• Kolom
  • Jalan Terjal Muchtar Pakpahan

Jalan Terjal Muchtar Pakpahan

Hidup Muchtar Pakpahan berkelindan dengan perjuangan buruh Indonesia sejak zaman Orde Baru yang represif. Ia dituduh komunis, dipenjara, hingga dijatuhi pidana mati.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Potret Muchtar Pakpahan di surat kabar Algemeen Dagblad, 25 Mei 1994. Ia muncul dalam artikel berkepala Indonesische vakbonsvoorsitter: Koppel mensenrechten aan economische steen (Ketua Serikat Buruh Indonesia: Mengaitkan HAM dan Ekonomi). (Sumber Foto: Dhelper.nl)

26 Februari 2024


BandungBergerak.id – Jakarta, 21 Maret 2021, malam. Keharuan terselip di tengah suasana sunyi Rumah Sakit Siloam, Semanggi, Jakarta. Di tempat ini, Muchtar Pakpahan berpulang ke pangkuan Sang Pencipta. Ia kalah dalam pertarungan menghadapi kanker nasofaring yang sudah tiga tahun bersemayam di tubuhnya.

Muchtar Pakpahan merupakan seorang pengacara, pemimpin serikat buruh, dan akademisi. Ia selalu membersamai kalangan yang berada di strata paling buncit dalam struktur ekonomi politik yang sedang berjalan. Di hadapan publik, ia kerap tampil dengan peci hitam. Alur hidupnya terjal dan berliku. Tetapi, kelak semua itu ia lalui dengan semangat yang nyaris tak kunjung padam.

Disertasinya yang berjudul "Potret Negara Indonesia" bahkan sempat dianggap penguasa Orde Baru (Orba) dapat mengancam stabilitas nasional. Dan itu pula yang kelak membuatnya harus mendekam di balik jeruji besi: dari Semarang, Medan, hingga Lapas Cipinang. Aktivitas yang ia lakukan kerap bikin penguasa Orba geram. Meski di kemudian hari ia mendapat amnesti dan abolisi dari Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Suatu hal yang menjadi penanda bahwa Muchtar tidak hidup di dunia khayal yang ia rancang sesuai keinginannya sendiri. Ia berada di arena yang menjadi pertarungan orang-orang yang hendak mempertahankan kekuasaan dan yang ingin merealisasikan kemajuan. Tidak sedikit pula yang mengetahui Muchtar Pakpahan berada di barisan kelompok yang gigih memperjuangkan orang kecil. Dan terdapat secuplik keterangan mengenai kegigihannya tersebut.

Sejak kecil, pria kelahiran Bahjambi II, Simalungun, Sumatra Utara, itu sudah menjadi yatim. Keterbatasan menjelma sebagai karib kental Muchtar Pakpahan. Tidak heran jika kelak, berbagai upaya dilakukannya demi meraih pendidikan maksimal.

Ia pernah menjajakan koran sebelum menorehkan gelar sarjana hukum di Universitas Sumatra Utara pada 1981. Sempat pula ia menarik becak saat menjadi pelajar di sekolah menengah. Sebelum akhirnya mengemban tanggung jawab sebagai pengacara.

Baca Juga: Bergerak Bersama Disabilitas
Bisakah Lirik Lagu jadi Sumber Sejarah?
Hikayat Majalah Tjenderawasih

Menjadi Pengacara

Kepiluan masa lalu kian menguatkan tekad Muchtar Pakpahan untuk mendampingi kelompok yang sering kali berada dalam situasi rentan. Dalam satu waktu, ia sempat –membantu tukang becak dan pedagang asongan– melayangkan gugatan terhadap Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Saat itu, Muchtar Pakpahan mempersoalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada Mei 1990 tentang pelaksanaan penyelesaian pelanggaran hukum di jalan raya. Menurutnya, bagaimanapun, pengadilan dan vonis terhadap tukang becak dan pedagang asongan saat itu tak berdasarkan hukum.

"Dari formal dan material, SKB itu melanggar hukum di Indonesia," kata Muchtar Pakpahan, sebagaimana dikutip dari Maju Mundur Program Becak di Jakarta Jilid III (2020, hlm. 35).

Bukan hanya mengadvokasi kasus tukang becak dan pedagang asongan. Muchtar Pakpahan juga sempat melayangkan gugatan pada Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto, dan Kepala Kanwil Kesehatan, dr. Soeharto Wiriowidagdo dalam perkara kesehatan. Muchtar Pakpahan, yang kala itu sudah menginjak usia 35 tahun, berpendapat bahwa kedua pejabat publik tersebut lalai menanggulangi wabah demam berdarah yang menyerang Jakarta dan sekitarnya. 

Menurut laporan Tempo berjudul Gugatan karena Demam, semua bermula saat istri dan tiga orang anaknya terserang penyakit demam berdarah. Bahkan Muchtar pun turut tertular penyakit. Walhasil, ia harus menjalani perawatan selama delapan hari di Rumah Sakit UKI Jakarta. Sebulan sebelumnya tersiar kabar bahwa dua saudaranya meninggal. Ia resah. Dan masifnya penyebaran penyakit itulah yang kelak mendorong Muchtar mengamati —berkeliling ke berbagai rumah sakit, dan memiliki landasan kuat untuk menggugat kedua pejabat tersebut.

Pada tahun yang sama, 1988, ia diminta untuk menjadi staf ahli Jaksa Agung. Namun jabatan itu ditinggalkannya dua tahun kemudian. "Saya hanya jadi pajangan. Kasus Kedungombo terjadi, pembunuhan di Aceh dan Lampung terjadi," katanya, sebagaimana dikutip dari laporan yang berjudul Muchtar Pakpahan: Betah-betahan, 23 September 2001.

Potret Muchtar Pakpahan di Surat Kabar Het Parool yang terbit 22 September 1995. Ia tampil dalam sebuah berita berkepala Suharto beducht voor stridjbare vakboden (Suharto takut serikat buruh yang militan). (Foto: Dhelper.nl)
Potret Muchtar Pakpahan di Surat Kabar Het Parool yang terbit 22 September 1995. Ia tampil dalam sebuah berita berkepala Suharto beducht voor stridjbare vakboden (Suharto takut serikat buruh yang militan). (Foto: Dhelper.nl)

Mendirikan SBSI

Publik mengenal rezim Orde Baru telah menjalankan laku represif dengan harapan mampu membungkam ancaman-ancaman politik, dan mengeruk kekayaan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Salah satu upaya rezim Orde Baru saat itu adalah menetapkan upah minimum di tahun 1991. Meski begitu, hal ini mendapat perlawanan sengit. Buruh tetap menuntut kondisi dan upah yang lebih layak.

Terang sekali risiko yang dihadapi pun bukan main-main. Banyak korban yang berjatuhan selama rezim Orba berkuasa. Di Surabaya, pada 17 Mei 1993, seorang aktivis buruh perempuan bernama Marsinah diculik, diperkosa secara brutal, disiksa dengan kejam, untuk kemudian dihilangkan nyawanya. Tekanan masyarakat internasional lalu memaksa rezim Orba menyelidiki kasus biadab itu, tetapi kapten yang dihukum kemudian dibebaskan pada tingkat banding.

"Ada kecurigaan bahwa perwira-perwira berpangkat tinggi terlibat dalam kasus ini," tulis MC. Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009, hlm. 676-677).

Kematian Marsinah seolah menjadi lonceng perlawanan bagi kalangan buruh untuk mulai berhadap-hadapan dengan pemerintah Orba di era 90-an awal. Muchtar Pakpahan, yang memiliki jalinan erat dengan buruh, merancang pendirian SBSI. Meski untuk melakukan semua itu ia dan kelompok buruh lainnya harus melewati langkah yang tidak mudah.

Berbagai teror dicanangkan pemerintah saat kaum oposan hendak memulai pengorganisiran. Sebelumnya, istilah "karyawan" dipakai untuk menggeser kelaziman "buruh" dalam nomenklatur politik Indonesia. Dan bagi pemerintah, siapa pun haram hukumnya mendirikan serikat buruh kecuali SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Salah satu wujud kongkretnya adalah pelarangan berkumpul yang dihelat di Bogor, tepatnya Cisarua.

Sekitar 200 peserta yang berdatangan dari beberapa wilayah –dan datang dengan biaya sendiri– terpaksa harus gigit jari, dan kembali pulang ke tempat asal. Mereka kecewa karena pemerintah tak mengizinkan kongres buruh digelar. Puluhan polisi dan tentara berbaju preman datang membubarkan acara kongres Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) tersebut.

"Padahal (SBSI, organisasinya) sudah menjadi anggota Konfederasi Buruh Bebas Internasional (ICFTU). Sementara SPSI ditolak," kata Muchtar Pakpahan, sebagaimana dipetik dari majalah Tempo yang berjudul Dibubarkan di Cisarua, 7 Agustus 1993.

Baginya jelas, eksistensi SPSI saat itu merupakan salah satu persoalan. Mayoritas buruh pun merasa kehadiran organisasi tersebut tidak signifikan. Banyak kalangan menganggap bahwa SPSI hanya dijadikan alat pengusaha atau penguasa. Itulah yang mendasari kalangan buruh berupaya membentuk organisasi yang bebas intervensi pemerintah.

Saat itu, tidak sedikit yang mengupayakan berdirinya organisasi buruh tandingan. Pejuang hak asasi manusia, Poncke Princen, misalnya. Ia turut membentuk Serikat Buruh Merdeka Setiakawan. Menurut informasi yang beredar, SBSI yang kelak dipimpin Munchtar Pakpahan itu pun merupakan sempalan serikat buruh bentukan Poncke Princen.

"SBSI (kala itu) mempunyai sekitar 36.000 anggota dengan 79 cabang," kata Muchtar Pakpahan.

Seiring waktu, SBSI mulai menghadapi sejumlah tantangan. Mereka menyerukan mogok nasional di tanggal 11 Februari 1994. Namun satu upaya ini gagal. Padahal, sebelumnya, ribuan pamflet berisi seruan mogok nasional selama sejam –pukul delapan hingga sembilan pagi– telah disebarkan. Beberapa pabrik dan terminal yang sudah dipetakan bakal menjadi pusat pemogokan ternyata sepi –tidak berjalan sesuai harapan. Para buruh dan sopir seolah cuek, tetap bergeming pada seruan mogok massal.

Pada mulanya, SBSI memprediksi seruan mogok bakal diikuti sekitar dua juta buruh dan sopir angkutan umum. Tujuan mogok massal itu, menurut Muchtar Pakpahan, adalah mendesak Menteri Tenaga Kerja mencabut aturan tentang serikat buruh. Sebab, sebagaimana disinggung di muka, SBSI dianggap liar oleh pemerintah. Selain itu, mereka juga menuntut kenaikan upah minimum menjadi Rp 7.000 per hari.

Nahas, ajakan itu tak dihiraukan. Para buruh yang beberapa hari sebelumnya melakukan aksi mogok di beberapa tempat justru bekerja seperti biasa. Tetapi ini bukan akhir dari segalanya. Beberapa bulan kemudian, mogok pecah di beberapa wilayah.

Dalang Pergolakan Buruh Medan(?)

Sepanjang bulan April tahun 1994, ketegangan terjadi di kota-kota sekitar Medan, Sumatera Utara. Kala itu, ribuan buruh menggalang demonstrasi ke kantor Gubernur Sumatera Utara. Dalam satu laporan Tempo, kejadian ini dilukiskan dengan diksi, "buruh seolah lepas dari belenggu majikan". Mukhtar Pakpahan sendiri mengaku bertanggung jawab atas peristiwa itu.

