga dapur SPPG yang terlibat dalam distribusi makanan yang diduga menyebabkan keracunan massal, yaitu SPPG Cipari, Desa Cijambu (Cipongkor), SPPG Pasirsaji, Desa Neglasari (Cipongkor), dan SPPG Mekarmukti (Cihampelas). Meski begitu, Jeje menegaskan program MBG tetap berjalan.
“Akan tetap berjalan, jangan sampai hanya karena satu dua kasus ini berdampak pada dapur-dapur lain yang bekerja dengan baik,” terang Jeje.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal menegaskan pentingnya membedakan antara kelalaian dan kesengajaan dalam kasus keracunan makanan setelah menyantap MBG.
Menurut Cucun, sanksi terhadap penyelenggara harus didasarkan pada hasil evaluasi administratif. Bila ditemukan unsur kesengajaan atau sabotase, kasus ini harus diproses secara pidana. Namun jika terbukti hanya kelalaian tanpa unsur kesengajaan, maka sanksinya bersifat administratif, seperti penutupan dapur penyedia makanan.
Cucun juga menyoroti lemahnya pengawasan dalam sistem pengolahan makanan. Ia menjelaskan, banyak dapur MBG memasak secara massal dan serentak, sehingga risiko kontaminasi menyebar luas, bahkan bisa mengenai kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Menurutnya, jenis makanan untuk kelompok rentan ini perlu ditentukan secara tepat—mana yang bisa disajikan dalam bentuk basah, dan mana yang sebaiknya kering, agar tidak membahayakan bayi atau ibu yang menyusui.
"Saya tadi ingatkan kepada mitra-mitra ini, bukan hanya punya dapur, tapi harus ikut juga mengawasi proses sirkulasi alur masuk supplier barang. Supply chain-nya itu harus tahu juga, siapa yang beli daging, ikan, sayur. Kepala dapur harus paham," terangnya.
Ke depan, Cucun mengatakan akan melibatkan banyak stakeholder, tidak hanya BGN dan Kemenkes, melainkan juga pemerintah daerah hingga lembaga lain yang memiliki peran pengawasan.
Baca Juga: Banalitas Kejahatan dalam Kasus Keracunan Massal Makan Bergizi Gratis
Salah Kaprah Pemerintah Soal Kasus Keracunan pada Makan Bergizi Gratis

CISDI: Moratorium MBG Mendesak Dilakukan
Kasus keracunan massal akibat program Makanan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi dan bukan yang pertama. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat, sepanjang Januari hingga September 2025, terdapat sedikitnya 5.626 kasus keracunan yang tersebar di 17 provinsi.
Pendiri CISDI Diah Saminarsih menilai, kasus-kasus ini hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih dalam. Ia menyoroti belum adanya sistem pelaporan publik yang baik serta lemahnya tata kelola program.
“Distribusi dan keamanan pangan tidak tertata, sementara pengawasan sangat lemah. Ironisnya, menu MBG justru sering berisi pangan ultra-proses tinggi gula, garam, dan lemak, bertolak belakang dengan tujuan memperbaiki gizi,” ujar Diah dalam keterangan resmi, Jumat, 26 September 2025.
CISDI juga mengkritik pelaksanaan MBG yang dinilai terburu-buru tanpa dilandasi peraturan presiden sebagai landasan hukum. Ketiadaan regulasi ini membuat pengawasan dan standar pelaksanaan di lapangan tidak seragam dan rawan penyimpangan.
Di sisi lain, keracunan massal akibat MBG menambah beban keuangan daerah, terlebih di tengah pemangkasan hampir 25 persen dana transfer daerah dalam RAPBN 2026. Sementara itu, serapan anggaran MBG juga masih rendah, baru 18,6 persen atau 13,2 triliun rupiah dari total pagu 71 triliun rupiah. Selain itu, terdapat indikasi penyimpangan pada nilai menu yang disediakan.
Melihat kondisi tersebut, CISDI mendesak pemerintah untuk segera melakukan moratorium (penghentian sementara) program MBG, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh rantai pasok dan pengawasan, membuka kanal pelaporan publik agar hak-hak korban dapat ditindaklanjuti secara adil.
CISDI mendorong penyelenggaraan MBG direncanakan ulang dengan pendekatan desentralistik, pemenuhan hak atas makanan yang aman dan berkualitas, tata kelola yang transparan dan akuntabel, pelibatan masyarakat sipil, dan pembatasan pangan ultra-proses dalam menu MBG.
CISDI menekankan bahwa pemerintah tidak bisa terus-menerus berdalih program ini masih disempurnakan sambil berjalan. Jika pola pelaksanaan seperti ini dibiarkan, risiko keracunan akan terus berulang, dan justru mengancam kesehatan anak-anak yang menjadi target utama program.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB