Para Seniman Mengarsipkan Sisa-sisa Masa Depan di Kota Bandung, Merekam Ingatan Melalui Fotografi dan Lagu Sabubukna
Dari 10 seniman, dua di antaranya memilih berkarya di Dago Elos. Mereka merekam perjuangan warga melawan mafia tanah.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah14 Maret 2025
BandungBergerak.id - Sepuluh seniman dari berbagai daerah di Indonesia membayangkan masa depan yang tersisa dari sebuah kota yang menyimpan berbagai lanskap ingatan dan luka-luka sejarah. Dua seniman di antaranya memilih Dago Elos sebagai tempat berkarya. Ada karya foto keluarga di studio dadakan di Terminal Dago, ada pula lagu berjudul “Sabubukna”.
Karya-karya mereka ditampilkan dalam acara Pseudo-Entertainment yang dipresentasikan selama tiga hari, 7-9 Maret 2025 di beberapa tempat di Kota Bandung seperti di Kedai Jante, Terminal Dago Elos, dan Gelanggang Olah Rasa.
Seni fotografi dipakai Adhea Rizky untuk membicarakan kasih sayang keluarga sebagai spirit yang terus membakar semangat perjuangan warga Dago Elos. Adhea merekam kenangan-kenangan warga yang lebih bersifat personal, yakni tentang rumah dan keluarga.
Menariknya, Adhea kemudian membikin studio foto dadakan di Terminal Dago Elos untuk memfasilitasi keluarga Dago Elos menjalani pemotretan. “Aku tuh akhirnya bikin photobooth, karena gak semua warga mempunyai foto keluarga,” tutur Adhea.
Pengkaryaan ini dilakukan Adhea dengan cara residensi di tanah yang sedang dalam sengketa. Tadinya ia ingin membuat museum arsip Dago Elos, tetapi karena keterbatasan waktu dan sumber daya akhirnya ia memilih foto keluarga warga Dago Elos dan rumah atau tanah mereka.
“Aku kepikiran kayaknya merawat ingatan warganya, salah satu cara mereka merawat perjuangan aku meriset warga-warga di sini apa arti rumah bagi mereka, seberapa terikat mereka dengan rumah ini,” cerita Dea.
Seniman lainnya yang berkarya terkait Dago Elos, Arum Dayu melakukan proses kreatif dengan bantuan artificial intelligence (AI) untuk menciptakan lagu semangat perjuangan warga. Lagu tersebut diberi judul ‘Sabubukna’, terinspirasi dari perjuangan dan aktivitas kesenian warga Dago Elos.
“Liriknya memang akhirnya aku susun sendiri. Susun sendiri itu dalam artian aku mencoba menginterpretasi cerita perjuangan dan perlawanan Dago Elos,” jelas Arum.
Mantan jurnalis foto tersebut menambahkan, judul lagu Sabubukna diambil dari banyaknya mural dan kaus yang sering dipakai warga ketika aksi atau mengawal sidang Dago Elos.
“Aku langsung ambil tuh kata kunci Sabubukna, udah jadi judul, itu yang memang pengin aku naikin. Liriknya juga gak yang gimana-gimana sih, karena intinya kan aku mencoba apa yang mengambil dari yang mereka sudah lakukan,” tuturnya.
Lagu Arum kemudian diputar di beberapa titik sepanjang Dago Elos – Cikapayang, dinyanyikan di warung kopi sampai oleh pengamen jalanan.
Baca Juga: Dago Elos Menang!
Sewindu Sudah Warga Dago Elos Turun ke Jalan, dari Festival Kampung Kota ke Pengadilan
Warga Mengawal Sidang Pemalsuan Tanah Dago Elos, Kuasa Hukum Keluarga Muller Meminta Jangan Sebut Mereka Mafia Tanah

Mempertanyakan Hubungan Seniman dan Kotanya
Kurator Pseudo-Entertainment Eka Putra Nggalu menjelaskan, proyek ini mengundang para seniman untuk mempertanyakan kembali bagaimana hubungan antara seniman, karya seni, warga penonton, serta konteks sosial politik yang melingkupinya.
Para seniman partisipan sebelumnya melakukan residensi selama satu bulan. Mereka didorong untuk mempertanyakan sekaligus membayangkan kembali motif, gagasan, praktik, bentuk, dan kepenontonan seni secara radikal sebagai cita-cita tentang transformasi sosial yang turut membangun medan produksi seni.
“Kita melihat seni secara luas gitu, seni yang indah, yang estetik, tetapi apakah juga dia punya kontribusi sosial. Dia (seni) apa bisa bicara soal isu sosial tertentu,” kata Eka, kepada BandungBergerak, Sabtu, 8 Maret 2025.
Para seniman tidak sekadar residensi, lokakarya, dan presentasi karya. Akan tetapi, mereka berjejaring dan melibatkan diri pada isu-isu kota. Bandung dipandang tidak hanya pengusung marwah dan legasi Asia Afrika. Kota ini justru bergerak dengan logika pembangunan yang kapitalistik dengan munculnya persoalan agraria, perampasan lahan atas nama pembangunan, serta perusakan ekologi.
“Jadi ada semacam asumsi kalau sebenarnya pola pembangunan yang sifatnya kapitalistik, itu tidak hanya berlangsung di Bandung. Tapi juga kayak jadi seragam, jadi pola yang hampir berulang sama di seluruh wilayah Indonesia kayaknya gitu,” bebernya.
Eka menuturkan, acara Pseudo-Entertainment sebelumnya telah membuka seluas-luasnya pendaftaran para seniman. Selanjutnya mereka dikurasi sesuai tema, kewilayahan, dan gender. Lalu, mereka menjalani residensi selama satu bulan yaitu 10 Februari-10 Maret 2024.
Selama residensi mereka melakukan kegiatan kunjungan kelompok dan tempat. Mereka juga melakukan riset-riset mandiri di tempat-tempat yang mereka anggap menarik untuk ditelusuri.
Tahapan selanjutnya melakukan lokakarya, di antaranya lokakarya mengenai koreografi sosial yang menjelaskan bagaimana kota dipertunjukkan dan kota memainkan pertunjukan. Eka percaya bahwa kesenian bisa mengintervensi cara berpikir orang termasuk memberikan tawaran terhadap arah sejarah dan kemajuan yang lebih baik.
Eka menginginkan agar kerja-kerja kesenian tidak dilakukan sendirian dengan durasi yang begitu pendek. Namun, kerja-kerja kesenian harus menjadi kerja yang panjang dan menjadi gerakan kolektif dengan berjejaring gagasan, ide, serta solidaritas yang bisa dilakukan di seluruh daerah. Estetika jejaring bukan semata membicarakan keindahan, tetapi bersolidaritas serta berempati satu sama lain.
Ada pun sepuluh seniman, penulis, aktivis yang menjadi partisipan proyek ini antara lain Adhea Rizky Febrian (aktivis, Bandung), Amina Gaylene (penulis, Depok), Arif Furqan (seniman, Yogyakarta), Arum Dayu (seniman, Bandung), Ganda Swarna (aktor, Ciputat), Fachry Matlawa (penari/koreografer, Papua), Mega Buana (penari/koreografer, Bandung), Rama Anggara (komponis, Pontianak), Syamsul Arifin (aktor, Sampang) serta Angela Sunaryo (Bandung), dan Helmi Hardian dari kolektif Bioahaha (Surabaya).
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Dago Elos