• Opini
  • Banalitas Kejahatan dalam Kasus Keracunan Massal Makan Bergizi Gratis

Banalitas Kejahatan dalam Kasus Keracunan Massal Makan Bergizi Gratis

Apakah kasus keracunan massal Makan Bergizi Gratis merupakan sebuah kejahatan sehingga layak dituntut di pengadilan? Siapakah penjahat di baliknya?

Arip Apandi

Penulis Konten di salah satu media lokal Jawa Barat

Petugas membagikan kotak makan siang bergizi di depan dapur satelit modular SDN Sirah Cai, Kecamatan Jatinangor, Sumedang, 18 November 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

27 September 2025


BandungBergerak.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Presiden Prabowo bikin banyak siswa keracunan massal. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ada sebanyak 5.360 siswa mengalami keracunan makanan dari program MBG. Yang terbaru, belasan siswa juga mengalami keracunan karena diduga imbas diberi makan daging hiu.

Jadi, sangat masuk akal kalau salah satu program unggulan Presiden Prabowo itu diminta dihentikan. Penolakannya sudah di sana-sini. Banyak orang tua yang cemas. Tidak sampai di situ, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) menuturkan bahwa kasus keracunan massal program MBG ini "memenuhi kriteria untuk dituntut di pengadilan". Jadi, siapa saja yang merasa dirugikan oleh kasus keracunan MBG, dalam hal ini orang tua misalnya, mempunyai peluang untuk mengambil jalur hukum untuk mengusut kontroversi program populis Presiden Prabowo ini.

Pertanyaan yang ingin saya tarik adalah, apakah kasus keracunan massal MBG ini merupakan sebuah kejahatan sehingga layak dituntut di pengadilan? Siapakah penjahat di baliknya?

Argumen yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwasanya, ya, kasus keracunan massal MBG ini adalah sebuah bentuk kejahatan dan ada penjahat di baliknya. Dalam mengemukakan argumen tersebut, saya tidak akan berangkat dari penalaran hukum positif seperti diungkapkan oleh YLBHI, misalnya. Di sini saya akan berangkat dari argumen filosofis, ialah pemikiran Hannah Arendt tentang "the banality of evil". Pemikiran Hannah Arendt itu memberikan perspektif lain untuk memperkuat pemahaman bahwa keracunan massal MBG ini memang kejahatan dan layak ada orang yang mendapatkan hukuman.

Baca Juga: Makan Bergizi Gratis di Sumedang
Mengatasi Stunting di Bandung Belum Cukup Mengandalkan Program Makanan Bergizi Gratis
Salah Kaprah Pemerintah Soal Kasus Keracunan pada Makan Bergizi Gratis

Penjahat dalam “The Banality of Evil

Siapa saja yang mengikuti sejarah Perang Dunia II pasti tidak asing dengan peristiwa pembantaian manusia sebanyak 17 juta jiwa: Holocaust. Itulah program Hitler untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap tidak “fit and proper” dengan ras Arya, suatu ras yang dikhayalkan Hitler sebagai ras unggul ketimbang ras lainnya. Dan kita tidak akan membicarakan program yang disebut sebagai The Final Solution of the Jewish People besutan Hitler itu.

Yang akan saya bicarakan di sini: kenapa program keji semacam itu bisa terjadi? Pertanyaan itulah yang membuat Hannah Arendt penasaran. Dalam karya buku kontroversialnya, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), Hannah Arendt akan memberikan kita kesimpulan yang mengejutkan terkait genosida orang-orang Yahudi itu. Tentu saja kita sepakat bahwa Holocaust itu kejahatan yang sangat luar biasa. Tapi, apakah Holocaust itu memang dilakukan oleh orang-orang jahat? Hannah Arendt akan menjawab, tidak juga.

Merangkum pemikiran Hannah Arendt: baginya, kejahatan tidak selalu dilakukan oleh orang-orang jahat. Hannah Arendt menyaksikan secara langsung persidangan Adolf Eichmann, pejabat elit Nazi bawahan Hitler –salah satu persidangan hukum yang sangat viral seantero dunia pada 1961, bahkan terus menjadi bahan pembicaraan sampai sekarang khususnya bagi orang-orang Yahudi. Singkatnya, Eichmann diadili karena ia mempunyai peran krusial, yakni sebagai 'penyedia logistik' dari Holocaust.

