Problematika Pemenuhan Hak-hak Sipil Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di Cirendeu
Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat masih belum bisa menyelesaikan masalah hak-hak sipil masyarakat adat.
Ignatius Bintang Bala Surya
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
24 Juni 2023
BandungBergerak.id – Indonesia dijuluki sebagai miniatur dunia karena di dalam kehidupan bernegara khususnya di Indonesia kita hidup berdampingan dengan beragam lapisan masyarakat, berbeda suku, berbeda ras, dan berbeda agama sehingga menciptakan masyarakat yang heterogen dalam aspek sosial budaya. Pancasila sebagai filsafat negara Indonesia dan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia menjadi dasar berperilaku sekaligus modul bermasyarakat di Indonesia. Dengan itu, semua lapisan masyarakat di Indonesia mengetahui kewajiban sebagai warga negara Indonesia dan seharusnya bisa mendapatkan hak yang sesuai pula. Salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia adalah masyarakat adat, masyarakat yang masih memegang nilai dan ajaran leluhur mereka. Dan banyak sekali kelompok Masyarakat adat di Indonesia mulai dari masyarakat adat yang berada di tanah Sumatera hingga di masyarakat adat di Papua.
Di Jawa Barat sendiri yang identik dengan suku Sunda memiliki masyarakat adat yang cukup beragam. Umumnya mereka penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang masih mengikuti keyakinan leluhur mereka yakni ajaran pikukuh Sunda. Banyak sekali kelompok masyarakat adat yang ada di tanah Pasundan antara lain suku Badui atau orang asli Badui lebih senang disebut orang Kanekes, tentu dengan berbagai Kasepuhan di sekitarnya seperti Ciptagelar, Sinarresmi, Ciptamulya, dll. Ada juga masyarakat adat Sunda yang tergabung dalam AKUR atau Adat Karuhun Urang, yang sampai sekarang masih eksis untuk memperjuangkan hak hak mereka sebagai masyarakat adat khususnya dari segi pengakuan masyarakat adat. Masyarakat Sunda Wiwitan yang tergabung dalam AKUR percaya bahwa kita setiap manusia harus tahu dan kenal dengan diri sendiri. Mereka mengenal konsep adanya jatining diri manusa atau jati diri manusia; jatining diri dina raga, rasa, ingsun (jati diri di raga, rasa, jiwa). Nilai bila kehidupan yang masih mereka jaga sampai sekarang adalah konsep Tri Tangtu dalam berkehidupan, Tri tangtu di Nagara, Tri Tangtu di Buana, Tri Tangtu dina Raga.
AKUR yang berpusat di Cigugur Kuningan memiliki kurang lebih 500 ribu umat yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Susuru Ciamis, Garut, Cirendeu Cimahi, Tasik, dll. Bentuk dari desentralisasi dan dekonsentrasi kebijakan yang awalnya terpusat hanya di Cigugur kemudian dibagi ke wilayah-wilayah yang kini di dalamnya terdapat kelompok masyarakat AKUR Sunda Wiwitan sehingga wilayah tersebut memiliki kebijakan otonomi daerahnya sendiri. Sehingga kepala adat atau pupuhu adat memiliki kuasa otonom di distrik atau wilayah administratifnya masing-masing yang tetap berkiblat pada kebijakan sesepuh di pusat (di Cigugur). Hari ini AKUR sudah mengalami tiga kali masa periodisasi kepemimpinan, tokoh pertama yang mencari ajaran tentang pikukuh Sunda dan menciptakan Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur adalah Rama Pancipta atau Pangeran Madrais Alibasa, dilanjutkan oleh Pangeran Tedjabuana, dan sekarang dipimpin oleh Rama Sepuh atau Pangeran Djati Kusumah.
Baca Juga: Perempuan Penjaga Tradisi di Kampung Adat Cireundeu
Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras
Sareundeu Angklung Buncis Cireundeu
Cirendeu salah satu Kampung Hukum Adat Sunda di Cimahi
Salah satu distrik atau wilayah administratif masyarakat adat AKUR Sunda Wiwitan di Cimahi memiliki ciri khas dan keunikannya tersendiri. Distrik ini bernama Kampung Adat Cirendeu.
Cirendeu adalah wilayah kampung adat yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Kampung adat Cirendeu memiliki keunikan dan ciri khas yaitu masyarakat adat di kampung tersebut tidak mengonsumsi nasi dari beras padi melainkan nasi singkong atau rasi. Kebiasaan mengonsumsi beras singkong ini sudah sejak turun-temurun hadir di Cirendeu.
Jika di lihat dari segi sejarah, dulu Cirendeu adalah wilayah pertanian padi. Di mana dulu ketika zaman kolonial masyarakat di sekitar Cirendeu dipaksa untuk bekerja dan menanam padi untuk makanan Belanda sehari hari dan setelah itu di bakar untuk dijadikan opium. Saat itu sesepuh Cirendeu dahulu, Mamah Haji Ali mencoba berbagai terobosan untuk tetap bertahan dan merebut daulat pangan. Berbagai tanaman di uji coba untuk di tanam di tanah Cirendeu seperti ubi, jagung, singkong, dan bahan karbohidrat lainnya. Ia akhirnya menemukan satu jenis tanaman yang cocok untuk dijadikan makanan pokok sehari hari yaitu singkong yang di ubah menjadi rasi atau beras singkong.
Dahulu sesepuh di Cirendeu mempunyai konsep bahwa bagaimana caranya kita berjuang dan melawan kolonialisme kalau yang dijajah adalah perut rakyat sendiri? Jangankan untuk berjuang dan melawan penjajah, untuk bangun dan berdiri saja rasanya lemas jika belum makan. Maka muncul sawangan dari sesepuh Cirendeu yang berbunyi “ keun wae teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu bisa nyangu asal bisa dahar, teu dahar asal kuat”, yang kurang lebih artinya “tidak apa apa jika tidak punya sawah asal punya padi, tidak ada padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa menanak nasi, tidak bisa menanak nasi asal bisa makan, tidak makan asal kuat”.
Sawangan tersebutlah yang membuat kampung adat Cirendeu menjadi kampung yang memiliki kekuatan bukan hanya dari sosial budayanya tapi juga dari kedaulatan pangannya. Kehidupan bermasyarakat di Cirendeu memiliki suasana gotong-royong yang masih kental. Di mana para warganya masih sering untuk berkumpul bermusyawarah dan gotong royong.
Permasalahan Hukum di Cirendeu
Sebagai Masyarakat Indonesia yang mempunyai kewajiban dan haknya masing-masing. Warga Negara Indonesia dijamin hak hak hidupnya oleh pemerintah. Namun sebagai masyarakat adat, masyarakat di kampung adat Cirendeu merasa hak hak sipil mereka belum terpenuhi secara optimal, khususnya di Kota Cimahi. Hal seperti ini sebetulnya hampir bisa dirasakan oleh semua masyarakat adat di seluruh penjuru Indonesia.
Namun jika lebih spesifik membahas komunitas AKUR Sunda Wiwitan di Cirendeu, mereka merasa hak mereka sebagai warga negara yang telah memenuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia masih belum terpenuhi secara optimal. Contohnya pada pelayanan dasar pemerintah dalam administrasi kependudukan. Masih banyak masyarakat yang akhirnya kesulitan mengakses pembuatan berkas-berkas administrasi kependudukan seperti di KTP, Buku Nikah, Kartu Keluarga, Ijazah, dll.
Beberapa Peraturan dan Regulasi yang mengatur tentang perlindungan masyarakat adat masih sangat minim dan sedikit jumlahnya. Satu-satunya peraturan yang eksplisit menyebut dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat adalah Pasal 18 B UUD 1945. Selain itu sebetulnya belum ada peraturan lain yang mengatur tentang perlindungan masyarakat hukum adat secara jelas. Jadi mungkin bisa dibilang bahwa pengakuan masyarakat adat secara yuridis hanya baru sampai pada Konstitusi karena belum ada undang-undang atau peraturan pelaksana yang mengatur tentang hal itu.
Beberapa Regulasi turun dari Putusan atau Peraturan Lembaga Negara seperti putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang “Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat” yang diperjelas dengan Surat Edaran Menteri Kehutanan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang “Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”. Dalam hal pemenuhan hak administrasi penduduk seperti pendataan kolom agama di KTP sebetulnya pemerintah telah melakukan solusi dengan cara mengganti kolom agama dengan kolom kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Namun hal tersebut masih menjadi problematika dan perdebatan di kalangan komunitas masyarakat AKUR Sunda Wiwitan. Mereka menganggap diksi kepercayaan dan diksi agama seharusnya tidak perlu dibedakan menjadi agama dan kepercayaan. Mungkin jika boleh sedikit berasumsi agama yang ditulis di kolom KTP identik dengan 6 agama yang diakui oleh negara secara legal formilnya, tetapi diksi kepercayaan cenderung identik dengan kepercayaan lokal masyarakat tertentu, entah apapun adat istiadat dan latar belakang ajarannya.
Selayang Pandang Problematika Hukum di Cirendeu
Problematika tersebut berimbas kepada masyarakat AKUR yang akhirnya masih memilih menggunakan kolom agama, tetapi di isi kosong atau hanya strip. Walaupun sudah ada juga beberapa dari mereka yang menggunakan kolom kepercayaan yang dicantumkan di KTP dengan harapan bisa mempermudah hal-hal kependudukan khususnya dalam hal administrasi.
Namun demikian masih banyak terdapat kasus masyarakat adat yang kesulitan mengurus surat surat kependudukan mereka yang berakibat pada berkas kependudukan yang lain. Seperti contohnya pada Akta Pernikahan. Contoh dalam kasus pernikahan adalah karena ketidaktercatatannya agama pada kolom agama yang akhirnya membuat pernikahan seolah olah tidak sah karena belum bisa dicatatkan oleh dinas terkait; sehingga pernikahan hanya sah secara adat tapi belum dicatatkan di Kemendagri.
Masalah semacam ini juga kadang terdapat disinformasi di pihak Disdukcapil. Banyak yang menganggap bahwa pernikahan belum sah ketika belum tercatat, sedangkan pernikahan yang dilangsungkan secara agama atau secara adat sudah sah pula seacara adat dan secara agama tersebut. Yang akhirnya menimbulkan efek domino kepada Akta Kelahiran anak dari hasil perkawinan mereka. Akta Kelahiran anak dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut hanya tertulis “anak dari seorang ibu” dan tidak tercantumkan nama bapak karena perkawinan mereka dianggap tidak sah karena belum dicatatkan.
Hal lain terdapat contoh kasus di mana masyarakat adat yang menjadi guru di Sekolah Negeri dan pada waktu pengangkatan janji PNS harus disumpah dan berdoa menurut tata cara agama lain, atau bahkan terkadang diikutkan ke dalam agama terbanyak dalam wilayah tersebut. Untuk mencegah dan mengatur hal-hal semacam itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 52 Tahun 2014 mengatur tata cara dan pedoman pengakuan masyarakat adat di suatu daerah. Dijelaskan di sana bagaimana suatu masyarakat adat yang tinggal dalam suatu daerah memperoleh hak pengakuannya sebagai masyarakat adat.
Namun hal yang selanjutnya Cirendeu tidak dapat sebebas itu untuk dapat langsung menempuh cara ini, karena Cirendeu adalah wilayah distrik yang masih berada di bawah naungan komunitas AKUR Sunda Wiwitan yang berpatron dan patuh terhadap keputusan-keputusan di Kasepuhan Cigugur Kuningan. Sehingga segala hal yang terjadi di Wilayah Cirendeu yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup masyarakat adat haruslah tetap dengan sepengetahuan sesepuh di Cigugur. Masalah ini yang terjadi selama berangsur-angsur sehingga sangat alot untuk mendapatkan jalan keluar. Mungkin dengan membangun komunikasi yang baik dengan kasepuhan di Cigugur Kuningan dengan berani untuk menjadi salah satu wilayah distrik yang pertama dapat melakukan pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kota Cimahi. Dengan seperti itu Kampung Adat Cirendeu dapat menjadi contoh dari distrik AKUR yang tersebar di Jawa Barat yang dapat mandiri dan berdaulat dalam melindungi masyarakat adatnya lewat Pedoman Perlindungan Masyarakat Adat yang ada di lingkup kotanya masing-masing.