CERITA GURU: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Karakteristik Anak
Pola asuh yang kurang tepat akan berdampak buruk bagi perkembangan kepribadian anak. Ilmu bisa ditanam di kelas, tapi karakter tumbuh di rumah.

Marlina
Seorang guru BK, pendidik, dan penggiat kurikulum pendidikan inklusi. Bisa menghubungi saya di Instagram @linamansyur_
1 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Andai anak usia 3 tahun bisa menyampaikan pikirannya, ia mungkin akan mengatakan, ”Aku bosan, tapi bingung bilangnya, jadi aku nangis aja deh. Aku kira akan diajak main ayah dan bunda, eh ternyata aku malah dikasih layar ajaib, namanya tablet. tapi seruh sih, aku jadi gak bosan lagi, aku juga jadi jarang menangis!”
“Setiap kali ayah atau Ibu menerima telepon di rumah, ia memberiku tablet agar aku bisa diam, setiap kali bunda sedang menonton TV atau sedang bekerja, aku dikasih tablet. Aku suka sekali dengan tabletku.”
“Sekarang aku sudah 5 tahun. Aku sedih, katanya gak boleh ada tablet di sekolah. Kata bunda, aku bermain saja bersama teman-teman. Tapi aku pengen ada tabletku, aku harus apa?”
”Aku sudah bermain bersama teman-teman, bermain di playground, tapi tetap saja bosan, di sekolah Ibu Guru mengajakku untuk senam, tapi aku tidak tertarik, aku bosan dan cape bergerak. Aku menangis ketika sampai di rumah, tentu saja Ayah langsung memberiku tablet, yay! Tablet lagi!”
“Tak terasa aku sudah berusia 7 tahun, sudah menjadi siswa SD. Tapi aku tidak suka belajar, lebih suka main tablet, kalau lihat buku rasanya cepat ngantuk dan bosan. Jadi aku harus apa?”
Kondisi anak yang seperti itu tidak sedikit ditemukan di dunia pendidikan. Terkadang guru dan orang tuanya bertanya-tanya, kenapa anak menjadi malas? Menjadi tidak ada motivasi belajar? Menjadi tidak semangat? Mengapa tidak pernah menuntaskan tugas kelas? Kenapa tidak bisa berbaur dengan teman-temannya? Dan lain-lain, Hingga pada akhirnya muncul masalah baru. Mulai dari seringnya berkonflik dengan teman bermainnya, munculnya sikap impulsif, sering menangis, dan lain-lain.
Ilustrasi tersebut menjadi gambaran tantangan orang tua dalam pengasuhan anak di zaman ini yakni teknologi. Anak membutuhkan stimulus untuk mengoptimalkan area sensoriknya, akan tetapi jika overstimulus itu juga kurang baik. Jika orang dewasa memberikan screentime pada anak dengan durasi yang berlebihan atau tontonan terlalu cepat dan mencolok, bisa menyebabkan overstimulus pada anak, terutama yang di bawah usia 2 tahun, karena otak mereka belum siap memproses rangsangan informasi yang terlalu banyak.
Anak membutuhkan interaksi dua arah dan stimulasi yang lebih sehat agar perkembangan bahasa dan emosinya berjalan optimal. Hal ini akan memicu anak menjadi rewel, tantrum, sulit fokus, mengalami gangguan tidur, mudah bosan/malas, mengalami gangguan tidur, bahkan speech delay atau keterlambatan bicara. Jika sudah terjadi demikian pada anak-anak kita, bagaimana mengantisipasinya? Bagaimana solusinya?
Baca Juga: CERITA GURU: Di Balik Peran Guru sebagai Psikolog di Bidang Pendidikan
CERITA GURU: Surat untuk Anak-anak
CERITA GURU: Rencana Mengajar seperti Persiapan Memasak, Profesionalisme Guru dalam Perspektif Praktis
Pola Asuh Anak
Beberapa tips dari ruang Bimbingan Konseling (BK) yang mungkin bisa diterapkan dilingkungan rumah. Pertama adalah kita ubah pola pembiasaan kita di rumah kepada anak. Memang tidak mudah, tapi jika kita mau berjalan pelan-pelan semuanya akan sampai pada tujuan kita, asalkan kita mau memulai dan bergerak, serta mau menerima reaksi apap un dari buah hati kita. Beberapa hari anak pasti akan protes, bentuk protesnya akan beragam, seperti menangis, tantrum, dan lain-lain. Ganti dan arahkan media bermainnya kepada buku cerita bergambar atau media yang mengasah pada kemampuan sensorinya.
Kedua, berikan anak pemahaman tentang perubahan pola aturan/pembiasaan di rumah, berikan alasan dan pemahaman dengan bahasa yang sederhana dan juga konkret agar anak menerima dan akhirnya paham. Ketiga, samakan aturan ayah dan ibu di rumah atau dengan orang dewasa yang terlibat dalam pengasuhan anak. Apabila pola aturan di rumah tidak berjalan dengan selaras. Maka akan menimbulkan kebingungan terhadap anak, sehingga timbullah perilaku manipulatif. Keempat, libatkan anak dalam aturan di rumah, hal ini berarti mengajaknya berdiskusi, memberi kesempatan menyuarakan pendapat, dan ikut serta dalam proses penetapan kesepakatan agar mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas aturan yang dibuat. Sehingga akan meningkatkan pemahaman, rasa kontrol, dan efikasi diri anak, agar mereka lebih patuh dan bertanggung jawab menjalankan aturan yang dibuat oleh kita sebagai orang tua.
Ketika orang tua menerapkan pola asuh otoritative, di mana perilaku orang tua yang mengontrol dan menuntut anak tetapi dengan sikap yang hangat, komunikasi dua arah antara orang tua dan anak yang dilakukan secara rasional dan kontrol positif, maka dampaknya adalah anak akan memperlihatkan perilaku yang berani, lebih giat, dan lebih bertujuan, mandiri. Sang anak dapat mengontrol diri, memiliki hubungan baik dengan teman-teman, mampu menghadapi stres, memiliki minat terhadap hal-hal baru, serta kooperatif terhadap orang lain. Namun apabila pola asuh orang tua secara permisif dan sifatnya children centered yakni di mana orang tua memperlakukan anak sesuai dengan kemauan anak atau keputusan di tangan anak, maka dampaknya akan menimbulkan impulsif, agresif, manja, kurang mandiri, kurang percaya diri, selalu hidup bergantung, memiliki kontrol diri buruk, kurang tanggung jawab dan juga agresif, bahkan antisosial. Ketika kita menjadi critical parents, itu akan menjadikan anak tidak penurut, mereka akan berbuat berdasarkan perintah kita saja, sehingga akan membuat mereka cenderung takut mengambil keputusan sendiri.
Pola asuh otoriter yakni pengasuhan yang mendasarkan pada aturan yang berlaku dan memaksa anak untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan keinginan orang tua, ini akan berdampak double karakter yang muncul di lingkungan sosial bermainnya. Ini akan memicu perilaku sosial dengan respons yang berbeda sehingga menimbulkan kepribadian baru pada anak yang tentunya berbeda ketika di rumah. Oleh karena itu, tidak heran jika ada beberapa anak di lingkungan sekolah yang sangat vokal, aktif, bahkan memiliki leadership yang tinggi yang mendominasi kelas atau bahkan mereka senang menabrak norma sekolah tanpa rasa takut atau khawatir sehingga menimbulkan kecemasan kepada pengelola sekolah bahkan orang tua itu sendiri.
Pola asuh yang kurang tepat akan berdampak buruk bagi perkembangan kepribadian anak. Ilmu bisa ditanam di kelas, tapi karakter tumbuh di rumah. Sekolah bisa membuat anak pintar, rumahlah yang membuatnya benar. Sekolah menanam pengetahuan. Guru mengajarkan logika, angka, dan kata. Tapi itu baru akar dari pertumbuhan anak. Di rumah juga jadi tempat membentuk karakter. Disiplin, empati, tanggung jawab, semua itu pertama kali lahir dari orang tua, bukan dari buku pelajaran. Terlalu banyak orang tua yang menyerahkan 100 persen urusan pendidikan ke sekolah. Lalu heran, kenapa anak pandai menghitung, tapi tidak tahu cara menghargai. Akibatnya, anak cerdas secara akademik, tapi kosong secara moral. Beberapa pintar meraih nilai tinggi, tapi miskin cara bersikap. Ada yang hebat di kelas, tapi rapuh di kehidupan nyata.
Harus ada kolaborasi dalam mendidik anak, sekolah menanam ilmu, rumah menyiram nilai-nilai kehidupan. Keduanya harus hadir, atau anak tumbuh timpang. Berhentilah hanya mengejar nilai tinggi di rapor, karakter anak adalah rapor kehidupan, dan itu dimulai dari rumah.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB