Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Barat Kekurangan Calon Mahasisiswa, Terdesak Kuota Perguruan Tinggi Negeri
Perguruan tinggi swasta (PTS) di Jawa Barat mengalami tekanan berat menjaring calon mahasiswa setiap tahunnya. Membutuhkan keberpihakan dari pemerintah.
Penulis Tim Redaksi7 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Kekurangan siswa tak hanya dialami sekolah-sekolah swasta di tengah persaingannya dengan sekolah negeri. Masalah serupa dialami perguruan tinggi swasta (PTS) yang kini tengah menghadapi tekanan berat akibat meningkatnya kuota penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN).
Universitas Padjadjaran (Unpad), misalnya, pada tahun akademik 2025/2026 menerima 3.000 calon mahasiswa baru dari jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT); 2.495 mahasiswa baru melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Tahun 2024 total penerimaan mahasiswa baru Unpad mencapai 9.696 mahasiswa. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2021 yang hanya 6.890 mahasiswa.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) juga mencatat kenaikan kuota. Tahun 2024, UPI menerima 11.181 mahasiswa baru, terdiri dari 3.363 melalui SNBP, 5.055 SNBT, dan 2.763 jalur mandiri. Pada 2023, UPI mencatat 12.896 mahasiswa baru dari berbagai jenjang pendidikan.
Begitu pula dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tahun 2024 menerima 6.433 mahasiswa baru, terdiri dari 4.734 program sarjana, 1.503 pascasarjana, dan 196 program profesi. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 5.669 mahasiswa baru.
Di saat kampus-kampus negeri kebanjiran calon mahasiswa, banyak PTS yang justru terseok-seok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 yang diakses pada 24 Juli 2025, jumlah perguruan tinggi swasta di Indonesia mencapai 2.812 institusi, jauh melampaui jumlah PTN yang hanya sebanyak 125. Di Jawa Barat sendiri, terdapat 418 institusi pendidikan tinggi, dengan 127 di antaranya merupakan PTS yang tersebar di Kota Bandung.
Penurunan jumlah mahasiswa dirasakan kampus swasta Universitas Pasundan (Unpas). Fenomena ini terjadi sejak 2020, terutama pascapandemi Covid-9 sampai tahun ini. Hal ini diperparah dengan kondisi ekonomi masyarakat yang menurun.
Cartono, selaku Wakil Rektor Bidang Pembelajaran dan Mahasiswa, Alumni, Agama, dan Budaya (Belmawabud) Unpas memandang dalam situasi ini PTS membutuhkan dukungan dari kebijakan pemerintah. Sayang, ia belum melihat dukungan tersebut.
Cartono menjelaskan, meningkatnya kuota masuk perguruan tinggi negeri (PTN) berimbas pada minat masuk calon mahasiswa ke perguruan tinggi swasta (PTS). Ia melihat saat ini terjadi persaingan menjaring mahasiswa oleh PTN dan PTS.
“Banyak perguruan tinggi negeri di Indonesia tidak lagi memperhatikan identitas institusinya, sehingga PTN dengan rumpun keilmuan khusus membuka lebih banyak prodi di luar fokus institusinya untuk menarik lebih banyak mahasiswa,” katanya.
Ia mencontohkan, sebuah institut yang memiliki fokus pada bidang saintek namun malah membuka program studi di luar kompetensi intitusinya seperti bidang ekonomi, pendidikan, ataupun humaniora. Berdasarkan Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020 jika sebuah perguruan tinggi menyelenggarakan lebih dari satu rumpun ilmu pengetahuan, maka bentuknya adalah universitas.
Cartono berharap, pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi persoalan yang dihdapi PTS. Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah adalah menggratiskan biaya pendidikan di PTN. Bagi mahasiswa yang tidak terserap di PTN maka perlu ada kebijakan agar mereka bisa ditampung di PTS. “Karena PTS juga memiliki tanggung jawab pembinaan sumber daya manusia,” jelas cartono.
Untuk meningkatkan serapan calon mahasiswa, Unpas membuka registrasi dalam tempo cukup panjang sejak 6 Januari - 8 Agustus 2025.
PTS lainnya, Universitas Bale Bandung (UNIBBA) juga mengalami penurunan jumlah mahasiswa baru. “Tahun ini justru terlihat jelas penurunannya. Apalagi dengan adanya penambahan kuota mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN), dampaknya cukup terasa bagi kami,” ujar Gingin Ginanjar, Kepala Bagian Humas dan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) UNIBBA saat ditemui BandungBergerak, Rabu, 23 Juli 2025.
Menurut Gingin, tren ini berbeda dibandingkan tahun 2019 hingga 2021, di mana jumlah pendaftar antara gelombang satu dan dua cenderung stabil. Calon mahasiswa UNIBBA kebanyakan berasal dari Kabupaten Bandung, namun kini banyak yang lebih memilih mendaftar ke UPI, UNPAD, dan PTN lainnya.
“Meski begitu, kami bersyukur belum sampai pada kondisi ekstrem seperti bangkrut, tidak ada mahasiswa sama sekali, atau harus melakukan pemecatan dosen,” tambah Gingin.
