• Opini
  • Barang Mewah Bernama Pendidikan Tinggi

Barang Mewah Bernama Pendidikan Tinggi

Sampai kapan pendidikan tinggi tetap menjadi barang mewah, hanya bisa dinikmati segelintir orang?

Septiana Yustika W

Buruh akademis yang berpijak pada fragmen aktivis. Mendalami riset media baru sekaligus penari paruh waktu.

Ilustrasi. Mahasiswa dari keluarga kelas menengah ke bawah kesulitan melanjutkan kuliah dengan biaya semakin mahal. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

29 September 2025


BandungBergerak.id – Tempo hari, dalam perjalanan menuju kampus –tempat saya mengajar, sang driver ojek online tiba-tiba bertanya, “Masih libur mahasiswa, sudah ke kampus, Bu?”

Saya jawab seadanya, sekadar basa-basi.

Lalu ia melanjutkan, “Ibu kalau jadi dosen berarti sudah sering kuliah, ya? Rasanya gimana sih?”

Pertanyaan itu membuat saya tertegun. Saya menduga maksud “sering kuliah” adalah berulang kali merasakan duduk di bangku pendidikan tinggi, seolah menjadi sesuatu yang begitu langka. Karena perjalanan ke kampus tak begitu jauh, saya menjawab singkat: bahwa garis takdir menuntun saya untuk gemar belajar, hingga akhirnya berjodoh dengan profesi yang mengharuskan saya terus belajar.

Dengan lirih ia menimpali, “Saya juga pengen nyobain kuliah, Bu. Cuma belum ada kesempatannya.”

Percakapan sederhana di atas motor itu tiba-tiba berubah menjadi refleksi mendalam. Di balik helm dan jaket yang lusuh, tersimpan kerinduan seorang anak muda pada ruang kelas yang tak pernah ia masuki. Kerinduan yang terhalang realitas: bahwa mencari nafkah di jalan lebih mendesak daripada mengejar mimpi akademik.

Baca Juga: Polemik UKT dengan Skema Pinjol, untuk Siapa Pendidikan Tinggi di Indonesia?
Pendidikan dan Kekuasaan
Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Barat Kekurangan Calon Mahasisiswa, Terdesak Kuota Perguruan Tinggi Negeri

Pendidikan Masih Menjadi Barang Mewah

Momen itu membuat saya memahami mengapa rakyat begitu marah menyaksikan para “wakilnya” menari di atas panggung politik, seolah lupa pada jurang kesenjangan yang menganga. Di saat gelar akademik dipermainkan dan kehormatan institusi pendidikan dilucuti, banyak insan justru berjuang mati-matian hanya untuk sekadar menjejakkan kaki di dunia pendidikan tinggi.

Dan ingatan itu kian menyayat ketika kembali pada sosok almarhum Affan Kurniawan –pengemudi ojek online yang gugur di jalanan pada Agustus kelabu, di tengah hiruk-pikuk polemik politik. Namanya kini menjadi penanda getir: bahwa di balik perebutan kuasa, ada nyawa yang terhenti tanpa sempat diperhitungkan, seakan langit pun ikut berduka, menorehkan luka di dada kota.

Lantas, sampai kapan pendidikan tetap menjadi barang mewah, hanya bisa dinikmati segelintir orang? Sampai kapan hak dasar ini terus jauh dari kata inklusif, padahal mestinya ia adalah pintu yang terbuka bagi semua, tanpa syarat dan tanpa tapi?

Sebagai tenaga akademis kami hanya bisa mengamini bahwa jasa kami bisa menggapai siapa pun yang memiliki ambisi tinggi untuk menjunjung nilai akademis. Tanpa perlu diiming imingi surga dan pahala melimpah, kami ikhlas untuk membagi ilmu yang mungkin tidak lebih tinggi dari tunjangan dan gaji wakil rakyat ataupun jajaran direksi pemerintahan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//