RESENSI BUKU: Mengais Asa Revolusi
Buku If We Burn: The Decade of Mass Protest karya Vincent Bevins membedah beragam gerakan sosial modern di berbagai negara yang memicu gerakan massa besar-besaran.
Penulis Izam Komaruzaman20 Juli 2025
BandungBergerak.id – “In the mass protest decade, street explosions created revolutionary situations, often on accident. But a protest is very poorly equipped to take advantage of a revolutionary situation, and that particular kind of protest is especially bad at it.” (294)
Protes besar-besaran, gelombang massa yang marah, ledakan aksi sudah amat jamak terjadi di berbagai belahan bumi dalam satu dekade ke belakang. Vincent Bevins mengambil 10 sampel aksi besar di sepuluh negara –Tunisia, Mesir, Bahrain, Yaman, Turki, Brasil, Ukraina, Hong Kong, Korea Selatan, dan Chile serta dalam tingkat yang lebih kecil New York (Pendudukan Wall Street), Spanyol, Yunani, dan Indonesia– selama rentang 2010-2020. Tujuh dari sepuluh gerakan besar tersebut mengalami kegagalan. Hanya tiga gerakan yang dapat mendekati kemauan massa aksi.
Dari kacamata Bevins, dalam buku If We Burn: The Decade of Mass Protest, gerakan sosial memang mampu menciptakan gerakan massa besar-besaran. Namun, salah satu kritik besar bagi gerakan sosial di negara-negara tersebut adalah nihilnya perubahan struktural.
Katakan saja Arab Spring, Gerakan Free Fare di Brazil, Revolusi Penguin di Chile, Gerakan Umbrella Movement di Hongkong, bahkan Gerakan 212 di Indonesia. Semuanya sukses menciptakan gelombang massa yang besar. Tapi semua tidak berakhir pada perubahan sistemik, antara api perlawanannya padam, dikooptasi elite politik yang ada, dan/atau mendapatkan kemenangan tipis saja.
Ambil contoh 212, Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam (FPI) mampu mengerahkan jutaan orang di depan Istana Presiden. Dalam jentikan jari saja, Joko Widodo bisa sangat mudah digulingkan kala itu. Namun nyatanya persoalan yang sedang digalakkan saat itu hanya soal penistaan agama. Sebab kekuatan yang bermuara dari elite politik, yaitu Prabowo Subianto-Rizieq pendukung Prabowo pada Kampanye 2019 –gerakan 212 menjadi tumpul dan mainan saja. Pada akhirnya, Rizieq terjerat skandal, sedangkan FPI dibubarkan paksa oleh Negara.
Sedangkan di Brazil, Free Fare Movement atau Movimento Passe Livre (MPL) yang memprotes kenaikan biaya transportasi publik mengalami kebuntuan dalam memimpin perubahan struktural. Gerakannya termasuk horizontal, selayaknya protes ala dunia modern yang menolak segala bentuk struktur hierarkis. Namun kecairan gerakan tersebut juga menjadi hambatan ketika dihadapkan pada persoalan keberlanjutan gerakan dan agenda politik alternatif.
Dalam buku ini, Bevins melihat terdapat satu kesamaan karakter di gerakan sosial modern, yaitu tanpa pemimpin, terorganisir secara horizontal, spontan, koordinasi secara digital, dan berlangsung di jalan-jalan atau pusat kota dengan cara occupy atau blockade. Bevins lebih suka menyebut protes-protes ini sebagai suatu “ledakan”, merujuk pada kemampuan dalam menciptakan situasi politik yang kacau dalam waktu singkat.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Belajar dari Negeri di Ujung Tanduk
RESENSI BUKU: Membaca (Kembali) G30S dari Tilikan Siauw Giok Tjhan
RESENSI BUKU: Fotografi sebagai Konstruksi Sosial dan Epistemik
Dari Bouazizi, Wall Street, hingga Hongkong
Pada awal Juni 2010, dua orang petugas kepolisian menyeret keluar Khaled Said dari sebuah warung internet (Warnet) di daerah Sidi Gaber, Alexandria. Khaled dipukuli polisi hingga tak bernyawa. Badannya dibanting. Kepalanya dibenturkan ke meja marmer. Bahkan ketika dia sudah tiada, polisi terus memukulinya.
Kematian Khaled, mengguncang seluruh negeri. Foto keadaan tubuhnya viralnya terekspos di media sosial Facebook yang saat itu baru satu tahun mengudara di Mesir. Tagar “We are All Khaled Said” menjadi viral di Facebook. Kematiannya menjadi salah satu bahan bakar bagi Revolusi 25 Januari, menjatuhkan Hosni Mubarak dari tampuk kekuasaannya. Khaled bukan seorang kiri, ia juga tidak liberal, apalagi konservatif. Ia hanya orang biasa yang dibunuh kepolisian.
Enam bulan setelah kematian Khaled, di depan gedung pemerintahan Sidi Bouzid, Tunisia, seorang laki-laki mengguyur tubuhnya dengan thinner. Mohamed Bouazizi seorang pedagang buah di pasar membakar dirinya. Hari itu buah dan sayurnya disita oleh seorang inspektur, Bouazizi mencoba menghadap pejabat terkait, namun ia diacuhkan. Hari itu, 16 Desember 2010 di umurnya yang baru menginjak 26 tahun, Bouazizi membakar dirinya, ia terkena luka bakar parah, hingga meninggal pada 5 Januari 2011.
