• Buku
  • RESENSI BUKU: Fotografi sebagai Konstruksi Sosial dan Epistemik

RESENSI BUKU: Fotografi sebagai Konstruksi Sosial dan Epistemik

Buku Seizing the Light oleh Robert Hirsch menyoroti fotografi tidak semata-mata merupakan produk dari kemajuan teknologi optik dan kimiawi, melainkan sebuah praktik

Buku Seizing the Light: A Social & Aesthetic History of Photography karya Robert Hirsch (1998). (Foto: Tangkapan Layar goodreads.com)

Penulis Leo Saputra20 Juli 2025


BandungBergerak.id - Seizing the Light oleh Robert Hirsch merupakan kontribusi substansial dalam kajian sejarah visual dan studi representasi, yang membedah fotografi bukan semata sebagai perkembangan teknologi optik, tetapi sebagai perangkat epistemologis yang beroperasi dalam medan sosial, budaya, dan politik yang kompleks.

Hirsch mengadopsi pendekatan genealogis dan kritis yang memungkinkan pembaca menelusuri transformasi makna fotografi dari artefak teknis menjadi medan diskursif yang menegosiasikan relasi kekuasaan. Ia tidak hanya menyajikan kronologi linear perkembangan teknik dan medium, tetapi secara simultan membongkar konteks ideologis di mana praktik fotografi berlangsung—mencakup kapitalisme global, konstruksi nationstate, mediasi visual atas tubuh dan ruang, serta estetika pascamodern yang dibentuk oleh logika konsumsi dan spekulasi simbolik.

Hirsch menyoroti bahwa sejak awal, fotografi telah beroperasi sebagai ruang produksi makna yang tidak netral, melainkan terstruktur oleh konfigurasi ideologis yang bekerja melalui representasi visual. Dengan demikian, fotografi diposisikan bukan sekadar sebagai sarana representasi visual, melainkan sebagai infrastruktur epistemologis yang turut membentuk horizon pemaknaan sosial dalam ranah simbolik dan material. Ia mengatur rezim visibilitas, yaitu mekanisme yang menentukan siapa yang diperbolehkan tampil sebagai subjek yang layak diperhatikan, bagaimana figur dan tubuh disusun menurut narasi dominan, serta dalam kerangka diskursif mana citra memperoleh legitimasi normatif atau justru dibaca sebagai bentuk deviasi atau perlawanan.

Dalam kerangka ini, fotografi bekerja sebagai operator ideologis yang memperantarai antara realitas empiris dan konstruksi makna sosial, memperkuat relasi hegemonik atau membuka celah bagi artikulasi alternatif terhadap struktur representasi yang mapan.

Hirsch mengungkap bahwa dalam setiap fase sejarah, fotografi memediasi wacana dominan: dari kolonialisme hingga perlawanan budaya, dari dokumentasi perang hingga narasi identitas gender. Ia menekankan pentingnya mengkaji siapa yang memproduksi gambar, dalam kerangka kekuasaan seperti apa, dan kepada siapa gambar tersebut ditujukan. Dalam kerangka ini, fotografi tampil bukan hanya sebagai alat representasi, melainkan sebagai perangkat epistemik yang turut menentukan bagaimana dunia dipahami.

Hirsch juga menganalisis bagaimana fotografi turut membentuk identitas subjektif—baik melalui citra keluarga, dokumentasi tubuh, hingga eksplorasi performativitas dalam seni kontemporer. Dengan pendekatan yang sintesis antara kajian historis, analisis budaya visual, dan teori representasi, Hirsch menyajikan narasi yang bernas dan reflektif.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Membaca (Kembali) G30S dari Tilikan Siauw Giok Tjhan
RESENSI BUKU: Belajar dari Negeri di Ujung Tanduk

Fotografi sebagai Konstruksi Sosial dan Epistemik

Hirsch menyoroti bahwa fotografi tidak semata-mata merupakan produk dari kemajuan teknologi optik dan kimiawi, melainkan sebuah praktik sosial dan kultural yang secara historis terkoneksi dengan produksi pengetahuan dan formasi ideologis. Ia menunjukkan bahwa sejak masa prasejarah—dari representasi visual dalam lukisan gua hingga algoritma pengenalan wajah pada era digital—fotografi telah menjadi instrumen artikulasi simbolik yang memainkan peran penting dalam mengafirmasi, mempertanyakan, atau merombak kerangka makna yang dominan.

Hirsch menempatkan fotografi dalam kerangka performativitas sosial: bagaimana tindakan memotret dan melihat foto membentuk cara berpikir, mengingat, dan merepresentasikan dunia. Ia menjelaskan bahwa praktik fotografi tidak hanya memediasi ingatan kolektif, tetapi juga menetapkan batas-batas wacana: siapa yang masuk dalam kerangka naratif, siapa yang dihapus, dan bagaimana subjektivitas dimaknai.

Dalam konteks ini, fotografi menjadi medium yang mengatur sirkulasi citra dan makna melalui institusi seperti media massa, arsip negara, platform digital, hingga algoritma pencarian. Melalui analisis historis yang lintas era—dari praktik kolonial yang membingkai subjek terjajah, hingga praktik media sosial yang menciptakan estetika narsistik—Hirsch menegaskan posisi strategis fotografi dalam reproduksi dan resistensi terhadap struktur kekuasaan dalam masyarakat kontemporer.

Evolusi Teknologi dan Paradigma Visual

Hirsch menyusun garis waktu perkembangan teknologi fotografi dari kamera obscura, daguerreotype, calotype, hingga revolusi digital dengan pendekatan yang tidak hanya bersifat kronologis, tetapi juga kritis-reflektif terhadap bagaimana setiap inovasi membawa implikasi ontologis dan epistemologis. Ia mengeksplorasi bahwa perubahan medium bukan sekadar pergeseran teknis, melainkan penataan ulang atas kerangka persepsi, distribusi citra, dan formasi makna. Misalnya, transisi dari proses analog ke digital tidak hanya mengubah cara produksi gambar, tetapi juga merekonstruksi cara manusia memahami kehadiran, waktu, dan otentisitas.

Hirsch menekankan bahwa setiap medium fotografi memiliki logika internal dan perangkat ideologis yang melekat: mulai dari eksklusivitas akses pada era awal daguerreotype yang menegaskan status sosial pemiliknya, hingga kecepatan dan masifnya sirkulasi gambar dalam platform digital yang mengaburkan batas antara dokumentasi dan performativitas. Dalam konteks ini, evolusi teknologi fotografi dipahami sebagai proses yang bersifat dialektis, di mana inovasi teknis selalu terlibat dalam produksi ulang atau gangguan terhadap struktur representasi yang dominan.

Genealogi Tokoh-Tokoh Berpengaruh

Buku ini memetakan peran sentral para pionir dan eksperimentalis dalam sejarah fotografi seperti Nicéphore Niépce, Louis Daguerre, Henry Fox Talbot, dan Alfred Stieglitz—tokoh-tokoh yang tidak hanya merevolusi aspek teknis medium ini, tetapi juga membentuk landasan epistemologis bagi perkembangan estetika fotografi modern. Hirsch menggali bagaimana karya dan eksperimen visual mereka menjadi respons terhadap kondisi sosiopolitik zamannya, seperti modernitas industri, pergeseran persepsi ruang dan waktu, serta kemunculan identitas subjektif dalam masyarakat modern. Dalam hal ini, Talbot tidak hanya diposisikan sebagai penemu teknis, tetapi juga sebagai figur yang mengonstruksi narasi tentang objektivitas ilmiah dalam visualitas.

Lebih jauh, Hirsch menjembatani transisi historis tersebut dengan analisis atas seniman kontemporer seperti Cindy Sherman dan Yang Yongliang, yang mengeksplorasi tubuh, identitas, dan arsitektur visual dalam konteks pascamodern dan globalisasi visual. Sherman, misalnya, dibaca sebagai representasi radikal atas performativitas gender dan pembongkaran mitos sinematik, sementara Yang Yongliang menggabungkan teknik fotografi dengan estetika lukisan tradisional Tiongkok untuk mengkritik urbanisasi dan hilangnya nilai-nilai tradisional dalam lanskap kontemporer.

Dengan pendekatan ini, Hirsch tidak hanya menyajikan sejarah yang linear, melainkan membangun jembatan dialektis antara genealogi praktik visual dengan lapisan diskursif yang lebih luas, menjadikan tokoh-tokoh ini sebagai simpul penting dalam medan budaya visual global.

Fotografi sebagai Alat Politik Representasi

Dalam bagian ini, Hirsch membedah secara mendalam bagaimana fotografi berfungsi sebagai medan kontestasi antara kuasa hegemonik dan narasi-narasi emansipatoris. Ia menguraikan konsep "politik representasi" sebagai suatu arena di mana makna, identitas, dan legitimasi sosial dinegosiasikan melalui produksi dan sirkulasi gambar. Dalam fotografi dokumenter dan jurnalistik, misalnya, Hirsch menunjukkan bagaimana framing visual dapat mereproduksi stereotip kolonial, kelas, atau gender melalui pilihan sudut pengambilan gambar, penempatan subjek, dan narasi yang mengiringi foto.

Namun di sisi lain, ia juga menyoroti potensi resistif dari fotografi ketika digunakan oleh kelompok-kelompok marginal untuk membalikkan posisi sebagai objek menjadi subjek representasi. Dalam seni kontemporer, Hirsch mengamati bagaimana seniman memanipulasi citra untuk mengungkap kekerasan struktural yang tersembunyi di balik klaim objektivitas visual. Dengan demikian, fotografi tidak hanya dilihat sebagai refleksi kenyataan, melainkan sebagai perangkat performatif yang secara aktif membentuk realitas sosial-politik dan membuka ruang untuk renegosiasi identitas serta agensi visual.

Perubahan Ontologi Gambar dan Ruang Persepsi

Hirsch mengkaji bagaimana fotografi telah merevolusi paradigma persepsi manusia terhadap konsep waktu, ruang, dan realitas melalui transformasi ontologis gambar itu sendiri. Ia mengartikulasikan pergeseran mendasar dari pemahaman tradisional atas gambar sebagai representasi mimetik dunia—yakni cerminan realitas objektif—menuju posisi gambar sebagai konstruksi diskursif yang dibentuk oleh relasi kuasa, institusi budaya, dan sistem pengetahuan yang dominan. Dalam perspektif ini, gambar bukan lagi entitas pasif yang mencerminkan dunia, melainkan agen aktif yang turut memproduksi struktur makna dan memediasi pengalaman manusia atas kenyataan.

Hirsch menyoroti bagaimana institusi seperti galeri dan museum telah memainkan peran historis dalam mengatur narasi visual melalui kurasi, klasifikasi, dan presentasi, menciptakan kerangka persepsi yang mengukuhkan nilai-nilai estetika dan politik tertentu. Namun dalam konteks kontemporer, media digital menghadirkan dinamika baru di mana gambar mengalami desentralisasi produksi dan distribusi, serta terlibat dalam logika algoritma yang mempercepat sirkulasi dan transformasi makna.

Dengan demikian, fotografi tidak hanya membentuk ulang struktur persepsi spatio-temporal, tetapi juga menegosiasikan kembali batas-batas antara fakta dan fiksi, dokumentasi dan konstruksi, arsip dan performans.

Informasi Buku:

Judul: Seizing the Light: A Social & Aesthetic History of Photography

Penulis: Robert Hirsch

Penerbit: Kindle Edition

Terbitan Pertama: 22 Oktober 1998

Halaman: 596 Halaman.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//