• Kolom
  • Hikayat Majalah Tjenderawasih

Hikayat Majalah Tjenderawasih

Majalah Tjenderawasih terbitan N.V. Ganaco di era tahun 1950-an merupakan majalah anak yang cukup populer di Bandung. Digawangi sejumlah nama pesohor kala itu.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Majalah Tjenderawasih terbit di era 1950-an. (Foto: Holger Warnk)

8 Januari 2024


BandungBergerak.id – Banyak cara untuk mengakses informasi. Majalah adalah salah satunya yang cukup diandalkan orang-orang. Bahkan majalah – wabilkhusus untuk anak – sudah turut mengiringi kehidupan masyarakat sebelum republik ini berdiri tegak. Jika ditarik jauh ke belakang, kita bisa melihat bagaimana kehadiran majalah anak muncul sebelum berdirinya Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur, atau Komisi Bacaan Rakyat.

Skripsi karya Christantiowati yang berjudul "Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945" memuat hal itu dengan jelas. Bukan tanpa alasan tentu saja pemerintah Hindia Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat. Kala itu, gaung wacana ihwal kemerdekaan dan kesetaraan begitu kentara, tak ayal jika penyensoran kemudian dilakukan penguasa kolonial – sebagai upaya menahan laju penyebaran wacana yang dianggap bisa memicu kekacauan.

Dan bukan pula suatu hal yang membuat heran, jika mengingat apa yang pernah dipikirkan Louis Althusser, bahwa negara memiliki apa yang disebut sebagai “aparatus ideologis” (ideological state apparatus). Dengan berbagai instrumen – salah satunya Komisi Bacaan Rakyat, penguasa kolonial saat itu merancang penanaman ideologi yang masif, sekaligus juga berfungsi sebagai alat represi secara halus dan tak disadari.

Walhasil beberapa karya dianggap sebagai bacaan liar, dan tentu saja dilarang terbit oleh Pemerintah Kolonial. Meski, dalam periode tersebut beberapa bacaan anak berhasil terbit, seperti Merari Siregar yang berjudul Si Jamin dan Johan (1918). Ia merupakan karya saduran dari Novel Oliver Twist. Selain dari itu, ada pula Novel Tom Sawyer karya Mark Twain, yang mampu mendapat popularitas dalam waktu yang cukup lama.

Seiring perjalanan, tepatnya pada saat memasuki era 1950-an, kita tahu, surat kabar dan majalah tumbuh dimana-mana tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Publik bebas mengutarakan pikiran dan kehendak individu. Dalam situasi semacam itu, ada satu majalah anak di Bandung yang cukup populer. Ia bernama Tjenderawasih.

"[Majalah Tjenderawasih...] sejauh ini tidak ditemui di dalam Worldcat – sebuah database bibliografi yang mencatat koleksi 72.000 perpustakaan di 172 negara, dan karenanya unik," tulis Holger Warnk, seorang pustakawan sekaligus antropolog, yang juga bekerja di penerbit Horlemann, sebagaimana dikutip dari Tjenderawasih: A 1950’s Indonesian Children’s Journal in the Library of Southeast Asian Studies in Frankfurt, Rabu, 3 Januari 2023.

Dalam penelusuran Holger Warnk, volume pertama Majalah Tjenderawasih sudah dirilis sejak bulan September 1951. Majalah Tjenderawasih diluncurkan oleh N.V. Ganaco, sebuah unit usaha penerbitan yang cukup terkenal di Bandung kala itu. Tetapi, sayang sekali. Tidak berhasil diketahui kapan Majalah Tjenderawasih berhenti terbit. Hanya edisi terakhir yang berhasil ditemukan: volume 2, Nomor 7, yang diterbitkan pada bulan Juni 1953.

Baca Juga: Dari Film, Kami Belajar
Bergerak Bersama Disabilitas
Bisakah Lirik Lagu jadi Sumber Sejarah?

Menggaungkan Spirit Kemerdekaan

Sejak awal Majalah Tjenderawasih menyasar target pembaca anak-anak. Hal ini terang sekali tergambar di halaman akhir. Di sana kita bisa melihat jargon yang dikemukakan awak redaksi Majalah Tjenderawasih:

"Madjalah anak-anak kita jang berazaskan pendidikan.”

Tentu masih banyak hal menarik lainnya yang bisa ditemukan di dalam Majalah Tjenderawasih. Kita bisa melihat bagaimana cerita pendek dan puisi dikemas. Selain itu, ada pula beberapa lagu-lagu, semacam teka-teki silang, kartun, dan ilustrasi. Ada juga teks-teks pendidikan tentang geografi (dalam hal ini, misal, informasi yang memuat suatu tempat) atau sejarah.

Dan semua menggemakan spirit kemerdekaan di awal tahun 1950-an. Saat itu, kita tahu, mayoritas penghuni Republik masih mengalami trauma pendudukan Jepang, dan Revolusi Agustus 1945 masih belum dianggap selesai oleh mayoritas rakyat yang hendak menghantam politik kolonial. Maka jangan heran jika beberapa cerpen, reportase, lagu, dibuat dengan perspektif semacam itu.

Kita juga bisa lihat bagaimana gambaran ihwal pendidikan di Indonesia yang berupaya mengedepankan bahasa nasional – Bahasa Indonesia, kepada penutur asli bahasa daerah: Jawa, Sunda, Batak, dan ratusan bahasa lainnya. Semua ini jelas menunjukkan jika isi – serta banyak konten lain di majalah – Tjenderawasih menunjukkan gagasan tertentu, khususnya untuk memperkuat spirit kemerdekaan di kalangan pembaca anak-anak.

Hal ini diafirmasi Indra Prayana, seorang kolektor surat kabar lawas. Dalam sesi diskusi di Kedai Jante Bandung, Jumat 20 Oktober 2023, ia mengatakan bahwa, "di era 50-an banyak majalah dan surat kabar yang memiliki afiliasi dengan kelompok tertentu. Banyak majalah anak yang memiliki pandangan ideologis. Ada Majalah si Kantjil di tahun 60-an awal, yang merupakan tandingan Majalah si Kuntjung. Dan jaman itu bebas-bebas saja, gak ada yang melarang."

Adapun bukti lain mengenai penyebaran wacana kemerdekaan nasional, bisa dilihat dari temuan Holger Warnk yang merekam sajak berkepala Madju Djalan (jilid 1, nomor 10, 1952, hlm. 3):

"Siram, siram, siram!
Terdengar kaki menderap.
Itulah barisan Sekolah Rakjat
Harapan bangsa, penuh semangat..

Beladjar disekolah sungguh-sungguh.
Bekerdja dirumah sungguh-sungguh.
Berbaris dilapangan madju dja…lan!
Itulah anak kemerdekaan…

Siram, siram, siram!
Langkah ritmis terdengar
Inilah baris-baris Sekolah Rakyat
Harapan bangsa, penuh semangat.

[Mereka] belajar keras di sekolah.
[Mereka] bekerja keras di rumah.
[Mereka] berbaris di alun-alun untuk jalan menuju kemajuan!

 Inilah anak-anak kemerdekaan…"

 

Salah satu rubrik yang terdapat di Majalah Tjenderawasih. (Foto: Holger Warnk)
Salah satu rubrik yang terdapat di Majalah Tjenderawasih. (Foto: Holger Warnk)

Susunan Redaksi

Majalah Tjenderawasih digawangi beberapa nama sohor. Salah satunya, yang paling fenomenal, adalah Siti Rukiah (1927-1996). Ia tercatat sebagai salah satu penulis wanita yang sangat produktif di dalam skena sastra Indonesia era 50-an. Ia juga tercatat sebagai perempuan pertama yang mendapat hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN; sebuah hadiah bergengsi kesusastraan pada saat itu) tahun 1952. Nama Siti Rukiah mengemuka di antara para pemenang lainnya yang didominasi pengarang laki-laki. Novelnya yang paling terkenal, Kedjatuhan dan Hati.

Dalam ulasan Holger Warnk, disebut bahwa pada tahun 1951, Siti Rukiah pindah ke Bandung. Ia menjadi redaktur Majalah Tjenderawasih. Namun – masih menurut Holger Warnk – jejak Siti Rukiah hanya tercatat hingga Desember 1952 di redaksi Majalah Tjenderawasih. Sisanya, tidak diketahui secara pasti. Tetapi mungkin sebagian dari kita tahu, bahwa kelak yang bersangkutan bergiat di organisasi kebudayaan LEKRA, lalu kemudian berhenti menulis usai pembantaian massal yang terjadi pasca 1965.

Selain Siti Rukiah, tercatat pula nama Sikun Pribadi, seorang akademisi yang meraih gelar Ph.D. di Ohio State University di Amerika Serikat pada tahun 1960 – yang dikemudian hari menjadi guru besar ilmu pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung. Di Majalah Tjenderawasih ia bertugas sebagai "penasehat paedagogi". Ada pun sebagai anggota tetap redaksi Majalah Tjenderawasih tertulis nama Daeng Sutigna (1908-1984). Ia dikenal sebagai seniman dan guru terkemuka.

Mulanya saya merasa ragu atas ulasan Holger Warnk yang menyeret nama Daeng Sutigna di jajaran redaksi Majalah Tjenderawasih. Sebab jika merujuk buku Daeng Soetigna: Bapak Angklung Indonesia (1986) yang disusun Helius Sjamsuddin dan Hidayat Winitasasmita, tertulis bahwa di medio 1949-1955, Daeng Soetigna terlihat sibuk di bidang pendidikan. Namun, jika mengingat bahwa yang bersangkutan adalah kakak dari Oejeng Soewargana – pimpinan dari penerbit Ganaco, dan di tahun yang sama ia diangkat menjadi Kepala Sekolah di Kota Bandung, maka, tanggung jawab di redaksi Majalah Tjenderawasih akan sangat mungkin diemban Daeng Sutigna.

Nama-nama lain yang tercatat di redaksi Majalah Tjenderawasih adalah, A. H. Harahap. Ia merupakan penulis buku bacaan SD. Bersama Safiudin dan Oejeng Soewargana, namanya tercatat di beberapa buku bacaan anak. Salah satunya buku pengantar umum geografi Indonesia, dengan judul Madura Pulau Kerapan (1955). Ia aktif sebagai penulis hingga tahun 1970-an, dan hampir semua karyanya diterbitkan oleh Ganaco.

Yang menarik lainnya, tercatat nama Karnedi Naatmadja. Ia merupakan seorang pelukis. Dalam jurnal bertajuk Peran Seniman dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (2012, hlm. 53), tercatat bahwa Karnedi lahir di Garut pada 17 Januari 1924. Ia aktif di PESINDO, dan bertugas membuat poster-poster di era Revolusi Kemerdekaan.

Adapun nama lainnya adalah E. S. Muljokusumo. Ia seorang pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang menulis beberapa artikel tentang fenomena alam seperti matahari, bintang, laut Indonesia dan sejenisnya. Belakangan, usai ditelusuri, yang bersangkutan juga kerap menulis informasi seputar kuliner. Namun sulit memastikan informasi mengenai nama-nama lain yang tercatat di Majalah Tjenderawasih, seperti Sudigdo, Ibu Suparti, dan Nn. Rukmini Sudirdjo.

Sebuah artikel yang memuat Oejeng Soewargana di surat kabar Het Parool, Rabu 17 November 1954. (Foto: Dhelper.nl)
Sebuah artikel yang memuat Oejeng Soewargana di surat kabar Het Parool, Rabu 17 November 1954. (Foto: Dhelper.nl)

Peran Penerbit Ganaco

Bicara Majalah Tjenderawasih tak bisa dilepaskan dari penerbit Ganaco. Ia merupakan sebuah penerbit yang berbasis di Bandung. Dalam penelusuran, tercatat bahwa Penerbit Ganaco aktif dari tahun 1950 hingga penerbit tersebut dirundung masalah pelik di tahun 1979. Jika merujuk catatan Holger Warnk, sejak tahun 1950-an, Ganaco bahkan telah memiliki cabang di Jakarta dan Amsterdam.

Ganaco dipimpin Oejeng Soewargana (1917-1979, atau ditulis Uyeng Suwargana dalam ejaan yang disempurnakan. Usai ditelusuri lebih jauh, Oejeng Soewargana memang sosok yang cukup terkenal di bidang pendidikan dan produktif menulis buku pelajaran. Namanya, kerap seliweran di berbagai surat kabar.

Menarik untuk digarisbawahi bahwa Oejeng Soewargana merupakan kawan dekat Abdul Haris Nasution. Ia menulis berbagai buku tentang peristiwa sejarah – salah satunya Peristiwa Madiun 1948. Dalam esai Petrik Manasi tentang Oejeng Soewargana, tercatat bahwa sebagai penulis buku pelajaran sejarah, Oejeng Soewargana termasuk penulis yang dipinggirkan pada 1960-an.

Bukunya dilarang karena ia tidak mau mengubah istilah "Pemberontakan Madiun" menjadi "Peristiwa atau Affair" yang identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oejeng Soewargana juga tercatat kerap hilir-mudik di Eropa. Beberapa peneliti bahkan ada yang menengarai dirinya sebagai agen CIA, meski hingga saat ini belum ada yang bisa membuktikan kebenarannya. Yang pasti, Oejeng Soewargana merupakan salah seorang pebisnis dan praktisi pendidikan.

Dalam rubrik Onze Gast Vandaag (tamu kita hari ini), surat kabar Het Parool yang terbit pada Rabu 17 November 1954, mengabarkan bahwa Oejeng Soewargana sering bepergian ke negara-negara Eropa Barat, negara-negara Timur Tengah, dan Asia untuk mempelajari sistem pendidikan. Tidak heran memang. Jika melihat kiprah Ganaco yang bukan saja menerbitkan majalah serta buku pelajaran.

Ulasan Holger Warnk pun menunjukkan bahwa Ganaco sering menerbitkan buku-buku dalam bahasa lain, selain bahasa Indonesia. Pada tahun 1950-an, mereka bahkan memproduksi majalah berbahasa Inggris Window on the World. Merujuk laporan Tempo  27 Februari 1982, tertulis bahwa Majalah Window on the World terbit setiap pertengahan bulan. Majalah tersebut memuat cerita rakyat, cerita petualangan, artikel ilmiah, latihan bahasa Inggris, surat pembaca, rubrik sahabat pena, dan, teka-teki silang. 

Saya agak kesulitan untuk menggali informasi bagaimana keberlangsungan Majalah Tjenderawasih. Temuan Holger Warnk lainnya sekadar memberi informasi bahwa Majalah Tjenderawasih tidak berisi iklan komersial kecuali dari penerbit Ganaco sendiri. Meskipun, di saat yang sama, mereka mengumumkan harganya. Harga iklan berkisar dari 500,- Rupiah (c. 43,- US$) per halaman, 275,- Rupiah (c. 24 US$) untuk setengah halaman hingga 150,- Rupiah (c. 13,- US $) untuk seperempat halaman.

Sementara harga untuk berlangganan Majalah Tjenderawasih dalam setahun, dibanderol dengan angka 22,50 Rupiah (5,90 US$ pada tahun 1951, 1,97 US$ pada tahun 1953). Dengan harga yang relatif tinggi bagi pelanggan Indonesia di era 50an, sirkulasi Majalah Tjenderawasih diperkirakan hanya menyasar anak-anak kelas menengah di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya atau Yogyakarta.

Dan yang pasti, hingga kini belum diketahui kapan Majalah Tjenderawasih berhenti terbit. Hanya untuk akhir riwayat Penerbit Ganaco sendiri, laporan Tempo pada Sabtu 30 Agustus 1980 yang bertajuk Peninggalan Pak Oejeng, menyebutkan bahwa kala itu terjadi sengketa antara buruh PT. Ganaco (milik alm Oejeng) dengan pemiliknya. Buruh Ganaco menuntut kenaikan upah dan uang lembur. Sementara kredit investasi yang mulanya akan diberikan kepada PT. Ganaco mengalami kegagalan karena terjadi kekisruhan di internal perusahaan.

* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//