"Ya, karena saya ikut merestui, jadi saya tak bisa buang badan," katanya, seperti dilansir dari laporan Tempo yang terbit 30 April 1994 dengan judul Huru-Hara Kali Ini Tanpa Letusan Bedil. Tetapi, masih menurut Muchtar, mulanya ia tak tahu-menahu rencana unjuk rasa itu.

"Saya baru dikasih tahu Kamis pagi itu juga saat unjuk rasa sudah terjadi," katanya lagi.

Muchtar kemudian memiliki keyakinan bahwa aksi demonstrasi ini merupakan akumulasi kemarahan dari tuntutan perbaikan taraf hidup buruh yang, menurut dia, tidak membuahkan hasil sama sekali. Pada awalnya, 6000-an buruh berkumpul di Lapangan Merdeka, depan stasiun kereta api Medan. Mayoritas buruh datang dari beberapa kawasan industri di Jalan Belawan. Ada pula yang dari Tanjungmorawa, Binjai, Pematangsiantar, dan Tebingtinggi.

Sama seperti sebelumnya, massa aksi buruh masih menuntut perbaikan upah dari Rp 3.100 menjadi Rp 7.000. Dan mendesak agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1994, tentang pengaturan organisasi buruh untuk dicabut dalam tempo sesingkat-singkatnya. Setelah semua kelengkapan siap, buruh kemudian bergerak ke kantor Gubernur yang kurang lebih berjarak tiga kilometer.

Sembari meneriakkan "Hidup SBSI", mereka memenuhi jalan-jalan, hendak menemui Gubernur Raja Inal Siregar sesegera mungkin. Kabar baik tiba tak lama kemudian. Beberapa perwakilan buruh diterima untuk berdialog oleh pejabat Pemda, Depnaker, dan Bakorstanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Negara Daerah) Sumatera Utara.

Tetapi, upaya perundingan itu tidak menemui titik terang. Saat melihat kenyataan bahwa aspirasi yang hendak diajukan berada di ambang kegagalan, massa pun mulai geram. Tatkala bubar –dan pulang ke tempat masing-masing, terjadilah perusakan terhadap sejumlah toko dan kendaraan. Sebagian warung milik warga keturunan di persimpangan Jalan Glugur By Pass hingga Jalan Yos Soedarso tak luput dari perusakan.

Kerusuhan kembali berlanjut keesokan harinya. Para demonstran mulai menyerbu ratusan toko, pabrik, mobil, dan juga sepeda motor. Bahkan Yuly Kristanto, Direktur PT Saudaratama Agraperkasa, dipukuli hingga tewas. Sejumlah kalangan menilai bahwa kasus aksi massa buruh di Medan sungguh mengerikan.

Laporan Tempo 21 Mei 1994, menuliskan "baru kali inilah gelombang unjuk rasa paling gemuruh terjadi dalam sejarah pekerja (buruh) pada masa Orde Baru". Di samping mengakibatkan seorang pengusaha tewas dan beberapa orang luka-luka, sekitar 150 bangunan –pabrik dan perkantoran di sekitar kawasan industri Medan– juga luluh lantak.

Namun Muchtar Pakpahan justru menuding aparat keamanan berada di balik demonstrasi yang pada akhirnya malah bertendensi rasial. Ia melihat adanya satu indikasi pada aksi massa hari pertama, 14 April 1994, yang menurutnya, memang digerakkan SBSI. Dan itu, katanya lagi, berjalan murni. Sementara unjuk rasa hari berikutnya, Muchtar menilai ada keganjilan. Sebab, SBSI hanya merancang demonstrasi yang dihelat pada tanggal 14 April saja. Lagi pula, sejak saat itu, Ketua SBSI Medan –Amosi, sudah bersembunyi, dan sejumlah pengurus SBSI lainnya sudah ditangkap aparat setempat.

"Kok, unjuk rasa terus jalan?" tanya Muchtar Pakpahan yang keheranan dengan adanya massa yang memicu huru-hara.

