Keluh Kesah Seniman Bandung di Hadapan Wali Kota Muhammad Farhan: Pemajuan Kebudayaan Jalan di Tempat
Pemajuan kebudayaan di Kota Bandung dinilai kalah pamor dibandingkan Jakarta dan Yogjakarta.
Penulis Awla Rajul30 September 2025
BandungBergerak – Para seniman Kota Bandung mengeluhkan mandegnya pemajuan kebudayaan di acara Dialog Seniman bersama Wali Kota Bandung di Pendopo, Jumat, 26 September 2025. Seniman menilai pamor kebudayaan Bandung kalah dibandingkan Jakarta dan Yogjakarta. Menurut para seniman, Kota Bandung tak punya festival tahunan seni dan budaya yang berlangsung rutin dan berkelanjutan. Beda dengan Artjog Yogjakarta atau festival-festival lainnya di Jakarta.
Sastrawan Zulfa Nashrullah menyampaikan, semua keluhan tersebut dikumpulkan melalui google form. Hingga Jumat pagi, sebelum dialog berlangsung, sudah ada 100 masukan yang mewakili 100 komunitas budaya di Kota Bandung dari berbagai latar belakang, baik seni, musik, teater, seni rupa, film, bela diri, dan lainnya.
Google form tersebut menampung permasalahan melalui beberapa pertanyaan, di antaranya, bagaimana peran dan posisi pemerintah kota dalam dinamika ekosistem seni, akuntabilitas, keberadaan ruang publik seni, kualitas dan kinerja dinas terkait, perlindungan kebebasan berekspresi, event seni yang keberlanjutan, dan perijinan pajak.
“(Salah satu) masalah laten adalah pengadaan dana. Banyak yang bertahan menghidupi dengan dana mandiri. Ekosistem akan hidup kalau didukung pemerintah. Seni rupa tidak didukung oleh pemerintah kota,” beber Zulfa.
Zulfa menjelaskan, salah satu masalah ekosistem seni di Bandung adalah cara pandang pemerintah melihat seni dan budaya sebagai urusan yang tidak penting dalam kemajuan dan kesejahteraan kota. Padahal seni dan budaya dipandang dapat mendorong pemajuan Indeks Pembangunan Manusia. Faktanya, seniman dan lembaga seni melakukan kerja pemajuan kebudayaan secara mandiri dan lebih banyak kesulitan dalam hal anggaran.
“Masalah kedua soal ruang publik, enggak dikelola dengan baik. Tidak inklusif. Hanya berhenti sebatas gedung, konstruksi tanpa isi. Harusnya ada bangunan ruang seni yang berkelanjutan,” lanjut Zulfa.
Ruang publik untuk seni dinilai belum optimal pemanfaatannya, mulai dari sulitnya perizinan, tidak ada program rutin dan strategis, sampai kondisi ruang yang tidak inklusif dan tidak sesuai dengan kebutuhan warga. Padahal, seniman dan warga secara inklusif perlu dilibatkan dan diberi ruang dalam mengaktivasi ruang publik seni di Bandung.
Persoalan terakhir yang dibahas Zulfa adalah peran dan posisi pemerintah dalam pemajuan kebudayaan. Pemerintah Kota misalnya, termasuk Wali Kota, jarang hadir ke kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Pemerintah mestinya menjadi mitra dengan seniman, alih-alih penyelenggara. Di samping itu, pemerintah dinilai perlu mengalokasi dana khusus untuk seni, seperti memiliki dana abadi untuk kebudayaan yang bisa dimanfaatkan. Selain perlunya mebmbentuk majelis seni dan budaya.
“Terkait peran dan posisi pemerintah, terutama Disbudpar, pemerintah perlu jadi fasilitator dan regulator aktif dan tidak menjadi aktor/eksekutor program yang menganggap pegiat seni sekadar data atau rival pekerjaan. Lakukan pendataan, riset masalah, dan pemrograman dengan melibatkan warga dan seniman secara inklusif dan akuntabel. Menyamakan terminologi, nilai pemajuan, dan indikator keberhasilan program dari bawah. Membentuk lembaga khusus yang menjembatani warga dan pemerintah serta membentuk dana abadi kebudayaan kota,” lanjut Zulfa.
Kolaborasi Sudah Diatur Perda
Kurator di Selasar Sunaryo Heru Hikayat menjelaskan soal ketidakselarasan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dengan realitas lapangan. PPKD adalah dokumen yang berisi kondisi faktual dan permasalahan suatu daerah terkait pemajuan kebudayaan. Di dalamnya berisi permasalahan, termasuk solusi yang bisa dijalankan dalam jangka waktu tertentu.
Indonesia sudah punya Undang-Undang No. 15 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Heru menegaskan, UU ini mengatur peran pemerintah dalam upaya pemajuan kebudayaan.
“Negara tidak bisa mengatur kebudayaan, karena itu produk kolektif,” ungkapnya.
Jika pelaksanaan UU itu konsisten, kata Heru, idealnya skema lapangan akan berjalan baik antara masyarakat dan pemerintah. Sebab, kerja-kerja seni biasanya organik. Sulit bertemu dengan kerja pemerintah yang sistemik, rigid, dan kaku. Makanya, dua kerja ini perlu diselaraskan.
Heru menyebut, Bandung merupakan salah satu kota pertama di Indonesia yang mengadopsi peraturan Pemajuan Kebudayaan dari UU, yaitu Perda Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemajuan Kebudayaan. Menurutnya, isinya selaras dengan UU. Di dalam perda, sudah disebutkan, bahwa pemerintah kota bertugas menjamin kebebasan dan perlindungan atas ekspresi budaya.
