Dari Film, Kami Belajar
Film bisa menjadi alat bantu dan pengantar bahan pembelajaran. Seperti film dokumenter berjudul Nyanyian Akar Rumput yang membantu siswa memahami situasi Orde Baru.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
4 Desember 2023
BandungBergerak.id – Sejumlah pakar mengatakan bahwa film dapat menstimulasi emosi dan memungkinkan laju perkembangan kognitif. Karenanya, tidak sedikit kalangan yang menjadikan film sebagai media ajar. Itu pula yang mendorong saya untuk turut memanfaatkan beberapa keistimewaan film sebagai bahan pembelajaran.
Bentuk keistimewaan lainnya juga sederhana. Ia berbeda dengan teks. Bukan berarti mengenyampingkan bahan-bahan bacaan sebagai unsur pokok. Namun, jika sekadar menjadikan film sebagai wahana pemantik minat, rasanya tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Untuk memperkuatnya, ada sebuah pendapat. Saya lupa siapa yang mengatakan. Tetapi, intinya menegaskan ihwal film yang mampu mengatasi kesulitan menghadapi abstraksi dalam teks yang -- meski pun dirumuskan dari kenyataan -- membutuhkan kemampuan berbahasa cukup mumpuni agar bisa memahami suatu materi.
Dengan lain perkataan, film bisa menjadi "alat bantu" dan juga pengantar untuk menjebol benteng kerumitan memahami bacaan njlimet. Dan saya merasa, itulah yang sekaligus mampu menjawab kegusaran publik akan pernyataan ketua umum salah satu partai yang mengatakan jika dirinya tidak memahami definisi Orde Baru karena tidak mengalami secara langsung.
Baca Juga: Daftar Buku Terbitan Bandung yang Dilarang Orde Baru
Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film
Ketakutan Rezim Orde Baru pada Musik dan Pemuda Berambut Gondrong
Pembungkaman, Jangan Terulang!
Kamis, 30 November 2023, siang. Bersama siswa-siswi SMA Bina Dharma 2 Bandung, saya menonton film berjudul Nyanyian Akar Rumput, karya Yuda Kurniawan. Sebuah film yang menceritakan kisah perjalanan bermusik Fajar Merah. Ia merupakan anak dari Widji Thukul -korban Penghilangan Paksa di era Orde Baru.
Kebetulan jika tema film sangat sesuai dengan yang sedang dipelajari. Di akhir semester ganjil, anak-anak kelas XII memang sudah memasuki materi Orde Baru. Dan tentu kegiatan nonton film Nyanyian Akar Rumput ini diharap mampu memperkuat pemahaman akan materi pelajaran tersebut.
Sebelumnya, tersiar kabar bahwa film Nyanyian Akar Rumput telah membawa sang sutradara meraih Piala Citra di tahun pembuatannya. Itu pula barangkali yang menjadikan film tersebut cukup menarik perhatian banyak orang. Ratusan pengunjung yang menjejali Ruang Auditorium Bandung Creative Hub dapat menjadi bukti.
Mula-mula rencana aktivitas belajar di luar itu tak luput dari informasi krusial yang dikirim seorang teman, Rizki Sanjaya, via WhatsApp. Ia memberi kabar mengenai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput atas inisiasi panitia Apresiasi Film Jawa Barat 2023 di kantornya. Setelahnya, saya segera berkoordinasi dengan beberapa pimpinan di sekolah dan juga wali siswa-siswi mengenai rencana di awal.
Izin diterima. Menjelang pemutaran film dimulai, kami bergegas menuju Gedung Bandung Creative Hub yang terletak di Jalan Laswi Bandung, saat hari menuju siang dan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) telah usai. Sesampainya di lokasi, tampak sekali puluhan orang yang didominasi mahasiswa mulai berdatangan. Hanya rombongan kami barangkali yang masih mengenakan seragam.
Film diputar. Kami pun larut dalam alur Nyanyian Akar Rumput yang berdurasi 1 jam 52 menit. Sebuah Film dokumenter yang, seperti disinggung di atas, mengisahkan perjalanan Fajar Merah, seorang anak korban pelanggaran HAM berat di era Orde Baru. Sisanya, saya kira reportase Fitri Amanda dari Bandungbergerak.id —tayang 2 Desember 2023, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan suasana dan informasi mengenai film yang diputar. Bagi saya, kesan yang didapat usai menonton film tersebut begitu melekat; mampu memberi pesan sangat kuat.
Ia menerjang pikiran untuk menolak bungkam; menolak impunitas; melawan keterbelakangan orang-orang yang dulu (bahkan hingga kini, sebagian masih) memegang kuasa. Sebagaimana pernyataan Mbak Sipon di salah satu scene filmnya: jangan ada lagi yang menangis karena orang terdekat dihilangkan secara paksa.
Jangan Remehkan Film Hantu
Berdirinya Orde Baru tentu mengandaikan adanya Orde Lama. Itu merupakan sebuah era yang secara resmi dikenal dengan Demokrasi Terpimpin. Tak elok rasanya jika film menyoal Demokrasi Terpimpin dilewati begitu saja. Dan untuk memperkuat pemahaman siswa-siswi mengenai Sejarah Demokrasi Terpimpin, kali ini saya tidak hendak mengajak mereka menonton Gie (2005). Namun mencoba mengambil jalan berbeda: Film Horor!
Adalah film berjudul Lentera Merah besutan Sutradara Hanung Bramantyo pada tahun 2006 yang kami jadikan bahan pembelajaran di bulan-bulan yang telah lalu. Film tersebut menceritakan beberapa individu yang bergelut di UKM suatu kampus. Ia bernama Lentera Merah. Sebagai insan pers mahasiswa, Lentera Merah dikenal kritis. Dan siapa-siapa yang berminat menjadi anggota, tentu harus kritis pula.
Ironis. Di dalam tubuh organisasi pers yang dikenal kritis itu malah terdapat suatu problem terselubung. Mereka dibebani sejarah pembunuhan seorang aktivis mahasiswa bernama Lisa (yang diperankan Laudya Chintya Bella). Ia dinilai membahayakan. Dan akhirnya dibunuh tahun 1965. Bukan suatu kebetulan jika kemudian Lisa gentayangan dan menghantui para calon anggota Lentera Merah angkatan 2006.
Para calon anggota Lentera Merah angkatan 2006 merupakan putra-putri dari orang yang diketahui sebagai komplotan pembunuh Lisa di tahun 1965. Kelak, dalam satu acara semacam ospek bagi calon anggota baru Lentera Merah tahun 2006, nyaris semua ikut terbunuh -kecuali Iqbal yang diperankan Dimas Beck. Dan semua itu dilakukan hantu Lisa yang menuntut balas dendam atas peristiwa yang menimpanya di masa lalu.
Dari sisi cerita memang agak sedikit konyol. Bagaimana bisa arwah gentayangan membunuh sejumlah orang. Namun beberapa kekonyolan itu saya kira tidak terlalu mengganggu mengingat nyaris semua cerita di film horor jelas tidak masuk akal. Yang menjadi penting adalah kisah di balik pembunuhan mahasiswa kritis bernama Lisa. Ia disingkirkan oleh seniornya di kampus. Ia difitnah dengan tuduhan telah membuat tulisan yang menghasut. Padahal, itu hanya dalih karena Lisa anak seorang seniman Lekra. Karenanya, dianggap layak untuk dibunuh.
Yang penting lagi, adalah andrenaline yang dipicu dari alunan lagu Puspa Dewi karya Titiek Puspa. Saya merasa itu cukup untuk memberikan rangsangan imajinasi mengenai satu dari sekian banyak peristiwa sejarah di era Demokrasi Terpimpin. Dan tentu saja kedua film yang telah disebut bukan tanpa kelemahan.
Beberapa kelemahan film, antara lain, cerita yang kurang sistematis, dan alur ceritanya kurang jelas. Sebagian juga terlalu dibumbui fiksi, dibandingkan suatu ikhtiar mencari kebenaran. Sehingga dapat menimbulkan suatu pertanyaan apakah film itu merupakan sejarah sebagai kisah atau sejarah sebagai ilmu. Namun, sekali lagi, itu bukan soal penting jika digunakan sekadar memantik imajinasi. Dan dengan demikian, jelas sudah bahwa untuk mulai mempelajari, tidak harus mengalami, kan?
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang film.