• Berita
  • Kontras SPMB 2025: Riuh di SMA dan SMK Negeri, Sepi di Sekolah Swasta

Kontras SPMB 2025: Riuh di SMA dan SMK Negeri, Sepi di Sekolah Swasta

Pemerataan jumlah dan kualitas SMA dan SMK negeri dan swasta di Jawa Besar masih pekerjaan rumah. Favoritisme sekolah negeri masih mengakar kuat.

Proses SPMB di SMAN 22 Kota Bandung, 11 Juni 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam10 Juli 2025


BandungBergerak.id - Situasi Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 di SMA/SMK Negeri di Bandung kontras dengan di sekolah-sekolah swasta atau yang bernaung di bawah yayasan. Di saat sekolah negeri kebanjiran calon murid, sekolah-sekolah swasta justru sepi peminat. Favoritisme sekolah negeri masih berakar kuat.

Wacana jumlah rombongan belajar sekolah negeri menjadi 50 orang dari Gubernur Jabar Dedi Muladi semakin menambah ketar-ketir sekolah-sekolah swasta. Dalam posisi rombel saat ini saja (sekitar 35 orang), mereka sudah kesulitan menerima murid baru.

Kenyataan ini dihadapi SMA/SMK Maarif, Jalan Galunggung nomor 9, Lengkong, Kota Bandung. Hingga saat ini jumlah pendaftar ke sekolah di bawah naungan yayasan Badan Pelaksana Penyelenggara Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (BP3MNU) masih minim.

Selasa, 8 Juli 2025 SMA Maarif baru menerima 11 murid yang mendaftar, masih jauh dari kuota yang disediakan sebanyak 80 murid. Jumlah pendaftar SMK Maarif belum satu orang pun.

Dindin Suhardiman, guru olahraga sekaligus operator sekolah menjelaskan, sekolah yang didirikan tahun 1964 dan terakreditasi tahun 1997 ini memiliki tiga kelas, baik SMA ataupun SMK. Dulu, sekolah ini sempat memiliki empat sampai lima kelas setiap angkatan. Sementara jumlah ruang kelas di SMP, SMA, dan SMKK Maarif sebanyak 24 kelas.

“Nah, kalau sekarang mungkin ya agak menurun sih, bukan menurun lagi, tapi hampir terjun payung,” ujar Didin, saat ditemui BandungBergerak.

Dindin khawatir dengan pernyataan Dedi Mulyadi yang akan menambah kuota 50 rombel di SMA-SMA negeri. “Misalnya sekarang kebijakan 50 dengan kuota yang sama, berarti bakal banyak sekolah swasta yang kelasnya kosong,” ujarnya.

SMA/SMK Maarif sebenarnya memiliki lokasi yang strategis karena dekat dengan pusat kota. Posisinya berdekatan dengan kecamatan Batu Nunggal, Lengkong, Buah Batu, dan Kiaracondong.

Namun, SPMB tahun ini menerapkan kebijakan domisili sehingga murid yang hendak masuk ke SMA atau SMK akan mengutamakan masuk sekolah negeri dulu. Jumlah murid yang mendaftar ke sekolah swasta pun tergerus.

SMA/SMK Maarif telah berusaha dengan berbagai cara untuk menjaring murid baru. Mereka melakukan promosi sejak sebelum dibuka SPMB dan membuka pendaftaran dalam jangka waktu panjang.

Terkait biaya pendaftaran, calon peserta didik baru cukup merogoh kocek sebesar 200 ribu rupiah untuk iuran, tanpa harus membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). “Siapa pun yang memang kekurangan biaya misal, bisa masuk ke Maarif,” Didin.

Dindin berharap, kebijakan tentang SPMB yang berkeadilan sehingga sekolah-sekolah swasta tidak kehilangan murid. Contoh, ada jalur yang memakai sistem nilai sehingga murid yang tidak lulus sistem ini bisa masuk ke sekolah swasta. Dengan sistem SPMB saat ini, sekolah swasta tidak bisa berbuat banyak untuk menjaring calon murid.

Sekolah Swasta Jemput Bola

Kesulitan mencari peserta didik baru dialami juga oleh SMA Plus Muhammadiyah 3 Kota Bandung. Selasa, 8 Juli 2025 sekolah yang bernaung di bawah yayasan Muhammadiyah baru menerima enam calon peserta didik. Padahal saat ini pendaftaran sudah masuk gelombang ketiga.

Mimin Azminatus Syadiah, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan mengungkapkan, saat ini SMA Plus Muhammadiyah 3 Kota Bandung masih terus membuka pendaftaran. “Ini juga banyak siswa baru nanya-nanya, tapi belum daftar,” jelas Mimin, kepada BandungBergerak.

Untuk mengejar target kuota, SMA Plus Muhammadiyah 3 melakukan jemput bola ke lapangan. Pihak sekolah sudah bekerja sama dengan sejumlah panti asuhan di untuk menampung para calon peserta didik.

“Jadi yang tahun kemarin itu sekitar hampir 50 persen anak-anak yang sekelas sini itu adalah anak panti asuhan Muhammadiyah,” kata Mimin.

Mimin mengungkapkan alasan di balik minimnya peserta didik yang mendaftar ke sekolahnya antara lain karena letak sekolah yang cukup tersembunyi, yakni Jalan Banteng Dalam Nomor 6. “Kemudian sekolah kita (kami) itu dikelilingi oleh sekolah negeri,” kata guru yang menjabat sebagai Kepala PPDB.

Merujuk Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, di Kecamatan Lengkong terdapat 13 SMA/SMK, 10 di antaranya merupakan sekolah swasta yang berusaha mendapatkan murid baru.

Mimin juga khawatir dengan kebijakan domisili dan penambahan kuota 50 siswa di setiap rombel SMA negeri akan semakin mengurangi jumlah pendaftar ke sekolah swasta. Dia berharap, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang merata bagi sekolah negeri dan swasta.
Mimin ingin sekolah swasta juga diperhatikan. “Kebijakannya ya mudah-mudahan seimbanglah,” harapnya.

Saat ini total siswa SMA Plus Muhammadiyah 3 berjumlah 116 siswa. Setiap angkatannya dibagi dalam dua rombongan belajar, dan setiap kelasnya menampung dari 16-20 siswa.

Mimin menjelaskan, dengan jumlah siswa yang sedikit itu membuat pembelajaran lebih nyaman dan efektif. Setiap guru bisa mengenal lebih dekat murid-muridnya. “Dengan fasilitas yang ada, justru malah nyaman gitu,” jelasnya.

Baca Juga: Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Kota Bandung Dimulai, Kualitas dan Jumlah Sekolah Masih Timpang
SPMB 2025, Sistem Domisili Dikeluhkan Orang Tua Calon Murid

Pemerataan Kualitas Sekolah versus Favoritisme

Kebijakan domisili pada SPMB 2025 tidak jauh berbeda dengan jalur zonasi pada sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di tahun-tahun sebelumnya, yang bertujuan menghapus paradigma favoritisme terhadap sekolah negeri. Namun, di Kota Bandung, kebijakan ini belum sepenuhnya efektif. Ketimpangan layanan pendidikan di berbagai wilayah menyebabkan tidak meratanya akses terhadap sekolah negeri.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah sekolah menengah atas (SMA) negeri pada tahun 2021 sebanyak 28 sekolah, tersebar di 29 kecamatan. Sementara jumlah sekolah swasta 123 sekolah. Rata-rata daya tampung per angkatan untuk SMA mencapai 366 siswa, sedangkan SMK sebanyak 542 siswa.

Keterbatasan jumlah sekolah negeri menjadi tantangan tersendiri dalam menampung seluruh calon peserta didik. Sementara itu, sekolah swasta kerap mengalami kekurangan peminat. Kondisi ini menciptakan ketimpangan baru dalam sistem pendidikan yang seharusnya inklusif dan merata.

Kenneth Raffael Hidayat, mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, dalam esainya di BandungBergerak, menyoroti bahwa sekolah swasta menjadi solusi alternatif di tengah keterbatasan sekolah negeri. Sekolah swasta memiliki peran penting dalam menciptakan akses pendidikan yang lebih luas.

Ia merujuk pada data Data dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) 2024 bahwa sepertiga dari total siswa formal di Indonesia, yakni sekitar 10 juta dari 33 juta siswa, bersekolah di sekolah swasta. Khusus di tingkat SMK, jumlah sekolah swasta mencapai 10.500 unit, jauh lebih banyak dibandingkan SMK negeri yang hanya berjumlah 3.740 unit. 

Sistem Penerimaan Murid Baru Harus Terus Diperbaiki

Ketua Ombudsman Jawa Barat, Dan Satriana, menilai pemerataan kualitas dan distribusi sekolah menjadi kunci dalam menyelesaikan persoalan favoritisme dalam penerimaan murid baru. “Penyebab berulang, karena ada akar masalah yang belum selesai kita kerjakan, yaitu sebaran sekolah dan kualitas pelayanan pendidikan yang belum merata,” kata Dan Satriana (BandungBergerak, diakses Kamis, 10 Juli 2025).

Sistem penerimaan murid baru kemudian mendorong masyarakat berupaya untuk mendekatkan domisili ke sekolah yang diinginkan. Artinya, favoritisime sekolah masih berlaku. Dan berharap pemerintah terus memperbaiki sistem penerimaan murid baru agar berjalan adil dan jujur.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//