Isu kerusuhan ini pun menjadi sorotan banyak pihak. Pangab Jenderal Feisal Tanjung misalnya. Ia menanggapi kerusuhan dengan tegas, kemudian menyatakan bahwa pihak yang membuat kekacauan di Medan telah melakukan tindakan subversif. Feisal Tanjung juga menandaskan bahwa, ada pengurus SBSI –yang terlibat dalam aksi itu– setelah dilihat latar belakang dan riwayat hidupnya, ternyata berasal dari keluarga eks-PKI.

Tuduhan ini jelas mengarah pada Muchtar Pakpahan. Terlebih, dalam laporan sebelumnya, Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Soeyono menegaskan bahwa Muchtar perlu diwaspadai karena ia merupakan anak Sutan Johan Pakpahan, tokoh BATU, penggerak peristiwa Bandar Betsi, Simalungun, Sumatera Utara. Sebagai informasi bahwa pada masa lalu –menjelang peristiwa G30S, di Desa Bandar Betsi, Kecamatan Bandar, Simalungun, meletus bentrokan antara pihak perkebunan dan petani yang dipelopori Barisan Tani Indonesia (BTI, underbouw PKI). Namun Muchtar Pakpahan menampik tuduhan itu.

"Saya tak tahu apakah Ayah terlibat peristiwa Bandar Betsi. Yang jelas, Bandar Betsi jauhnya (berjarak sekitar) 80 km dari kampung kami, Bahjambi," kata Muchtar Pakpahan, sebagaimana dipetik dari laporan berjudul Tembakan-Tembakan untuk Muchtar.

Ia juga mengatakan bahwa saat ayahnya (Sutan Johan Pakpahan) meninggal, usianya baru 11 tahun. Karena itu, wajah ayahnya tak lagi diingat. Ihwal takdir dilahirkan orang tua yang anggota PKI pun merupakan suatu hal yang berada di luar kendali dirinya. Bukan pula menjadi suatu hal yang terlarang di era demokrasi terpimpin; banyak petani yang menjadi BTI, sebagaimana lazimnya pegawai negeri yang mayoritas berada di barisan Golkar sepanjang kekuasaan Orde Baru.

Dan rupanya persoalan belum juga usai. Tudingan komunis itu bukanlah akhir dari segala bentuk represi pemerintah. Sebetulnya Muchtar Pakpahan sudah dibebaskan oleh Mahkamah Agung di tahun 1995, tetapi ia kembali tersandung kasus yang bahkan lebih dahsyat dari yang diperkirakan. Muchtar Pakpahan kembali diseret ke penjara karena bukunya yang berjudul Potret Negara Indonesia (1995) –sekaligus merupakan disertasinya di Universitas Indonesia. Pada 30 Juli 1996, ia dijatuhi pidana mati.

Logo Partai Buruh Nasional yang dipimpin Muchtar Pakpahan, sebelum berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat untuk bisa mengikuti Pemilu 2004, dan berganti lagi menjadi Partai Buruh saat mengikuti Pemilu 2009. (Foto: Dokumentasi Yogi Esa Sukma Nugraha)
Logo Partai Buruh Nasional yang dipimpin Muchtar Pakpahan, sebelum berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat untuk bisa mengikuti Pemilu 2004, dan berganti lagi menjadi Partai Buruh saat mengikuti Pemilu 2009. (Foto: Dokumentasi Yogi Esa Sukma Nugraha)

Memasuki kancah Elektoral

Situasi berubah usai badai reformasi menerjang sendi-sendi kehidupan masyarakat. Momen itu hadir tatkala ribuan mahasiswa, buruh perkotaan, aktivis pro-demokrasi, LSM, serta para pembangkang rezim Orba lainnya turun ke jalanan untuk melengserkan Soeharto dari puncak kekuasaan pada Mei 1998. Muchtar Pakpahan lalu dibebaskan beberapa Minggu setelah Habibie –yang menjanjikan kehidupan lebih demokratis– menjadi presiden.

"Sebuah langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi," tulis MC. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009, hlm. 705).

Meski begitu, demonstrasi politik masih merupakan peristiwa sehari-hari di Jakarta dan kota-kota lainnya. Sejumlah aktivis tiada kata lelah menuntut penyelesaian kasus Soeharto dan kroni-kroninya secara hukum, penghentian peran ABRI dalam kehidupan politik, pemulihan ekonomi, dan pelengseran Habibie yang dianggap masih merupakan kroni Orba, terutama usai bergulirnya RUU PKB, yang memicu Peristiwa Semanggi II.

Habibie lalu melakukan percepatan pemilu untuk kali pertama di era reformasi yang diselenggarakan pada 7 Juni 1999. Ia juga mengurangi perwakilan ABRI di dalam majelis, berupaya menyelidiki dugaan korupsi Soeharto, dan memberi ruang bagi siapa pun untuk membentuk partai-partai politik –mewujud pada terbitnya Undang-undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu; Undang-undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.

Kedua aturan bernuansa demokratis ini, meski sudah tidak berlaku seiring terbitnya regulasi baru, senafas dengan spirit reformasi: siapa pun boleh membikin partai –dan pemilu harus dijauhkan dari praktik keculasan. Tak lama setelahnya, terbentuklah 171 partai dengan berbagai macam asas. Dari jumlah tersebut, hingga bulan April 1999, sebanyak 48 partai politik telah terdaftar.

Kondisi politik Indonesia lalu menjadi lebih beragam dengan kemunculan partai-partai politik baru. Muchtar Pakpahan sendiri menginisiasi Partai Buruh yang sejak 28 Agustus 1998 telah lolos verifikasi KPU. Kelak, dalam perjalanannya, Partai Buruh tercatat mengikuti tiga kali pemilu dan tiga kali pula mengubah nama.

Pada Pemilu 1999, dengan nama Partai Buruh Nasional, mendapat 140.980 suara (0,13 persen). Lalu di pemilu 2004, dengan nama Partai Buruh Sosial Demokrat berhasil mendapatkan 636.397 suara (0,56 persen). Kemudian tahun 2009, dengan nama Partai Buruh, mendapatkan 265.203 suara (0,25 persen).

Nahas, dalam tiga kesempatan mengikuti serangkaian proses elektoral, Partai Buruh belum mampu menembus syarat untuk meraih kursi parlemen. Eksistensi Partai Buruh bahkan redup setelah Pemilu 2009 usai, disusul Muchtar Pakpahan yang mengundurkan diri dari Ketua Umum Partai Buruh. Minggu 7 Februari 2010, Muchtar Pakpahan menyatakan mundur kepada sejumlah wartawan di Jakarta. Ia merasa gagal menjadikan Partai Buruh sebagai partai besar, dan selalu kalah dalam pemilu.

“Kalau saya terus, saya yakin tetap seperti ini. Saya mundur supaya ada harapan lebih baik,” kata Muchtar, dilansir dari Antara, Senin 19 Februari 2024.

Muchtar Pakpahan lalu menyerahkan sepenuhnya urusan penggantian ketua kepada sejumlah anggota Partai Buruh yang tersisa. Ia memilih fokus menjalani rutinitas di kantor pengacaranya, Muchtar Pakpahan Associates, dan mengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI). Meski begitu, bukan berarti keberpihakannya terhadap kalangan buruh ikut memudar. Terbukti pada saat RUU Cipta Kerja ramai-ramai dipersoalkan, ia kembali hadir di tengah-tengah publik: mengecam regulasi yang dinilainya hanya akan memperluas sistem outsourcing.

Sebuah pandangan personal yang ditulis Pdt. Binsar Jonathan Pakpahan PhD –yang merupakan anak Muchtar Pakpahan, turut mengafirmasi hal ini. Dalam esai yang dimuat SBSI news, ia mengungkapkan bahwa, ketika mendapat kesempatan bicara berdua, 14 Maret 2021 (tepat seminggu sebelum meninggal), sang ayah mengucapkan satu hal yang masih mengganjal: "Nasib buruh mungkin akan bertambah buruk dengan terbitnya UU Cipta Kerja."

* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//