• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #96: Pesan Kemerdekaan dari Veteran Perempuan Siti Fatimah

CERITA ORANG BANDUNG #96: Pesan Kemerdekaan dari Veteran Perempuan Siti Fatimah

Di masa revolusi Siti Fatimah menjalankan tugas sebagai mata-mata. Setelah revolusi suaminya meninggal. Ia sempat berjualan kecap.

Siti Fatimah, 95 tahun, veteran perempuan pejuang kemerdekaan di rumahnya di kawasan Malabar, Kota Bandung, Jumat sore, 15 Agustus 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Tidak mudah mencari alamat Siti Fatimah, 95 tahun, veteran perempuan pejuang kemerdekaan. Hampir memakan waktu berjam-jam untuk mencari alamat Jalan Waluh 19 Malabar, Kota Bandung. Beberapa kali salah alamat sampai-sampai dicurigai warga sekitar. Tidak ada yang kenal dengan Siti Fatimah.

“Saya tinggal di sini hampir dua puluh lima tahun, dan tak pernah tahu ada yang namanya Siti Fatimah,” cetus salah seorang yang berpakaian petugas keamanan wilayah wilayah. “Saya juga kenal hampir puluhan wartawan, saya gak nanya Anda siapa, apa maksud kalian datang kemari?” timpalnya, dengan tensi dan raut muka marah.

Pencarian dilanjutkan. Seorang petugas kemudian memberikan petunjuk tentang rumah Siti Fatimah. Di Jalan Waluh perempuan 10 anak ini tinggal bersama anak ke-9. Siti pernah tinggal di Jalan Rakatan selama kurang lebih 45 tahun, sebelum kemudian bersama anaknya sampai sekarang.

“Tadinya saya tinggal di sana, soalnya bapak (suami saya) merupakan pensiunan tentara,” ujar Siti, kepada wartawan, Jumat sore, 15 Agustus 2025.

Siti dan keluarga menyambut kedatangan wartawan dalam suasana hangat di ruang tamu. Ia bahkan sempat berganti pakaian mengenakan seragam pejuang veteran berwarna cokelat, memakai jilbab hitam. Tangannya menggenggam topi pejuang.

Di ruang tamu, Siti menceritakan bagaimana awal mula ia berjuang mempertahankan kemerdekaan ketika Belanda masih ingin menguasai Indonesia. Di masa revolusi Siti Fatimah bergabung Tentara Republik Indonesia (TRIP). Usianya saat itu 15 tahun dan masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah. Ia berjuang dan ikut bergerilya di daerah perbatasan Kuningan, Jawa Barat.

Siti bertugas sebagai mata-mata dan informan yang menyampaikan pesan. Misi ini tak bisa dilakukan oleh mereka mudah dicurigai oleh Belanda, tapi amat berisiko bagi Siti di usianya yang sangat muda. “Waktu itu, memang ibu yang paling muda di tentara pelajar. Sebagian sudah 17 tahun ke atas,” katanya.

Pesan-pesan rahasia disampaikan Siti pada para pejuang di beberapa tempat gerilya di kawasan Kuningan yang mencakupi Cisanggarung, Luragung, dan Ciwaru. Selain sebagai kurir penyambung pesan rahasia, ia kerap mengumpulkan informasi lapangan.

Selama menjalankan tugas, Siti biasa berpakaian seperti gadis kampung umumnya, memakai sepatu dan kaus kaki. Pesan rahasia biasa disimpan di secarik kertas yang diselipkan di balik kaus kakinya. “Isinya gak tahu, yang kasih Komandan, Kapten Mustafa, untuk pejuang di kota,” ceritanya, tanpa merinci siapa Kapten Mustafa.

Suatu hari ia menempuh perjalanan dari Ciwaru ke Luragung yang ditempuh tiga jam dengn berjalan kaki. Siti menyelinap bersama para penjual hasil bumi. Dua kali Siti numpang ke truk. Beruntung ia tak dicurigai. Jika pun ada patrol, usianya yang belia justru menjadi penyelamat. Para pedagang hasil bumi melindunginya dengan mengatakan kepada petugas patrol bahwa ia anak mereka.

“Naon da ieu mah anak dewek, ini mah anak saya, para pedagang selalu membela saya,” cerita Siti.

Salah satu pengalaman berisiko tinggi terjadi saat ia naik truk Belanda. Di saat yang sama tentara republik melancarkan serangan. Siti berhasil lolos dari serangan itu. “Kalau meninggal waktu itu konyol, karena ikut truk Belanda. Tapi mungkin karena masih anak-anak jadi perhitungannya gimana,” lanjut Siti.

M.C. Rickfels dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menyebut Masa Revolusi 1945-1950 merupakan kali ketiga Belanda ingin menaklukan Indonesia. Namun usaha Belanda selalu gagal karena mendapatkan perlawanan dari bangsa Indonesia.

Salah satu fase di masa revolusi pusat kepemimpinan sempat berada di Yogyakarta. Siti menceritakan, suaminya yang bernama Muhammad Tomi ikut hijrah ke Yogyakarta bersama tentara republik. Siti memilih bertahan di Jawa Barat. Menurutnya, perjuangan di daerah justru lebih berat.

Peristiwa hijrahnya para pejuang tak dijelaskan oleh Siti. Dalam catatan Rickfles, orang-orang republik setelah perjanjian Renville keluar dari Jawa Barat. Divisi Siliwangi yang dipimpin Kolonel Nasution membawa 22.000 prajurit Siliwangi keluar Jawa Barat yang dikuasai Belanda ke Jawa Tengah yang dikuasai republik.

Banyak tentara Divisi Siliwangi yang kecewa dengan perjanjian Renville, salah satunya Letkol A.E Kawilarang. Saat itu para pejuang tengah melawan Belanda di Sukabumi dan Cianjur. Sebagaimana dijelaskan Hendri Jo dalam artikel Hijrahnya Sang Maung di historia.id, kebanyakan prajurit menganggap persetujuan tersebut merugikan republik.

Sementara Divisi Siliwangi terus bergerak dari Cirebon ke Jawa Tengah. Mereka tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta disambut Muhammad Hatta. Menurut Siti, sang suami juga ikut dalam perjuangan tersebut. Bahkan saat Serangan Umum 1 Maret saat pejuang republik berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 Jam.

Selama satu tahun berjuang Siti mendapatkan gelar Bintang Geriliya. Siti menikah dengan Tomi di masa setelah revolusi tahun 1951. Tomi berusia 23 tahun dan Siti 19 tahun. Pasangan ini dikarunia 10 anak. Suaminya meninggal bersama putra bungsunya dalam sebuah kecelakaan sepulang dinas ABRI di daerah Cileunyi tahun 1973.

Perjuangan Siti terus berlanjut. Kali ini ia harus menghidupi keluarga tanpa suami. Ia mencari penghasilan hingga pernah berjualan kecap berbekal warisan orang tua.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #94: Kisah Toekang Saeh dan Kertas Daluangnya
CERITA ORANG BANDUNG #95: Atang, Seorang Juru Parkir di Tengah Pasang Surut Bisnis Distro

Siti Fatimah, 95 tahun, veteran perempuan pejuang kemerdekaan di rumahnya di kawasan Malabar, Kota Bandung, Jumat sore, 15 Agustus 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Siti Fatimah, 95 tahun, veteran perempuan pejuang kemerdekaan di rumahnya di kawasan Malabar, Kota Bandung, Jumat sore, 15 Agustus 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Pesan Kemerdekaan

Kini kemerdekaan Indonesia telah berusia 80 tahun. Perjalanan panjang ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Siti berpesan agar generasi muda tidak melupakan nilai-nilai perjuangan di masa lalu. “Semoga yang muda-muda bisa mengisinya kemerdekaan itu. Kalau dulu hanya ingin mempertahankan dan ingin merebutnya,” kata Siti.

Siti mengatakan, perjuangan saat ini lebih berat. Tantangan kini mempertahankan kemerdekaan harus dengan kerja nyata. “Kalau jadi pemimpin, jadilah pemimpin yang baik. Di bidang apa saja jalankan dengan sungguh-sungguh,” pesannya.

Siti juga menekankan pentingnya ilmu pengetahuan bagi generasi muda untuk kepentingan bangsa. Ilmu tersebut harus dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa.

“Tetap semangat, dan terus berjuang, merdeka,” kata Siti Fatimah, dengan acungan tangan yang mengepal, di akhir wawancara.

Tak Semua Veteran Tercatat

Nama Siti Fatimah tercatat di data Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Bandung. Staf Administrasi Veteran LVRI Kota Bandung Putut Susanto mengatakan, Siti digolongkan sebagai Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI).

Putut menambahkan, masih banyak veteran yang belum mendaftarkan diri sehingga belum terdata. Menurutnya, data resmi jumlah veteran penting. Saat ini pihaknya tengah menjalankan sensus pendataan.

“Di Kota Bandung sebetulnya banyak veteran. Cuma mereka tidak mendaftarkan ke LVRI Kota Bandung. Tahun ini kita sedang menjalankan sensus pendataan untuk veteran yang ada di Kota Bandung, hanya saja belum selesai semua,” kata Putut, saat dihubungi, Jumat, 15 Agustus 2025.

Saat ini terdapat sekitar 410 veteran yang terdaftar. Angka tersebut belum diperbarui sebab sebagian di antaranya sudah meninggal dunia. Dari jumlah itu hanya sekitar empat orang veteran yang tercatat pernah terlibat langsung dalam peristiwa besar, seperti Bandung Lautan Api.

“Yang lainnya kebanyakan veteran Trikora. Terus, sekarang yang baru-baru ini PBB. Sedangkan Ibu Fatimah itu masuknya PKRI,” ujar Putut.

Untuk menunjang penghargaan kepada para veteran. Putut menyebut pemerintah memberikan tunjangan bagi mereka. Namun tidak semua golongan mendapatkan tunjangan secara penuh, terutama mereka yang pernah tergabung dalam pasukan PBB.

“Masih diurus, jadi belum masuk. Intinya, negara tidak melupakan jasa-jasa mereka,” jelasnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//