Gelombang besar protes merebak ke seluruh penjuru negeri. Sembilan hari setelah kematian Bouazizi, Presiden Zine El Abidene mengundurkan diri setelah menjabat lebih dari 23 tahun.
Sebelas hari setelahnya, Mesir juga ikut bergejolak. Hosni Mubarak digulingkan secara paksa lewat Revolusi 25 Januari oleh ratusan ribu orang di Tahrir Square. Apa yang rakyat Mesir lakukan di Tahrir Square berlanjut ke Bahrain hingga hampir seluruh Jazirah Arab terbakar.
Arab Spring 2011, diikuti oleh gerakan-gerakan okupansi di Amerika Serikat. Puluhan ribu massa menduduki Wall Street secara paksa. Gelombang kebakaran di Arab, turut memanaskan situasi di AS. Gerakan Occupy Wall Street (OWS) lahir dari semangat pendudukan paksa Tahrir Square, yang bermula dari kematian Bouazizi di Tunisia.
Ide utama gerakan OWS adalah pendudukan sentral bisnis global. Gerakan tersebut sukses menciptakan wacana dominan di media sosial, yang masih pada tahap awal perkembangannya. Gerakan OWS merupakan pelopor dominan gerakan leaderless, cair, dengan metode pendudukan di dekade pertama abad-21. Pendudukan Wall Street turut menginspirasi Free Fare Movement di Brazil, dan Umbrella Movement di Hongkong.
Pada 2014, menjelang ulang tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Gerakan pro-demokrasi yang dipelopori oleh Scholarism, Hong Kong Federation of Students, dan Occupy Central of Love and Peace (OCLP) menduduki sentral bisnis Admiralty. Demonstran mendirikan panggung dari tangga dan papan. Sentral Hong Kong telah diduduki, dari situlah apa yang kita kenal sebagai Umbrella Movement telah dimula. Pergerakannya melebar ke Causeway Bay, hingga Tsim Sha Tsui.
Payung menjadi simbol dari gerakan di Hong Kong. Tidak hanya sebagai taktik untuk menangkal gas air mata, orang-orang Hong Kong melihat payung sebagai simbol keberanian melawan kekerasan negara. Sebuah penanda perlawanan atas otoritarianisme Beijing.
Dari Bouazizi, Wall Street, hingga Hongkong mampu menggaet jutaan orang untuk turun melakukan protes pada kekuasaan yang ada. Gayanya pun menjadi semakin cair, dengan keputusan yang diambil secara konsensual serta penyebaran yang dilakukan organik di media sosial Facebook, Twitter, hingga Reddit.
Namun selayaknya peribahasa, tidak ada gading yang tak retak. Gerakan-gerakan yang lahir di dekade 2010 hingga 2020-an itu kebanyakan mengalami kegagalan. Revolusi Melati di Tunisia mungkin bisa menggulingkan Zine El Abidine, namun struktur sosial dan ekonomi tetap pada sistem yang lama. Elite hanya berganti wajah saja. Begitu pula di Mesir, tidak lama setelah Revolusi 25 Januari, militer kembali mengambil alih negara lewat Al-Sisi. Dalam Umbrella Movement, kekuatan negara yang besar tak dapat diimbangi oleh tekanan dari kelompok pro-demokrasi. Meski pendudukan fisik terjadi berbulan-bulan, sistem kekuasaan masih belum cukup untuk terganggu.
Membangun Strategi dan Imajinasi Gerakan
Seperti pernyataan Bevins dalam permulaan tulisan ini, kita perlu mengamini protes-protes yang terjadi di “Dekade Protes” sangatlah buruk dalam memanfaatkan situasi yang revolusioner. Bagi Bevins, terdapat beberapa hal yang menjadi persoalan, ketiadaan struktur yang jelas, kebingungan antara strategi & taktik, kemenangan yang bersifat simbolik, over-relian pada teknologi, serta ketidakmampuan mengisi kekosongan kekuasaan.
“Jika kamu ingin membantu orang-orang, jika tujuanmu adalah menghadapi masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, itu berarti kamu harus berfokus pada tujuan akhir, dan itu berarti membangun sebuah gerakan yang mampu bertahan dalam ujian waktu, sekaligus tetap demokratis dan akuntabel.” (318)
Gerakan tidak boleh hanya berhenti pada aksi-aksi semata. Ia harus menjelma menjadi satu strategi untuk mencapai langkah yang lebih besar. Kita telah menanam benih perlawanan di dekade awal abad 21. Kita telah mempelajari apa yang salah, maka perubahan selanjutnya tidak dapat hanya mengandalkan taktik ledakan ke ledakan. Bevins bukan seorang politisi, ia hanya jurnalis. Namun pengalamannya mengarungi gerakan di lima benua mengerucutkannya pada satu kesimpulan, gerakan harus bisa mengorganisir sekaligus mengorganisasikan massa yang ada.
Perlu ada organisasi, bila pun sudah ada maka organisasi harus merumuskan strategi dan kesiapan yang matang untuk menciptakan perubahan besar. Sebab keinginan dan kebenaran saja tidak cukup untuk mengubah dunia. "Keinginan untuk berubah sangat besar. Kebenaran berpihak pada mereka. Namun keinginan dan kebenaran saja tidak cukup." (313)
Informasi Buku:
Judul Buku: If We Burn: The Mass Protest Decade and The Missing Revolution
Penulis: Vincent Bevins
Penerbit PublicAffairs tahun 2023
Jumlah halaman: 352 halaman
Genre: Non-Fiksi
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB