• Opini
  • Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film

Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film

Film Bumi Manusia yang disutradari Hanung Bramantyo, berasal dari karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Menuai perdebatan di saat pemutarannya.

Widiawati Rinda

Mahasiswa Sastra Indonesia

Jilid buku novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: opac.perpusnas.go.id)

21 Juli 2023


BandungBergerak.idIndustri film saat ini marak mengangkat karya sastra yang diekranisasi ke dalam bentuk film. Ekranisasi atau alih wahana merupakan perpindahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain (Damono, 2009: 128). Maraknya fenomena ekranisasi berkaitan dengan permintaan pasar. Film jenis ini cenderung laris. Alasan lain, pengalihwahanaan sastra ke dalam film tak jarang dilatarbelakangi kekaguman tersendiri terhadap suatu karya sastra.

Bumi Manusia merupakan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel salah seorang sastrawan ternama Indonesia, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Film ini diproduksi oleh PT Falcon dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Secara singkat, film Bumi Manusia menceritakan kisah dua anak manusia yang saling jatuh cinta di tengah kesenjangan yang ada. Dalam film ini, tergambar seorang bumiputra keturunan priyayi yang bernama Tirto Adhi Soerjo atau yang kerap dipanggil Minke. Nama Minke merupakan sebutan atau ejekan dari bangsa kolonial yang memiliki arti monyet.

Minke mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di HBS, yaitu sekolah khusus kolonial dan bangsa elite lokal. Di tengah mencari ilmu, Minke bertemu seorang gadis keturunan Indo-Belanda yang bernama Annelies. Selama bersekolah Minke tinggal di kediaman Annelies. Mereka acap kali memiliki kesempatan untuk bertemu sehingga timbul rasa saling cinta.

Dalam film Bumi Manusia, tokoh Minke dipandang rendah karena bukan berasal dari bangsa kolonial, cintan pada Annelies tidak disetujui berbagai pihak. Tetapi beruntungnya tokoh Minke didukung oleh Nyai Ontosoroh, ibu Annelies yang merupakan seorang bumiputra.

Akhir cerita dalam film ini terbilang tragis karena Nyai Ontosoroh tidak mendapatkan hak asuh Annelies, begitupun cinta Annelies dan Minke yang terpaksa berpisah. Selain itu, film ini juga menggambarkan bagaimana kehidupan bumiputra pada masa kolonial, bagaimana mereka dipandang rendah di tanahnya sendiri.

Membandingkan Film dan Sastra

Idealisme pembaca memiliki peran penting dalam film hasil ekranisasi. Penggambaran novel yang divisualkan dalam bentuk film acap kali dibandingkan dengan bentuk karya aslinya. Hal ini dapat terjadi karena apresiator film tidak hanya hadir dari kalangan pecinta film, tetapi hadir juga dari pecinta novel dan penggemar sastrawannya. Ini menandakan bahwa terjadinya perbandingan antara novel dan film maklum terjadi.

Sebagian penikmat film merasa bahwa ekspetasi mereka terhadap film Bumi Manusia tidak terbayar. Di kalangan warganet, mereka merasa bahwa banyak adegan penting dalam novel yang tidak terealisasikan dalam bentuk film. Akan tetapi, ekranisasi sendiri dapat diartikan sebagai perubahan. Perubahan di sini adalah terjadi penciutan, penambahan, dan variasi. Perubahan dapat terjadi karena proses ekranisasi adalah mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar yang gerak berkelanjutan (Eneste, 1991:60).

Hanung Bramantyo menempatkan Iqbal Ramadhan, Mawar Eva De Jongh, dan Ine Febriyanti sebagai pemeran utama. Di awal pengenalan para aktor dan aktris, Hanung menerima banyak kritikan dari warganet. Sebagian warganet beranggapan bahwa menempatkan Iqbal sebagai Minke dirasa kurang tepat. Hal ini terjadi karena visual Iqbal disebut berbeda dari penggambaran tokoh Minke dalam novel. Muncul kekhawatiran para pembaca mengenai nyawa seorang Minke yang dirasa akan hilang apabila tidak sesuai dengan gambaran novel. Pramoedya Ananta Toer dalam menulis novel ini mengungkapkan bahwa tokoh Minke merupakan gambaran dari Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional.

Selain itu, warganet menganggap bahwa Iqbal Ramadhan masih memiliki getaran Dilan [karakter yang dimainkan Iqbal Ramadhan dalam film Dilan] dalam dirinya. Sebagian penonton merasa bahwa karakter Dilan masih melekat kuat dalam diri Iqbal sehingga pembawaan karakter Minke dirasa kurang. Namun demikian, ada yangberanggapan bahwa menempatkan Iqbal sebagai pemeran utama pun memiliki keuntungan, melihat Iqbal yang merupakan aktor yang memiliki banyak penggemar milenial, setidaknya dapat membuat anak milenial mengetahui keberadaan novel Bumi Manusia karya Pram ini.

Tidak hanya visual dan karakter Iqbal yang diperdebatkan, sebagian warganet merasa bahwa logat Jawa Iqbal dirasa kurang medok. Namun, sebagian warganet lainnya merasa Iqbal berhasil membawakan tokoh Minke dan keluar dari karakter Dilan. Kepandaian Iqbal dalam beradu peran patut diacungi jempol meski banyak yang mengkritiknya, tapi ia berhasil

Membawakan karakter Minke. Selain itu, perdebatan seperti ini maklum terjadi melihat bahwa penonton film ini tidak hanya hadir dari penikmat film maupun penggemar Iqbal, tetapi juga hadir dari penggemar Pram. Seperti yang dikatakan dalam cuitan berikut bahwa penggemar Iqbal dan penggemar Pram merupakan dua tipe orang yang berbeda.

“Di bioskop nanti isinya gabungan antara fans Iqbal sama fans mbah Pram, tidak terpikirkan sebelumnya kalau dua tipe orang yang jauh berbeda ini akan berada dalam satu ruangan,” cuit akun Risen Ape (CNN).

Kritik tak berhenti pada tokoh saja, kostum yang digunakan dalam film ini pun menuai kritik tajam. Banyak yang menyayangkan kostum yang digunakan Annelies tidak sesuai dengan gadis Indo-Belanda pada masa itu. Tidak hanya kritikan dari warganet, tetapi seorang yang berkerja di bidang fashion, Rumi Siddharta pun ikut mengkritik gaya busana dalam film ini. Namun demikian, Retno selaku fashion designer mengatakan bahwa pembuatan kostum untuk film ini telah didiskusikan dengan tiga orang sejarawan dan juga sutradara Hanung Bramantyo. Selain itu, Retno juga memiliki pengalaman dalam pembuatan kostum dengan latar sejarah, salah satunya kostum untuk film Kartini yang memiliki latar periode yang sama.

Baca Juga: Relasi Kuasa dalam Cerpen Musibah
Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung
Konferensi Asia Afrika dan Sukarno di Mata Pram

Dibayangi Novel

Sebagai film hasil alih wahana, tentu saja Bumi Manusia akan terus dibayangi cerita dalam novel. Hal ini tidak dapat dipungkiri, idealisme para pembaca akan terus membandingkan penggambaran dan penceritaan antara novel dan film. Sejak terdengar wacana alih wahana novel ini, berbagai kontroversi bermunculan, banyak yang merasa bahwa film tidak dapat memvisualisasikan sebuah karya sastra sehingga banyak yang tidak setuju novel ini difilmkan. Namun, industri film tidak terguncang akan hal itu dan tetap mengalihwahanakan novel tersebut.

Cerita dalam novel Bumi Manusia tidak terlalu memfokuskan kepada romansa melainkan menitikberatkan kepada kesenjangan yang terjadi antara bangsa kolonial dan bumiputra pada masa itu. Novel ini juga merupakan bentuk kritik sosial dari Pram sehingga dianggap sakral, menjadikannya sebuah film membutuhkan keakuratan yang tidak merusak unsur penting dalam novel.

Film dengan durasi tiga jam satu menit ini lebih memfokuskan pada kisah Minke dan Annelies sehingga publik merasa masalah-masalah yang terjadi pada masa kolonial kurang disorot. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh sosiolog Ariel Heryanto, penciutan novel panjang seperti Bumi Manusia terbilang sulit dan kejam sehingga harus siap menerima kekecewan apabila tidak sesuai dengan ekspetasi.

Film Bumi Manusia ini tercipta antara idealisme pembaca dan pragmatisme industri film. Pragmatisme adalah sebuah pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. Para pembaca tentu saja mengharapkan bahwa film ini mampu mengangkat persoalan yang terjadi sesuai dengan apa yang tertulis dalam novel. Namun, industri film merasa lebih tahu akan dibawa kemana film tersebut.

Hanung Bramantyo mengatakan ia dan tim mendapat kesulitan membangun nuansa era 1890-an hingga 1920-an sesuai dengan latar waktu pada novel Bumi Manuia. Banyak bangunan bersejarah yangtelah hilang karena keserakahan manusia. Meskipun ada beberapa bangunan bersejarah yang masih ada hingga kini, tetapi Hanung dan tim merasa kesulitan dalam menemukan bangunan yang bernuansa tahun tersebut.

Hal itu membuat Hanung harus memutar otak untuk dapat menciptakan nuansa tahun tersebut di tengah perubahan zaman dan nuansa kekinian. Hanung mencoba sebaik mungkin menciptakan nuansa dalam novel yang dituangkan ke dalam film Bumi Manusia sehingga para penonton dapat merasakan nuansa tersebut. 

Idealisme pembaca yang terus dibayangi oleh penceritaan, nuansa, karakter tokoh, dan lain sebagainya dalam novel, akan sulit menerima perubahan yang terjadi dalam film sehingga menekan industri film untuk lebih memperhatikannya secara detail. Selain itu, industri film membuat semuannya lebih praktis dengan memanfaatkan perkembagan teknologi yang ada. Praktis di sini bukan berarti industri film secara sembarang memproduksi film, tetapi membuat semuanya lebih mudah. Film ini tercipta dengan pragmatisme industri film meskipun dibayangi dengan ideaslime pembaca. 

Kritik dan saran yang diberikan kepada para pelaku seni umum terjadi, hal ini pun diperlukan untuk mendapatkan karya yang lebih baik lagi. Namun, kita sebagai penikmat film maupun novel juga sepatutnya mengapresiasi karya-karya dari pelaku seni tersebut. Film Bumi Manusia meski dianggap tidak memenuhi ekspetasi para pembaca maupun penikmat film, tetapi berkat pemeran-pemerannya film ini dapat dikatakan sukses.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//