• Kolom
  • MENCATAT BANDUNG #1: Setelah Demonstrasi Tak Ada Lagi

MENCATAT BANDUNG #1: Setelah Demonstrasi Tak Ada Lagi

Demonstrasi tak akan pernah lenyap selama ketidakadilan masih tampak. Yang bisa kita tanyakan adalah kapan tindakan brutal tidak lagi menyertai aksi turun ke jalan.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Demonstrasi dari Aliansi Sipil Untuk Kebebasan Berekspresi di Hotel Pullman, tempat berlangsungnya sosialisasi RKUHP di Bandung, 7 September 2022. Mereka meminta pemerintah untuk merevisi pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP serta ajakan boikot partisipasi formalitas oleh pemerintah soal RKUHP. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 September 2022


BandungBergerak.idKabar yang beredar sepanjang Kamis petang itu membuat cemas. Unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Jalan Diponegoro berujung ricuh. Meriam air ditembakkan, gas air mata di mana-mana. Tidak sedikit mahasiswa menderita luka. Belasan orang digelandang ke kantor polisi.    

Menjelang tengah malam, seorang kawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menyebut ada 11 orang yang ditahan di markas Polrestabes di Jalan Merdeka. Mereka ‘diinapkan’. Pada Jumat siang, jumlahnya dikabarkan menjadi 14 orang, lalu 16 orang. Bukan hanya mahasiswa pendemo, tapi juga paramedis dan mereka yang salah tangkap.

Dalam proses pemberian bantuan hukum, petugas LBH Bandung mengaku dihalang-halangi. Tidak ada akses masuk diberikan. Keselamatan kawan-kawan yang ditahan menjadi kekhawatiran bersama.

Demonstrasi yang berakhir rusuh bukan kali pertama terjadi di Bandung. Pada 2019 lalu, misalnya, dalam unjuk rasa besar menolak Omnibus Law, ratusan orang mahasiswa menderita luka setelah massa aksi dipukul mundur polisi dengan cara serupa.

Polisi tentu punya versi ceritanya sendiri tentang peristiwa yang terjadi pekan lalu. Massa sudah melewati batas. Bahkan memprovokasi petugas. Tindakan tegas harus diambil. Selain belasan orang ditahan, dua nama kemudian dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO).

Namun, bagaimana dengan para mahasiswa pendemo yang mengalami penganiayaan? Sebuah video menampakkan bagaimana seorang mahasiswa dipukuli dan ditendangi oleh beberapa aparat. Bagaimana tindakan brutal seperti ini, yang terus berulang dari satu unjuk rasa ke unjuk rasa lainnya, dijelaskan? 

Bandung tidak akan pernah sepi dari demonstrasi. Ketika ruang rapat disumbat oleh birokrasi, atau oleh yang sekarang lebih raksasa lagi: oligarki, suara-suara kritis menemukan panggung terbesarnya di jalanan. Juga di tempat-tempat terbuka lainnya. Di sanalah rakyat berada.

Lebih dari seabad lalu, tepatnya pada pekan ketiga Juni 1916, kongres Central Sarekat Islam (CSI) pertama digelar di Alun-alun Bandung. Ada konvoi, pidato-pidato, dan juga diskusi terbuka. Beberapa kesepakatan didesakkan ke pemerintah kolonial. Salah satunya terkait izin mendirikan sekolah.

Dengan berseru di jalanan, dengan mengerahkan massa dalam jumlah besar, suara progresif CSI makin kedengaran.  

Ketika pemuda Sukarno memulai kiprah politiknya di Kota Kembang, jalanan dan lapangan lagi-lagi menjadi andalan. Berulang kali ia berorasi membakar semangat massa, tentu saja di bawah pengawasan polisi dan intel kolonial.

Berdiskusi di klub studi ada audiensnya sendiri. Demikian juga berteriak-teriak di bawah terik matahari punya pendengarnya sendiri. Keduanya jalan beriringan.

Demonstrasi di jalanan terus mewarnai Bandung di sepanjang sejarahnya. Anak-anak muda selalu menjadi motornya. Ketika pemerintahan Sukarno tergelincir menjadi kian otoriter, para mahasiswa turun ke jalan. Demkian juga ketika Orde Baru yang menggantikannya membuat kesalahan serupa. Mahasiswa Bandung angkatan 1970-an memilih untuk, dalam istilah Anhar Gonggong, “bersimpang jalan” dengan militer yang sebelumnya diajak bergandengan tangan. Tidak sedikit dari mereka akhirnya ditahan dan diseret ke pengadilan.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Kekerasan pada Gelombang Protes Reformasi Dikorupsi
Bandung Lautan Unjuk Rasa
Represi terhadap Aksi Menolak Kenaikan Harga BBM di Bandung, 16 Mahasiswa Dibebaskan Setelah Semalaman Ditahan Kepolisian

Ketika perjalanan bangsa sampai ke “jurang kekuasaan yang menyiksa rakyat pada umumnya” pada 1998, anak-anak muda kembali tampil ke jalanan. Gelombang unjuk rasa memaksa pemerintahan otoriter runtuh setelah berkuasa selama 32 tahun. Di sepanjang bulan Mei tahun itu, Bandung lagi-lagi tidak sepi dari demonstrasi.

Suara mahasiswa masih perlu kita yakini sebagai suara kritis sebuah bangsa. Apalagi di tengah suasana keruh seperti saat ini. Jika mereka turun ke jalan, berteriak-teriak langsung di hadapan rakyat, tentu ada ketidakberesan sedang melanda negeri ini. Kita wajib mendengarkan. Bukan menumpasnya.

Gerakan mahasiswa dan anak muda tidak akan pernah punah oleh pemerintahan seotoriter apa pun. Sejarah membuktikannya.

Tidak perlu kita bertanya kapan demonstrasi lenyap dari Indonesia. Lenyap dari Bandung. Masih jauh! Negeri ini masih belepotan dengan ketidakadilan. Masih berlumur kejahatan-kejahatan berat. Demonstrasi masih dibutuhkan.

Yang bisa kita tanyakan adalah kapan tindakan-tindakan brutal tidak lagi menyertai aksi demokratis turun ke jalan. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//