Dalam persidangan itu, Hannah Arendt terkejut melihat Eichmann. Bagi Hannah Arendt, Eichmann bukan orang jahat. Dia itu cuma orang biasa, semacam bapak rumah tangga pada umumnya, seorang PNS yang mengaku hanya menjalankan tugas. Kendati berperan dalam Holocaust, Eichmann bukan seperti iblis atau psikopat khas film-film horor. Bahkan, dalam persidangan itu Eichmann mengklaim tidak bersalah karena ia cuma "sebuah gigi roda dalam mesin". Itulah kenapa Hannah Arendt melemparkan pertanyaan, apakah kejahatan hanya bisa dilakukan oleh orang jahat saja?

Dalam kasus Eichmann, Hannah Arendt memberikan perspektif bahwa kejahatan juga bisa dilakukan oleh orang-orang biasa. Hannah Arendt menyebut orang-orang ini sebagai orang-orang yang berpikiran "dangkal".

Menengok Kasus Keracunan Massal MBG

Saya berpendapat, penyelenggaraan program MBG ini diselenggarakan oleh orang-orang semacam Eichmann setelah kita ketahui betapa mirisnya kasus keracunan massal MBG. Mereka menyelenggarakan MBG dalam kondisi yang oleh Hannah Arendt sebut "ketidakberpikiran". Itulah yang terjadi pada Eichmann. Meski Hannah Arendt menyebutnya cuma orang biasa, tapi ia tetap mengecamnya dan sepakat agar ia tetap mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Apa alasannya? Itu tadi, ketidakberpikiran.

Ketidakberpikiran bukan kebodohan, melainkan kedangkalan. Seperti Eichmann, para penyelenggara yang bikin keracunan massal siswa itu gagal berpikir lebih jauh dari apa yang telah dikerjakannya. Dangkal di situ karena hati nurani tidak dilibatkan dalam apa yang mereka kerjakan. Eichmann itu dangkal karena ia gagal membangun dialog yang intensif dengan suara hatinya sehingga ia tidak mempermasalahkan jutaan orang dibunuh dalam kamar gas dan krematorium. Pikirannya tidak menyelam lebih jauh apakah yang ia lakukan itu baik atau buruk. Moralitas jadi penekanan kuat dalam kasus ini.

Dalam kasus keracunan massal MBG, saya pikir persoalannya juga relevan dengan apa yang terjadi pada Eichmann. Apakah memberi daging hiu untuk dimakan siswa itu sudah bermoral? Apakah memberikan burger, spaghetti, dan Bakmi Gacoan untuk siswa itu bermoral? Pertimbangan moral apa yang telah dilalui para penyelenggara MBG itu sebenarnya? Kenapa bisa-bisanya memberi makan siswa dari dapur yang tidak layak? Seperti Eichmann, saya menduga bahwa mereka itu juga tidak melakukan analisa atas pemberian daging hiu; mereka tidak melakukan refleksi saat memberi burger, spaghetti, dan gacoan; mereka tidak melibatkan kompas moral saat membikin makanan. Tidak ada analisa, refleksi, dan kompas moral. Pikiran mereka gagal meraih itu itu semua. Begitulah kondisi ketidakberpikiran. Dan itulah apa yang disebut "the banality of evil"

Meminjam pemikiran Hannah Arendt, saya tidak heran kenapa program MBG yang diniatkan untuk memaslahatkan, justru jadi mencelakakan: yang menyelenggarakannya gagal memaksimalkan kinerja otak dalam meraih moralitas. Asal-asalan dan yang penting tugas sudah dilaksanakan.

Mereka boleh saja mengaku kalau apa yang mereka lakukan itu keteledoran. Barangkali mereka juga bukan orang jahat yang memang berniat meracuni siswa. Tapi, tentu saja itu tidak menghapus banalitas kejahatan yang telah mereka lakukan. Oleh karena itu, saya pikir mereka memang layak mendapatkan hukuman yang setimpal.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//