Upacara Kemerdekaan Runtah ala Seniman Bandung di Sekitar TPS Hutan Kota Babakan Siliwangi
Seniman dan warga Bandung diajak bersatu melawan sampah dan korupsi. Para pegiat seni diajak turun dari menara studio seni.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Hari Kemerdekaan ke-80 tahun Republik Indonesia dilakukan secara kreatif dan khidmat oleh para seniman Bandung. Para pelukis, musisi, sastrawan, hingga aktor teater melaksanakan upacara kemerdekaan dengan tajuk “Upacara Kemerdekaan Runtah” di sekitar gudang tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Hutan Kota Babakan Siliwangi dan Sasana Budaya Ganesha ITB, Minggu, 17 Agustus 2025. Upacara dipimpin oleh pelukis cum kurator seni Isa Perkasa. Sementara seniman Tisna Sanjaya sebagai inspektur atau pembina upacara. Esais dan penulis Hawe Setiawan menjadi pembaca teks proklamasi.
Tisna Sanjaya menyampaikan kritik terhadap Hutan Kota Babakan Siliwangi yang kini telah tertutupi oleh sampah-sampah secara sistemik dan meluas. Seniman ini menilai, siklus ekosistem flora-fauna dan pohon-pohon termasuk Sanggar Olah Seni dan tempat olahraga terganggu oleh bisnis baru sampah, termasuk dengan keberadaan mesin pencacah plastik. Menurutnya, tempat pemrosesan sampah di hutan kota bukan langkah yang tepat.
“Tempat pembuangan sampah ini hanyalah modus dari bisnis sampah yang sangat menggiurkan. Silakan saja kalau mau disebut wisata ke dalam. Bukan berarti kami menolak upaya-upaya kreatif dari industri limbah atau daur ulang sampah. Bukan. Tetapi masalahnyaa lokasinya tidak tepat, sebab berada di Hutan Kota Babakan Siliwangi,” kata Tisna, dalam pidato upacara kemerdekaan.

Tisna beramanat agar tempat sampah dipindahkan ke tempat lain. Ia menyebut hutan kota harus menjadi ruang inspiratif untuk seni dan kebudayaan.
“Hutan ini akan kembali menjadi ruang inspiratif untuk seni dan kebudayaan, bukan hanya seni tapi juga tradisi dan budaya dari karuhun. Karena itu saya mohon, Pak Wali Kota, Kang Farhan, juga Kang Dedi Mulyadi sebagai gubernur, hadir kembali ke sini. Segera pindahkan gudang sampah itu. Merdeka!” kata Tisna.
Sudah sejak lama para seniman berjuang menjaga kawasan hutan kota agar tidak dirusak. Mereka pernah berkumpul dan protes rencana menjadikan hutan kota sebagai hotel dan restoran.
“Waktu itu, seniman, aktivis lingkungan, akademisi, warga, berbagai komunitas dan kolektif bersatu padu mengusir bentuk perusakan hutan Siliwangi yang dibungkus modus pariwisata,” tutur dosen FSRD ITB ini.
“Perjuangan dilakukan dengan kreativitas, jalur hukum, juga demonstrasi. Bersama-sama kami membongkar seng yang menutup hutan kota, lalu mengangkutnya ke Galeri YPK dan Pemkot Bandung. Akhirnya, hutan kota ini berhasil dipertahankan: tetap asri, tetap hijau jadi paru-paru kota,” lanjut Tisna.
Tisna menilai, Pemerintah Kota Bandung seperti tidak belajar dari sejarah. Melalui upacara ini para seniman mengingatkan lewat imajinasi dan kreativitas.
“Pemkot Bandung justru membangun gudang runtah di sini. Itu artinya tidak pernah belajar dari sejarah perjuangan mempertahankan hutan kota. Pemkot lengah, alfa pada sejarah bangsa Bandung,” ujar Tisna.
Upacara ditutup dengan doa, lalu dibubarkan oleh petugas upacara Isa Perkasa. Acara dilanjutkan penampilan pembacaan puisi, teatrikal, dan melukis bersama. Isa kemudian melakukan teatrikal dengan menaiki bak sampah, menutup wajahnya dengan globe bumi sebagai simbol kritik bahwa bumi kini sudah dangkal.
“Saya mengkritik soal sampah, soal alur pengelolaan yang salah kaprah, soal bumi yang makin rusak. Akibat dari persoalan itu, termasuk juga insinerator yang dibangun di tengah-tengah hutan kota,” kata Isa.

Isa mengingat bagaimana momen pertama kali sampah dibuang di hutan kota. Awalnya hanya satu container, lama-kelamaan menumpuk sampai sekarang.
“Kita di sini percuma, tetap saja dijadikan tempat simpanan sampah. Kita mengkritik supaya jangan ada sampah di sini. Kita sudah demo soal lingkungan, sudah lebih dari sepuluh tahun. Tapi sampah di sini malah kayak ‘disekolahkan’,” terang Isa.
Para seniman merasa sakit hati dengan munculnya persoalan sampah di hutan kota. Dulu mereka merasa perjuangan sudah bebas, sudah berhasil membebaskan Babakan Siliwangi dari ancaman komersialisasi dan monopoli.
“Sekarang muncul persoalan baru yang lebih menyakitkan. Lebih menyakitkan daripada kemarin-kemarin,” kata Isa.
Sementara itu, Ernawatie, warga Bandung yang menjadi tamu undangan mengatakan, upacara ini membuka mata akan permasalahan sampah yang sangat darurat.
“Sangat tidak tepat menempatkan gudang-gudang persampahan walaupun dengan label recycle atau apa pun namanya di area hutan kota seperti Babakan Siliwangi,” jelas Erna.
Erna mengatakan, status hutan kota menjadi kontradiktif. Alih-alih menjadi tempat udara segar, kini justru bau busuk sampah, lalat, serta karung-karung yang tidak estetik.
“Jadi, mudah-mudahan rekomendasi dari Kang Tisna tadi sebagai inspektur upacara, sekaligus mewakili banyak warga Bandung, bukan hanya seniman bisa jadi dorongan untuk mengkaji ulang keberadaan gudang sampah ini,” ungkap Erna.
Baca Juga: Pesan Kemerdekaan dari Veteran Perempuan Siti Fatimah
Mengais Asa Revolusi
Seni dan Pesan Kemerdekaan
Di hari kemerdekaan ini Tisna Sanjaya menyampaikan bahwa seni tak boleh berhenti sebagai ekspresi personal melainkan harus menjadi gerakan perubahan sosial. Menurutnya, seni memiliki dua metode.
Metode pertama, seni personal yang bersifat otonom seperti melukis, menggambar, atau berkarya di studio. Metode kedua, seni sebagai perubahan harus berangkat dari kekuatan personal yang diperluas menjadi peristiwa kebudayaan.
“Seperti yang kita lakukan di sini, upacara dan mengumpulkan orang. Itu tidak mudah. Butuh kekuatan personal yang terlatih. Kalau tidak, hasilnya awut-awutan. Jadi ekosistem seni harus dibangun keluar,” ujar Tisna.
Tisna berpesan, para seniman dan warga Bandung bisa berani dan bersatu menghadapi berbagai persoalan termasuk sampah. Di usia kemerdekaan Indonesia ke-80, Tisna mengingatkan bagaimana semangat para pendiri bagsa menyingkirkan kolonialisme dengan kebudayaan dan politik.
“Kita perlu ngahiji. Jangan hanya sibuk di studio masing-masing. Kalau ada sungai kotor, kita bersatu. Kalau ada politik korup, kita bersatu. Kalau ada sampah, ya harus dilawan bersama. Itu yang saya upayakan,” jelas Tisna.

