• Kolom
  • MENCATAT BANDUNG: Korupsi di Jantung Smart City

MENCATAT BANDUNG: Korupsi di Jantung Smart City

Peralatan maupun aplikasi canggih yang diterapkan Pemkot Bandung tidak lantas otomatis melahirkan sistem smart city, apalagi menjamin bebas korupsi.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Sejumlah jurnalis berkumpul menunggu keterangan resmi Pemkot Bandung di Balai Kota, Sabtu (15/4/2023), terkait operasi tangkap tangan KPK terhadap Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Jumat (14/4/2023). (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

2 Mei 2023


BandungBergerak.id – Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Jumat (14/4/2023) lalu, menguak borok kota ini yang untuk beberapa lama tersembunyi di balik pulasan citra serba kinclong. Ratusan aplikasi yang dibangga-banggakan terbukti gagal mencegah perilaku koruptif. Sebuah smart city (kota pintar), yang dibangun dengan menghabiskan uang rakyat ratusan miliar rupiah, ternyata tidak smart-smart amat untuk mencegah para pejabatnya bermain culas.

Saya untuk pertama kalinya mendengar istilah yang amat keren itu, smart city, ketika ditugaskan balik ke Bandung setelah 2,5 tahun meliput di Jakarta. Awal tahun 2014. Bandung diselimuti euforia keterpilihan seorang akademisi cum akvitis muda sebagai wali kota baru mereka: Ridwan Kamil. Harapan akan perbaikan membuncah di mana-mana.

Penerapan konsep smart city seolah tepat betul mewadahi harapan besar itu. Sebagai ibu kota provinsi dengan mayoritas penduduk anak muda, ditambah denyut industri kreatif yang sudah melekat di sepanjang sejarahnya, Bandung harus memeluk erat teknologi di setiap bidang.

Caranya? Tentu saja dengan membangun infrastrukturnya! Proyek demi proyek digulirkan. Sambung-menyambung, tak habis-habis. Dari satu wali kota ke wali kota berikutnya.

Dinas-dinas didorong (dipaksa) membuat aplikasi. Entah digunakan atau tidak oleh warga, entah memudahkan orang atau tidak, aplikasi harus dibuat. Bukankah aplikasi itu keren? Apalagi kalau namanya dibuat se-catchy mungkin!

Begitulah awal mula Bandung punya ratusan aplikasi. Per akhir tahun 2021 lalu, jumlahnya mencapai 271 aplikasi. Bayangkanlah! Betapa hebat sebuah pemerintahan bisa punya 271 aplikasi.

Hal serupa terjadi dengan pemberian layanan internet bagi warga. Semakin banyak taman di Bandung harus menyediakan layanan internet gratis. Maka dibuatlah kerja sama dengan perusahaan-perusahaan dengan memanfaatkan dana tanggung jawab sosial korporasi (CSR), tanpa peduli layanan bakal timbul-tenggelam mengikuti durasi perjanjian kerja sama. 

Yang mercusuar tentu harus dibangun karena ia yang akan jadi wajah smart city itu. Wajah Bandung yang yang baru, yang muda, yang modern. Masak iya kalah dengan auditorium sebelah yang membawa nama wali kota sebelumnya?

Maka dibuatlah sebuah pusat operasi ala Star Trek di kompleks Balai Kota. Kepalang tanggung! Namanya jangan kalah keren: Bandung Command Center. Pejabat yang duduk di kursi utama menghadapi deretan layar yang menampilkan sekian banyak gambar dari beberapa titik persimpangan jalan raya yang mewakili kondisi kota. Dari kursi putar itu, ia seolah bisa mengatur segalanya. Dari kursi putar itu, mengelola kota seolah semudah menudingkan telunjuk atau menekan tetikus.

Agar kualitas komando ala Star Trek ini makin bermutu, dibutuhkan pasokan material yang lebih bermutu pula. Jumlah titik yang bisa dipantau pemerintah lewat deretan layar di dinding itu harus terus ditambah. Semakin banyak, semakin baik. Maka pengadaan CCTV adalah kebutuhan tak terhindarkan. Lagi-lagi proyek. Lagi-lagi anggaran digelontorkan.

Belakangan kita semua tahu, rencana proyek pengadaan teranyar inilah yang menyeret Wali Kota Yana Mulyana menjadi pesakitan KPK.

Baca Juga: MENCATAT BANDUNG #1: Setelah Demonstrasi Tak Ada Lagi
VIDEO: Mempertanyakan Anggaran Masjid Al Jabbar
Akhir Perjalanan Tobucil & Klabs di Ruang Luring

Bukan Alat, tapi Sistemnya

Tidak ada salahnya mengembangkan konsep smart city. Di tengah dunia hari ini, yang melaju demikian cepat berkat teknologi informasi, pilihan tersebut adalah sebuah keniscayaan jika sebuah pemerintah kota hendak menjadi relevan bagi warganya. Yang keliru adalah kecenderungan mereduksi arti smart city sekadar sebagai aksi mengganti alat-alat kuno dengan alat-alat yang serba canggih.

Menyelesaikan masalah parkir di Bandung yang demikian rumit karena melibatkan sekian banyak kepentingan, tidak cukup dengan membeli puluhan mesin parkir elektronik yang tidak murah harganya. Teknologinya canggih ya, tapi apalah itu lantas berdampak signifikan? Ternyata tidak. Kita bisa menyaksikan bagaimana mesin-mesin itu mangkrak.

Menuntaskan masalah transportasi di Bandung tidak cukup dengan meresmikan kebijakan pembayaran non-tunai untuk Trans Metro Bandung yang kabarnya disiarkan ke mana-mana. Apakah penggunaan kartu ini menandai kemodernan? Apakah ini kekinian? Tentu, tapi apakah orang akan mau berpindah naik angkutan umum jika bus yang disediakan pemerintah itu datangnya satu jam sekali, dan tidak terhubung dengan angkutan-angkutan lain? Lalu apa gunanya mereka memiliki kartu nan canggih?

Bagi warga Pagarsih dan Gedebage yang kampungnya jadi langganan banjir, apa arti seratus aplikasi jika gagal membantu mendeteksi potensi muka air sungai akan segera naik dan bakal meluap? Bagi warga di kawasan Cicaheum yang pernah mengalami banjir bandang pada Maret 2018 lalu, apa manfaat seratus aplikasi jika gagal membuat mereka lebih waspada ketika hujan demikian lebat sedang mengguyur hulu?

Bagi para pedagang kecil di pasar-pasar tradisional yang jaringan kabel listriknya super semrawut sehingga selalu rentan terhadap bahaya kebakaran, apakah itu smart city? Bagi warga yang tinggal di rumah petak di kampung-kampung padat, dengan lebar gang-gangnya tak sampai satu meter, sudahkah penerapan konsep smart city membuat mereka merasa lebih aman karena tahu apa yang harus diperbuat dalam keadaan darurat?

Bagi para pejabat, sudahkah konsep smart city menjamin kinerja mereka dalam melayani publik semakin bermutu sekaligus semakin transparan? Dari kasus tangkap tangan wali kota, kita punya sedikit bahan untuk menjawab.

Dari kasus itu juga, kita tahu bahwa membeli alat-alat baru tidak sama dengan membangun sistem. Seratus aplikasi tidak serta-merta membuat sebuah kota menjadi smart city. Juga seribu titik internet gratis, atau seratus ribu CCTV. Semua itu hanya bilang bahwa telah (dan akan terus) ada sekian banyak proyek dengan sekian banyak dana.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//