Pemerintah juga bertugas menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan, melaksanakan pemajuan kebudayaan, menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Pemerintah juga perlu mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam pemajuan kebudayaan, serta membentuk mekanisme pelibatan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan.
Perda tentang Pemajuan Kebudayaan kota Bandung juga telah mengatur bahwa setiap orang berhak untuk berekspresi, mendapatkan perlindungan atas hasil ekspresi budayanya, berpartisipasi dalam pemajuan kebudayaan, dan hak-hak lainnya.
“Jadi kawan-kawan seniman mengeluh dan pemerintah harus melakukan itu sudah punya kewajiban dari perda. Aturan itu mengatur hak dan kewajiban yang seimbang antara warga dan pemerintah,” terang Heru.
Lebih lanjut, Heru menerangkan, PPKD adalah blueprint seni budaya sebuah kota. Dengan adanya PPKD, sebenarnya tak perlu lagi dilakukan jajak pendapat untuk merumuskan masalah dan solusinya. Dokumen resmi itu sudah merangkumnya. Sebab kerja-kerja pemajuan kebudayaan perlu merujuk pada PPKD.
Selain itu, PPKD juga perlu dimutakhirkan secara berkala. PPKD terbaru Kota Bandung adalah keluaran tahun 2022. Tapi Heru mengaku belum pernah membacanya. Melihat persoalan Pemajuan Kebudayaan Bandung, ia merekomendasikan untuk dibentuk sebuah lembaga partisipatif yang menjembatani antara seniman dengan pemerintah.
Heru merekomendasikan dibentuk gugus tugas yang bisa bergerak cepat untuk melakukan sinkronisasi. Diperlukam satu tim untuk mengajak organisasi pemerintah daerah sinergis dengan potensi kebudayaan yang ada. Model gugus tugas dinilai sebagai bentuk yang lebih ideal untuk Kota Bandung saat ini dibanding berbentuk dewan.
“Apa pun itu, tetap harus berpijak pada regulasi yang resmi dan berlaku, disertai langkah-langkah kerja yang taktis dan sistematis. PPKD harus direvisi dan diselaraskan dengan perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan program pemajuan kebudayaan. Wali Kota dan OPD terkait sebaiknya didampingi mitra strategis berupa tim ahli atau gugus tugas untuk menjaga keselarasan dan menjain asas partisipatif,” kata Heru.
Baca Juga: Para Seniman Mengarsipkan Sisa-sisa Masa Depan di Kota Bandung, Merekam Ingatan Melalui Fotografi dan Lagu Sabubukna
Upacara Kemerdekaan Runtah ala Seniman Bandung di Sekitar TPS Hutan Kota Babakan Siliwangi
Tanggapan Wali Kota
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menjelaskan, ketidakhadirannya di sejumlah acara seni dan budaya bukan karena enggan, tetapi karena terbatasnya waktu akibat berbagai persoalan kota yang mendesak, seperti sampah, banjir, dan kondisi insidentil lainnya. Ia pun menyampaikan permohonan maaf kepada para pelaku seni.
Farhan mengakui bahwa pemerintah memang bertugas menciptakan ekosistem seni budaya, namun para pelaku seni adalah garda terdepannya. Pemerintah, kata dia, harus hadir sebagai fasilitator dan bukan dominator. Ia juga menekankan pentingnya menciptakan ruang seni yang inklusif dan mudah diakses semua kalangan.
Beberapa langkah sudah dilakukan, seperti mendorong reaktivasi Teater Dhian, mengubah konsep Bandung Creative Hub menjadi pusat inkubasi ekonomi kreatif, serta rencana perbaikan Mayang Sundang dan ruang-ruang pertunjukan lainnya.
"Nanti akan kita perbaiki satu per satu," ucap Farhan menanggapi keluhan seniman.
Terkait anggaran, Farhan menegaskan bahwa pemerintah terikat pada regulasi. Oleh karena itu, setiap rencana perlu ditelaah satu per satu dan disesuaikan dengan pembahasan anggaran tahun 2026.
“Maka dari Perda tersebut (Perda Pemajuan Kebudayaan) kita akan coba laksanakan lagi, mumpung kita sedang membahas tentang kebijakan umum anggaran 2026 ya, satu-satu, mana poin-poin tersebut yang sudah mendapatkan keberpihakan anggaran dan berapa misalkan. PR itu mah pasti,” kata Farhan.
Ia juga mendorong para seniman untuk mengajak anggota legislatif di berbagai tingkatan agar turut memperjuangkan anggaran untuk seni dan budaya.
Farhan menyatakan bahwa pemerintah tetap berkomitmen memajukan kebudayaan, meskipun dibatasi oleh sistem birokrasi yang kaku. Ia meminta agar organisasi perangkat daerah (OPD) menggunakan fleksibilitas yang tersedia, selama tetap dalam koridor hukum.
"Tugas saya ke depan adalah menciptakan ruang publik yang nyaman," ucapnya.
Ia juga menegaskan tidak akan bekerja dengan pola gebrakan atau janji kosong. Setiap kebijakan dan program akan dirancang berdasarkan riset, aturan, dan proses birokrasi yang berlaku.
Pernyataan Farhan dinilai sebagai sikap terbuka, mau mendengar, dan siap mendampingi para seniman Kota Bandung.
“Pada intinya dia mau mendorong dan mengawal semua usulan seniman,” kata Zulfa Nasrullah.
Zulfa juga menyebut bahwa Farhan masih bersikap hati-hati, namun menunjukkan itikad baik untuk belajar dan membuka ruang dialog.
"Saya rasa dia cukup serius mau belajar dan mewadahi gagasan seniman. Tapi tentu ini harus terus dikawal,” katanya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB