• Opini
  • Relasi Kuasa dalam Cerpen Musibah

Relasi Kuasa dalam Cerpen Musibah

Cerpen Musibah karya Jujur Prananto menceritakan korupsi, praktik kotor proses hukum, dan kritik bahwa hukum hanya alat kekuasaan.

Widiawati Rinda

Mahasiswa Sastra Indonesia

Plang yang terpasang di depan Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jalan R.E. Martadinata, Citarum, Kota Bandung, Selasa (12/7/2022). (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

26 Juni 2023


BandungBergerak.idSelama ini Budiman menghormati pamannya, pakde Mahargo. Begitu sang paman dituduh melakukan korupsi dan harus menjalani pemeriksaan oleh pihak berwenang, Budiman yakin bahwa pakde Mahargo korban fitnah. Atas tuduhan tersebut pakde Mahargo mengalami absurditas kehidupan.

Budiman merupakan tokoh di dalam cerpen Musibah karya Jujur Prananto yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2007. Dalam cerpen tersebut juga digambarkan bagaimana keluarga pakde Muhargo, pamannya Budiman, menyikapi kejadian yang menimpanya. Istri Muhargo, yang dipanggil bude oleh Budimen, bahkan meyakini kejadian tersebut bagian dari musibah.

Menurut saya, Jujur Prananto mencoba mengkritik sistem hukum di Indonesia melalui cerpen Musibah dengan gaya penceritaan yang terbilang ringan. Hukum di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan di mana keadilan sulit ditemukan, hukum dapat diperjualbelikan, dan acap kali terjadi hukum yang tidak tepat sasaran. Tampak sekali bahwa hukum hanya sebagai alat penguasa.

Isu-isu inilah yang oleh Jujur diangkat ke dalam cerpen Musibah, seperti terlihat dalam dialog Bude Mahargo dan Budiman, sebagai berikut:

“Zaman sekarang lebih dari zaman edan, Bud. Semua orang lagi pada mabuk kepingin jadi pahlawan. Tapi karena sudah telalu lama miskin, yang paling gampang dijadikan musuh ya orang-orang yang punya rezeki lebih, seperti pakdemu.”

Saya melihat dalam dialog tersebut pengarang cerpen mencoba mengkritik penguasa yang acap kali ikut campur dalam masalah yang ramai dibicarakan publik agar masyarakat respek terkait masalah tersebut.

Dalam teori maxim, kelas sosial berperan dalam membangun pemikiran di masyarakat. Cerpen ini pun menunjukan demikian, seperti terlihat pada ucapan bude Mahargo, “Semua orang lagi pada mabuk kepingin jadi pahlawan”.

Kasus yang menimpa pakde Mahargo ramai dibicarakan dan diberitakan media massa. Kutipan dari bude Mahargo itu menunjukkan makna bahwa ada seseorang yang mencoba untuk mengambil keuntungan atas peristiwa pakde Mahargo untuk kepentingan pribadinya. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa.

Melalui cerpennya, Jujur Prananto menyelipkan kritik bahwa para penguasa acap kali ikut campur dalam permasalahan yang ramai dibicarakan publik demi mendapat respek dari masyarakat. Dalam teori maxim disebutkan, kehidupan dapat dikuasai oleh penguasa. Bukti bahwa kelas sosial mempengaruhi kehidupan terletak pada dialog Budiman dan bude Mahargo berikut:

“Insya Allah semuanya akan terkendali, bude. Saya sudah menghubungi Mas Prawoto. Dia yang akan mengatur susunan hakim di pengadilan tingkat pertama.”

“Tetap harus ke pengadilan juga?”

“Demi menghormati prosedur hukum saja, bude. Nggak enak juga kalau sudah terlanjur kelihatan digelandang masuk tahanan, tahu-tahu keluar begitu saja. Kasihan Oom Karsono.”

“Ah! Karsono itu cari muka. Demi ambisinya untuk bisa naik jadi jaksa agung dia tega mengkhianati pakdemu.”

“Sebenarnya tidak seburuk itu, bude. Sebelum malam penjemputan itu, pakde ternyata sudah berkomunikasi dengan Oom Karsono dan bisa memahami posisi om Kar yang sangat sulit dalam menghadapi tekanan publik untuk menyeret pakde ke meja hijau. Jadi, ini soal tarik ulur saja. Cuma… itulah, dari dulu pakde tidak punya channel di kalangan media, jadi pemberitaan atas kasus-kasus pakde sama sekali tidak terkontrol.”

Pada dialog di atas diperlihatkan bagaimana pentingnya kekuasaan dalam kehidupan, bahkan proses hukum pada pakde Mahargo dapat diutak-atik tanpa melakukan penyelidikan lebih jelas. Dalam cerpen ini, hukum di mata penguasa hanyalah sebuah permainan untuk membungkam. Meski pakde Mahargo memiliki kekuasaan dalam keuangan, dia akan tetap kalah oleh penguasa atasannya. 

Relasi kuasa ini juga terlihat dalam penggalan kalimat yang dilontarkan Budiman: “Dari dulu pakde tidak punya channel di kalangan media, jadi pemberitaan atas kasus-kasus pakde sama sekali tidak terkontrol.”

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Gangguan Mental Nomophobia Akibat Penggunaan Smartphone pada Remaja
Jangan Lupakan Persoalan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kabupaten Bandung
Problematika Pemenuhan Hak-hak Sipil Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di Cirendeu

Kritik pada Cerpen

Kekurangan dalam cerpen ini terletak pada akhir cerita yang menggantung. Cerita yang menggantung atau open ending mungkin dapat dijadikan daya tarik dalam sebuah karya, tetapi akhir cerita menggantung yang tidak memiliki kejelasan dapat dikatakan mengurangi nilai estetik dalam sebuah karya. Selain itu, saya juga dibuat bingung dengan beberapa penggalan cerita, awalnya saya meyakini bahwa tokoh pakde tidak bersalah, tetapi di sisi lain saya mempercayai tokoh pakde pun bersalah karena tidak melakukan prosedur hukum dengan bijaksana dan melibatkan relasi kuasa dalam hukumnya.

Selain itu, dari jumlah harta kekayaan yang disebutkan Budiman, saya meyakini pakde Budiman pun bersalah. Oleh karena itu, penambahan cerita sebaiknya dilakukan oleh pengarang sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami cerpen tersebut.

Kekurangan lain dalam cerpen ini juga terletak pada penggalan cerita di mana Budiman menghampiri budenya di rumah sakit. Sebaiknya, pengarang memasukkan narasi ketika Budiman pergi ke rumah sakit sehingga pembaca tidak merasa cerita meloncat-loncat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//