Polemik UKT dengan Skema Pinjol, untuk Siapa Pendidikan Tinggi di Indonesia?
Amerika Serikat sedang mencoba menghapus praktik kredit pendidikan, Indonesia sebaliknya. Jangan menjebak anak bangsa yang menempuh pendidikan dalam jerat hutang.
Fikri Haikal Panggabean
Pekerja Swasta
2 Februari 2024
BandungBergerak.id – Belakangan kita semakin dihadapkan dengan biaya pendidikan tinggi yang semakin tidak terjangkau. Fenomena ini merupakan fenomena masif yang ditemukan di banyak perguruan tinggi negeri. Rakyat, pada umumnya, berharap ada tindakan pemerintah terutama dalam menetapkan kebijakan yang pro-masyarakat. Janji keadilan akses pendidikan juga semakin tidak jelas ketika melihat kenyataan sistem di institusi pendidikan tinggi yang seakan semakin komersial dan berorientasi bisnis.
Institut Teknologi Bandung (ITB) kian menjadi pemberitaan nasional dikarenakan uang kuliah tunggal (UKT) yang semakin mahal. Hal ini juga diikuti oleh keputusan ITB menolak pengajuan ulang UKT oleh para mahasiswa. Meskipun metode cicilan ditawarkan, namun jumlah yang sangat besar menyebabkan banyak mahasiswa yang kelimpungan membayar tunggakan. ITB, yang melalui pengakuan mahasiswa-mahasiswanya di Platform X, “menyarankan” para mahasiswa untuk mengambil cuti atau menggunakan platform student loan.
ITB diketahui bekerja sama dengan salah satu penyedia student loan—Danacita, yang sebenarnya berbentuk pinjaman online (pinjol) berbunga yang dinilai semakin memberatkan tunggakan mahasiswa. ITB juga bukanlah satu-satunya institusi pendidikan tinggi yang melakukan kerja sama dengan platform pinjol UKT. Mengutip laman Danacita — platform pinjaman online yang bekerja sama dengan ITB, setidaknya terdapat 85 institusi pendidikan tinggi yang bekerja sama, beberapa merupakan universitas/institut negeri.
Baca Juga: Membayar UKT ITB dengan Dana Pinjol Bertentangan dengan Amanat Undang-undang Pendidikan
Jeritan Mahasiswa yang Terjerat Masalah UKT ITB
ITB Meminta Maaf Terkait Polemik UKT dengan Skema Pinjol
Pinjaman Pendidikan di Amerika Serikat
Bentuk pinjaman sebagai solusi biaya pendidikan yang mahal populer ditemui di Amerika Serikat; di mana kebanyakan lulusan perguruan tinggi masih harus membayar cicilan mereka bahkan beberapa tahun setelah lulus perkuliahan. Badan Statistik Pendidikan Amerika Serikat menyatakan setidaknya terdapat 61% lulusan universitas yang masih memiliki cicilan. Lebih lanjut tercatat 43 juta pinjaman pendidikan dengan jumlah pinjaman mencapai 1.63 triliun Dolar Amerika hingga tahun 2023.
Diskursus kebijakan pendidikan dan politik di Amerika Serikat justru mencoba mengurangi dan menekan hal ini. Dorongan student loan forgiveness atau penghapusan kredit pendidikan yang dianggap memberatkan justru semakin sering digaungkan menjadi janji kampanye beberapa politisi di Amerika Serikat. Lantas, mengapa Indonesia justru mengalami regresi dalam kebijakan terkait biaya pendidikan tinggi yang kian meningkat?
Biaya pendidikan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di ITB. Sebelumnya, perguruan tinggi negeri lain seperti Universitas Indonesia (UI) melalui Peraturan Rektor Nomor 4 Tahun 2021 juga secara sepihak menaikkan Uang Pangkal UKT per masing-masing golongan. Sebelumnya ada almarhumah Nur Riska, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), anak dari penjual sayur gerobak yang pada akhirnya terpaksa menghentikan mimpinya menjadi seorang guru dikarenakan UKT yang di luar kemampuannya. Pihak universitas pada setiap kasus mengabaikan tuntutan dan aspirasi mahasiswa yang mempertanyakan keputusan sepihak tersebut sering kali dengan dalih penyampaian yang niretika dan tidak sopan. UKT dinilai menjadi sumber pemasukan tetap dan paling menjanjikan bagi pihak universitas jika dibandingkan dengan sumber lainnya.
Kebijakan PTN-BH (Badan Hukum) dinilai menjadi salah satu peluang bagi perguruan tinggi untuk memperbanyak pemasukan. Otonomi yang diberikan oleh status badan hukum ini mengizinkan perguruan tinggi untuk mengatur pengelolaan keuangan secara independen agar dapat melakukan operasional harian, termasuk di antaranya tidak hanya pengaturan biaya UKT mahasiswanya, namun juga berbagai bentuk kerja sama dan proyek yang dapat menyumbangkan pemasukan bagi universitas.
Keleluasaan ini juga memungkinkan pihak perguruan tinggi menentukan kuota jalur masuk mahasiswa reguler dengan non-reguler—atau yang lebih dikenal dengan jalur masuk mandiri, hingga penentuan besaran UKT dan uang pangkal bagi calon mahasiswa non-reguler. Di sisi lain, keleluasaan ini sebaliknya justru mencerminkan keputusan yang semakin tidak berpihak dari pihak universitas dalam menyediakan akses pendidikan yang inklusif. Dengan kata lain, institusi pendidikan diberi keleluasaan berfungsi selayaknya perusahaan yang berorientasi pada keuntungan.
Dalam kasus PTN-BH, besaran kuota jalur mandiri dengan UKT dan uang pangkal yang tidak sedikit dapat mencapai 50% dari total penerimaan mahasiswa. Dalam memaksimalkan pemasukan, perguruan tinggi bisa saja mengorbankan kuota pendidikan terjangkau untuk calon mahasiswanya demi memaksimalkan pemasukan. Celah potensi eksploitasi ini memunculkan desakan untuk mengkaji ulang kebijakan PTN-BH yang dinilai berdampak pada kenaikan UKT universitas negeri yang masih menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dikarenakan konsiderasi biaya pendidikan yang seharusnya jauh lebih terjangkau. Kerja sama pihak universitas dengan platform pinjaman online pahit kenyataannya juga merupakan bentuk perwujudan otonomi universitas yang berstatus PTN-BH.
Pendidikan Tinggi untuk Siapa?
Permasalahan biaya yang semakin tidak terjangkau serta perubahan orientasi atau komersialisasi institusi pendidikan tinggi ini justru akan mengabaikan amanat negara dalam mencerdaskan anak bangsa. Dalam perwujudan cita-cita ini tentu sudah selayaknya kita menuntut kebijakan konkret dan solutif dari pemerintah alih-alih memindahtangankan solusi terhadap permasalahan ini kepada platform pinjaman online.
Intervensi pemerintah juga semakin penting terutama jika rektor yang merupakan pimpinan utama dan penentu kebijakan intra-universitas ditunjuk secara langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seperti dalam kasus ITB. Namun, pihak pemerintah yang dalam permasalahan ini diwakili oleh Kemendikbud—terutama bagian direktorat pendidikan tinggi—justru disibukkan dengan program pengubahan sistem pembelajaran pendidikan tinggi menjadi program vokasional melalui program dan kegiatan magang demi magang yang sistematis pengupahannya dalam beberapa kasus juga mengalami permasalahan. Arah kebijakan yang ditempuh pemerintah seakan tidak lagi menjawab realitas masyarakat yang semakin kesulitan mengakses pendidikan tinggi.
Maka dari itu, tuntutan para mahasiswa dan masyarakat juga harus ditujukan kepada pemerintah. Pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan atau penganggaran yang dianggap menjadi akar masalah biaya pendidikan yang semakin mahal. Diperlukan pengkajian ulang perihal subsidi perguruan tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan tinggi dan kegiatan riset yang secara langsung berdampak pada kemajuan ilmu pengetahuan. Intervensi kebijakan dapat dilakukan melalui peringanan beban universitas yang mungkin tersita waktu dan sumber dayanya mencari pemasukan operasional kampus dan justru mengabaikan tugas fungsi utama mereka sebagai lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Jika permasalahan ini dibiarkan berkepanjangan, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia akan berjalan di tempat dan kalah bersaing di kancah global. Anggaran riset Indonesia juga terus menurun dari 2017 sebesar 0.2% hingga per 2023 hanya sebesar 0.01% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN). Angka ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura sebesar 1% atau Malaysia sebesar 1,3% dari total anggaran per tahun. Selain itu, perlu juga pengkajian ulang status PTN-BH yang justru menggunakan otonomi mereka untuk bekerja sama dengan platform pinjaman online. Universitas tidak seharusnya menjebak anak bangsa yang menempuh pendidikan dalam jeratan hutang.
Namun, apa pun bentuk intervensi kebijakan yang akan diambil pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini, intervensi tersebut harus berpihak kepada masyarakat luas terutama mereka yang kesulitan mengakses pendidikan tinggi. Masyarakat berhak menuntut penjaminan ketersediaan bangku kuliah dengan biaya terjangkau. Masyarakat berhak mendapatkan keamanan dan mengajukan banding jika pada akhirnya biaya yang dibebankan berat untuk dibayar. Masyarakat berhak mendapatkan pendidikan layak tanpa ancaman dikeluarkan ketika tidak memiliki biaya. Pemerintah dan pihak universitas wajib mengakomodasi hak ini, kecuali mungkin amanat bangsa sudah berubah dan hanya diperuntukkan kepada mereka yang mampu membayar.