• Kolom
  • CERITA GURU: Surat untuk Anak-anak

CERITA GURU: Surat untuk Anak-anak

Setiap zaman memiliki ujiannya sendiri, dan kalian sebagai generasi muda, sedang menghadapi tantangan yang tidak kalah rumit di era ini.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom

Ilustrasi guru. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

17 September 2025


BandungBergerak.id – Anak-anak yang baik, kalian pasti merasakan betapa beratnya keadaan hari-hari ini. Bapak ngerti. Bahkan salah satu dari kalian ada yang bilang, “Aku capek banget, Pak,” dan itu terlihat sebagai corak umum yang ada di benak remaja seusia kalian. Sesuatu yang wajar. Sebab kita hidup di tengah situasi penuh tekanan.

Apa yang kita lihat saat ini –ketegangan politik, pertikaian di media sosial– bukanlah hal yang mudah dilewati. Karena itu, bapak ingin mengajak kalian merenung sejenak, menghela napas, mengurangi rasa cemas, duduk, dan berpikir bersama. Sebab kita sedang diuji, tapi ini bukan pertama kali, dan kalian, sebagai generasi muda, adalah salah satu harapan yang kelak bisa mengubah jalannya sejarah.

Mari kita telusuri apa yang terjadi di masa silam. Sebetulnya kita pernah mengalami hal yang nyaris serupa. Setidaknya, menurut Edward Aspinall –dalam batas tertentu– ada kemiripan situasi saat ini dengan apa yang terjadi pada tahun 1998 (nanti kalian belajar lebih dalam di kelas XII). Kala itu kerusuhan meledak di berbagai tempat.

Penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti Jakarta memicu kerusuhan massal. Terpenting, krisis pada tahun 1998, seperti halnya kemuraman yang diwujudkan dalam demonstrasi saat ini, bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Tapi merupakan puncak dari rangkaian aksi-aksi sebelumnya.

Baca Juga: CERITA GURU: Profesi yang Tidak Boleh Dibayar Murah Hanya karena Disebut Pengabdian
CERITA GURU: Di Balik Peran Guru sebagai Psikolog di Bidang Pendidikan
CERITA GURU: Kemelut di Atas Nampan Makan Bergizi Gratis

Belajar dari Sejarah

Sejak awal 1990-an, tanda-tanda konflik sosial mulai terlihat di Indonesia, seperti yang dikemukakan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hlm. 676). Banyak ketegangan muncul di tengah masyarakat saat itu. Dunia sedang berubah setelah Perang Dingin berakhir, dan ketika Uni Soviet runtuh, negara-negara seperti Amerika Serikat mulai menjauh dari pemerintahan di negara berkembang, termasuk Indonesia

Saat itu pula pemerintah dan militer bertindak lebih keras karena khawatir Indonesia akan menghadapi konflik besar, seperti misalnya yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia. Sejarawan Merle Calvin Ricklefs (hlm. 659) bilang kalau saat itu masyarakat kelas menengah mulai muak dengan ketidakadilan pemerintah, dan banyak orang menuntut kehidupan yang lebih bermartabat dan moralitas lebih luas. Pertengahan 1990, pemerintah mengirim pasukan Kostrad ke Aceh. Sejak itu Aceh ditetapkan sebagai Darurat Operasi Militer (DOM).

Desember 1990. Soeharto menyetujui dibentuknya ICMI. Menjadi penanda kalau ia mulai mencoba meraih dukungan umat Islam. Namun Gus Dur menolak bergabung, dan melihatnya sebagai organisasi elitis sektarian yang bisa mengancam Indonesia yang plural.

Pada 1991, pemerintah juga mendirikan Bank Muamalat yang berusaha mengikuti nilai-nilai Islam, seperti berbagi keuntungan tanpa bunga. ICMI mendukung inisiatif semacam ini, begitu juga Soeharto dengan uang dari salah satu yayasan yang ia kendalikan sepenuhnya. Tepat 12 November 1991 meletus Tragedi Santa Cruz. Kabarnya ratusan orang tewas, luka-luka dan hilang atas kejadian tersebut.

Juni 1992 Pemilihan Umum kembali dimenangkan Golkar. Namun PDI mulai menarik perhatian dengan menyerukan supaya masa jabatan Presiden dibatasi dan mencitrakan diri sebagai pembela wong cilik dan akhirnya menampilkan diri sebagai oposisi.

Pada tahun yang sama, pertikaian antar kelompok masyarakat pecah di Jakarta. Kemudian terjadi perampasan hak asasi manusia pada bulan Mei 1993. Seorang aktivis buruh perempuan bernama Marsinah diculik, diperkosa secara brutal, dan disiksa untuk kemudian dibunuh.

Publik internasional mendesak Indonesia menyelesaikan kasus tersebut. Ironisnya, pelaku yang dihukum kemudian dibebaskan di tingkat banding. Ada kecurigaan yang muncul kalau perwira berpangkat tinggi terlibat. April 1994 demonstrasi buruh dalam skala besar terjadi di Medan.

Ia digerakkan oleh organisasi yang telah dibentuk dua tahun sebelumnya: SBSI, yang dipimpin Muchtar Pakpahan. Lalu sejumlah petinggi negara merespon hal ini. Feisal Tanjung selaku Panglima ABRI menyebutnya sebagai tindakan makar. Masyarakat mulai gelisah. Konflik sosial menyebar ke berbagai daerah. Beberapa bulan kemudian sejumlah media dibredel: Editor, Detik, dan Tempo.

Akhir tahun 1995 terjadi kerusuhan di Timor-Leste (Timor Lorosae). Konon dipicu oleh seorang sipir muslim yang melecehkan agama lain. Sepanjang 1996 perpecahan rezim mulai tampak. Aspek terburuk rezim Orde Baru membuat publik mulai berpikir untuk tidak lagi menoleransi mereka.

Pada 27 Juli 1996 kantor pusat PDI Megawati diserbu orang yang mengaku faksi Soerjadi. Banyak yang menduga kalau ini merupakan semata permainan politik. Penyelidikan Komnas HAM melaporkan setidaknya lima orang tewas, 149 luka, dan 23 hilang.

Pemerintah Soeharto menuding PRD (Partai Rakyat Demokratik) ada di belakang tragedi ini. Para pemimpinnya yang saat itu relatif berusia muda diculik, dan dijebloskan ke penjara bersama tahanan politik lainnya seperti Xanana Gusmao (Timor Leste) dan Muchtar Pakpahan (SBSI). Memasuki tahun 1997 situasi semakin pelik. Pemilu 1997 menyebabkan banyak korban tewas. Setidaknya tercatat 250 orang menurut keterangan MC Ricklefs.

Krisis ekonomi melanda. Nilai rupiah anjlok pada Juli 1997. Januari 1998 rupiah tenggelam hingga sekitar Rp 17.000 per dolar AS. Bursa saham hancur. Banyak perusahaan bangkrut. Kelas menengah ambrol, dan tidak sedikit buruh mengalami PHK massal.

Sejak saat itu rakyat mulai mengalami penderitaan akibat harga-harga bahan pokok yang melambung. Berbagai tindakan represif juga masif dilakukan. Menjelang dan setelah sidang umum MPR, Maret 1998, penculikan aktivis semakin gencar (Aan Rusdiyanto, Nezar Patria, Desmond Junaedi Mahesa, Faisol Reza, Raharja Waluya Jati, Mugiyanto, Haryanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Herman Hendrawan, Suyat, Petrus Bima Anugrah diculik pada periode ini), sedangkan Soeharto mencoba menenangkan rakyat dengan janji perbaikan ekonomi. Namun tekanan masif membuatnya sulit terealisasi.

Demonstrasi mahasiswa semakin marak. Tuntutan reformasi kian meningkat. Pada 12 Mei 1998 penembak jitu dari ABRI menembak mati empat mahasiswa Trisakti. Ini merupakan puncak dari krisis. Kerusuhan massal meledak di berbagai tempat. Lebih dari seribu orang tewas di Jakarta pada tanggal 13-15 Mei 1998. Ratusan orang tewas ketika menjarah pusat perbelanjaan.

Yang paling mengerikan adanya pemerkosaan massal yang dialami perempuan etnis Tionghoa. Ini tercatat sebagai salah satu kejadian terburuk dalam sejarah Indonesia. Yang menggembirakan, pada 21 Mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri.

Hikmah yang Bisa diambil

Melalui kronologi singkat itu paling tidak kita bisa mencermati bagaimana krisis bermula dan bagaimana di kemudian hari menghindarinya. Mulai dari ketimpangan ekonomi (Krisis Keuangan Asia cukup determinan mendorong jutaan orang jatuh miskin dan memaksa banyak perusahaan bangkrut), ketidakpuasan sosial, dan kekerasan aparat yang mewujud pada penghilangan paksa beberapa aktivis prodemokrasi (Widji Thukul sampai sekarang belum ditemukan). Ini pelik.

Tapi semoga kita tidak menjadi bagian dari mereka yang memiliki niat untuk melupakan yang belum kembali dan menjadi korban penghilangan paksa. Dengan tekad yang kuat, kita harus bangkit. Dari sana, kita belajar bahwa setiap krisis punya akar: ada pelanggaran HAM, ekonomi, seperti harga kebutuhan pokok yang sulit dijangkau atau lapangan kerja yang minim; sosial, seperti polarisasi sesama warga; atau provokasi dari pihak yang memanfaatkan situasi.

Pendeknya, hikmah dari kerusuhan dan krisis di tahun 1998 memberi petunjuk bahwa setiap zaman memiliki ujiannya sendiri, dan kalian sebagai generasi muda, sedang menghadapi tantangan yang tidak kalah rumit di era ini. Mungkin saja sebagian telah merasakan apa yang sedang terjadi. Mungkin mendengar keluhan orang tua tentang harga beras yang terus melonjak, membuat banyak keluarga harus berhemat. Atau, melihat di YouTube, TikTok, dan Instagram, perdebatan sengit tentang permasalahan politik, kadang bercampur hoaks yang mendorong keributan antara teman atau keluarga.

Bahkan, beberapa dari kalian mungkin khawatir tentang masa depan: masihkah kita bisa belajar atau melanjutkan kuliah atau mendapat pekerjaan layak di tengah kehidupan seperti sekarang?

Ini adalah bagian dari ujian yang kita hadapi. Bapak paham betul. Kalian capek. Capek sekali. Terutama ketika melihat berita yang bikin gelisah, dan ketika mendengar janji-janji yang tidak konkret. Tapi, anak-anakku yang baik, kalian punya kekuatan untuk mengubah, kalian adalah harapan bagi rakyat kebanyakan. Bayangkanlah, jika kalian jadi pemimpin hari ini, langkah apa yang akan diambil?

Mungkin membuka ruang dialog yang setara, berupaya mendengar keluhan warga tanpa punya pretensi untuk menghakimi. Mungkin memastikan keadilan ditegakkan, dengan penuh empati. Atau, mungkin akan memperjuangkan pendidikan dan menambah peluang pekerjaan, agar kiprah anak muda di Indonesia bisa lebih optimal, tidak lagi dirundung keputusasaan.

Kerusakan ini bukan akhir cerita. Rakyat punya pengalaman hebat. Kita pernah berupaya memereteli kekuasaan kolonial, menghadapi fasisme Jepang, melewati krisis ekonomi, hingga bencana alam (ingat dan pelajari baik-baik materi tentang gempa dan tsunami). Sekarang, tugas kalian adalah menjaga semangat semacam itu agar tidak padam.

Bayangkan jika kita punya kehidupan wajar. Setiap anak muda berkesempatan untuk belajar, bekerja, dan bersuara. Kita boleh mulai dari hal kecil: dengarkan cerita teman yang berbeda pandangan, atau juga cek kebenaran sebelum menyebarkan berita. Semua percaya, di tangan kalian nanti, kehidupan masa depan bukan hanya akan berjalan normal, tapi bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.

Mari kita renungkan bersama. Apa yang mungkin kita lakukan hari ini? Barangkali sekadar berbagi kabar, atau membuat video dengan pesan utama melawan hoaks. Atau mungkin juga menulis Surat untuk Indonesia mengenai harapan, yang kelak kita bahas bersama di kelas. Ini sederhana. Tetapi kalian telah ikut menyumbang visi lewat gagasan.

Kini banyak orang-orang dewasa yang lagi kesulitan mencari penghidupan. Bergulat untuk sekadar bisa memperpanjang nafas. Beberapa memperjuangkan demokrasi. Dengan ide-ide segar, kalian juga bisa memantik perubahan lewat berbagai cara, terutama buat diri sendiri. Pertanyaannya, apa yang akan dilakukan untuk mengubah keadaan ini?

***

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//