Sementara itu, Universitas Al-Ghifari juga masih bertahan. Humas Yayasan Al-Ghifari, Jujun Junaedi, menyampaikan bahwa pihaknya belum bisa memastikan ada tidaknya penurunan karena proses penerimaan mahasiswa baru masih berlangsung hingga gelombang ketiga pada September.
Ia menyoroti peran penting beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) dalam menjaga keberlangsungan kampus swasta. “Harapan saya, KIP harus diperluas bobotnya agar tidak stagnan. Dan jangan terlalu menyudutkan kampus swasta. Tetap bantu kampus swasta lain dengan beasiswa KIP,” kata Jujun, Kamis, 24 Juli 2025.
Kampus-kampus swasta lainnya di Bandung seperti Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dan Universitas Widyatama memilih tidak berkomentar terhadap isu penurunan jumlah mashasiswa ini.
Baca Juga: Kontras SPMB 2025: Riuh di SMA dan SMK Negeri, Sepi di Sekolah Swasta
Mahasiswa Stikom Bandung Terus Mengawasi Perbaikan Tata Kelola Setelah Kampus Lolos dari Sanksi Berat
Bersaing Sesama Perguruan Tinggi Swasta, Menghadapi Kuota Jumbo Kampus Negeri
Sebagian besar perguruan tinggi swasta belum mampu bersaing bahkan di tingkat lokal, menyebabkan kondisi yang terseok-seok dan mengancam keberlangsungan institusi. Dalam artikel “Strategi Perguruan Tinggi Swasta Menghadapi Persaingan” yang ditulis Tobari, dosen tetap Fakultas Ekonomi UPGRI Palembang, dijelaskan bahwa banyak PTS di Indonesia mengalami kesulitan untuk bertahan.
Banyak PTS yang gulung tikar ataupun menutup program studinya karena kalah bersaing. “Menurut data APTISI pusat, sebanyak 30 persen atau 800-an perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia gulung tikar,” tulis Tobari (Kompas, 2008).
Tobari juga menguraikan bahwa berbagai masalah yang dihadapi mayoritas PTS mencakup pengelolaan keuangan, sarana dan prasarana, kepemimpinan, sumber daya manusia, citra lembaga, serta organisasi yang tidak sehat.
Faktanya, dari sekitar 2.746 perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia, hanya sekitar 20 persennya yang siap menyambut tantangan tersebut, selebihnya dinilai belum siap bersaing di era global. “Jangankan bersaing di era globalisasi, bersaing di tingkat lokal saja sudah setengah mati,” tulis Tobari.
Menurut Tobari, fenomena ini tidak lepas dari dampak industrialisasi yang telah lama masuk ke sektor pendidikan tinggi, terutama sejak masa pemerintahan Orde Baru. Industrialisasi menjadikan pendidikan tinggi sebagai komoditas jasa, sehingga memicu maraknya pendirian PTS baru dan meningkatkan intensitas persaingan.
“Perang pemasaran dengan menawarkan berbagai janji dan beragam kemudahan menjadi hal biasa dalam usaha menarik,” ujar Tobari dalam tulisannya.
Hal senada juga disampaikan Elin Rosalin, dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UPI, dalam tulisannya “Membangun Competitive Advantage Perguruan Tinggi dalam Menghadapi Tantangan dan Perubahan Abad 21”. Ia menyebutkan bahwa perkembangan pendidikan tinggi secara kuantitas telah menciptakan tingkat persaingan di antara PTN dan PTS.
Menurut Elin, beberapa produk perundang-undangan perguruan tinggi turut memengaruhi kondisi ini. “Beberapa dampak penting dari lahirnya beberapa produk perundang-undangan perguruan tinggi akhir-akhir ini adalah: (1) berubahnya paradigma pengelolaan program pendidikan tinggi yang memungkinkan terjadinya diversifikasi program pendidikan dengan meningkatnya daya tampung di PTN. (2) ukuran kinerja PT tidak tergambarkan secara jelas dan lebih memposisikan PT sebagai institusi bisnis yang bersifat nirlaba,” tulisnya.
Di tengah tekanan global dan nasional tersebut, Elin menekankan pentingnya setiap perguruan tinggi untuk mencapai “service excellence” agar dapat mempertahankan reputasi dan memenuhi harapan mahasiswa. Hal ini menjadi kian penting di tengah fakta bahwa pada tahun 2004 terdapat sekitar 2.236 lembaga pendidikan tinggi swasta dengan jumlah mahasiswa sekitar 1,7 juta orang, menunjukkan bahwa PTS memegang peran signifikan dalam sistem pendidikan tinggi nasional.
Namun, tanpa strategi dan kemampuan adaptif banyak PTS yang akan kesulitan bertahan di tengah gelombang persaingan yang semakin kuat, bahkan dari sesama institusi di dalam negeri.
*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Salma Nur Fauziyah, Rizki Anugrah, dan Insan Radhiyan Nurrahim