Gelombang Protes terhadap Komersialisasi Babakan Siliwangi
Babakan Siliwangi merupakan salah satu—kalau bukan satu-satunya—hutan yang tersisa di Bandung. Kawasan hijau seluas sekitar 31.037 meter persegi atau 3,1 hektare yang letaknya berdampingan dengan kampus ITB dan Kebun Binatang Bandung ini ibarat oase di tengah padatanya kota urban yang mengalami krisis ruang terbuka hijau.
Di pinggir Babakan Siliwangi mengalir Sungai Cikapundung yang jadi pemisah atara lahan hijau dan permukiman super padat di belakang Jalan Cihampelas. Keberadaan Babakan Siliwangi dinilai menjadi sumbangan penting secara ekologis bagi Bandung yang makin sesak oleh penduduk dan segala aktivitasnya.
Kota Bandung yang luasnya hanya sekitar 16.000 hektare sangat terbantu dengan keberadaan ruang terbuka hijau Babakan Siliwangi. Tanpa hutan kota yang menjadi gudang oksigen, Kota Bandung hanya menjadi metropolitan yang penuh beton dan polusi, panas dan gersang.
Rencana komersialisasi Babakan Siliwangi nyaris mewujud manakala hutan kota ini sudah dipagari dinding seng-seng di sekelilingnya. Menghadapi hal itu, beragam organisasi masyararakat sipil di Bandung kemudian membentuk Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) sebagai wadah perlawanan yang menolak komersialisasi Babakan Siliwangi.
Pada tanggal 20 Mei 2013 FWPBS turun ke jalan memprotes pembangunan Babakan Siliwangi. Seng-seng tersebut dicabut dan dijadikan instalasi seni perlawanan. Mereka “mengadakan arak-arakan dari Babakan Siliwangi ke Balai Kota dengan mengusung lembaran seng yang sebelumnya menutupi hutan kota itu,” demikian dikutip dari siaran pers FWPBS, diakses dari laman Save Babakan Siliwangi, Rabu, 27 September 2023.
FWPBS melaporkan, sedikitnya 7.000 orang turut menandatangi petisi warga yang menentang privatisasi, komersialisasi, dan alih fungsi hutan kota itu. Warga secara terbuka menyatakan sikapnya untuk menolak kebijakan Pemkot Bandung yang memberi izin terhadap pembangunan restoran dan kompersialisasi Babakan Siliwangi terhadap PT EGI.
FWPBS merupakan gerakan protes yang didominasi dengan unsur budaya. Komunitas atau organisasi yang turut bergabung dalam forum ini antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Keluarga Sunda Nusantara (Aksan), Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Bamus Sunda, Forum Diskusi Hukum (Fordiskum) Bandung, Institut Nalar Jatinangor, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Paguyuban Sundawani Wirabuana, Kasepuhan Cipageran, Paguyuban Pasundan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Komunitas Gerbong Bawah Tanah, Sanggar Olah Seni (SOS), Common Room Networks Foundation (Common Room), Komunitas Pelukis Mural Seng Babalan Siliwangi, Bandung Creative City Forum (BCCF), Greeneration Indonesia (GI), Komunitas Sahabat Kota, FK3I, SPK PT DI, HMTL ITB, FMN, UKSK UPI, Komunitas Backsilmove, Mapala, Korgala Unpar, Wakcabalaka, dan individu-individu lainnya.
Hasil gerakan budaya ini cukup menggembirakan. Wali Kota Dada Rosada pada 30 Juni 2013 mencabut IMB untuk proyek restoran di Babakan Siliwangi oleh PT EGI, perusahaan yang ingin mengelola saran komersial di Babakan Siliwangi. Bagi Dada Rosada, tahun ini juga menjadi titik balik karena beberapa bulan kemudian pria yang mejabat Wali Kota Bandung dua periode ini lantas ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemkot Bandung.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB