Sareundeu Angklung Buncis Cireundeu
Angklung buncis berbeda dengan angklung biasa. Pertunjukan angklung buncis kerap disajikan Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
22 Januari 2022
BandungBergerak.id - Melanjutkan tulisan ulasan saya sebelumnya mengenai kesenian-kesenian yang ditampilkan di acara Festival Pekan Kebudyaan Daerah Jawa Barat tahun 2021. Kali ini kesenian yang akan saya ulas adalah angklung buncis dari Kampung Adat Cireundeu. Dua tahun lalu saya berkunjung ke kampung adat Cireundeu, tepatnya di Kota Cimahi, tak terlalu jauh dari rumah. Sebelumnya saya belum pernah ke sana. Karena kebutuhan tulisan maka saya ke sana dan bertemu salah satu sesepuh Kampung Adat Cireundeu. Kala itu saya fokus menilik dampak pariwisata terhadap kebudayaan lokal di sana. Banyak sekali hal yang menarik di Cireundeu, mulai dari arsitektur kampung, pangan, dan tentu saja kesenian. Letak kampung adat yang sangat berdekatan dengan kota, tak membuat kampung ini cepat untuk meninggalkan kebudayaannya. Malah, mereka dapat beradaptasi dengan hal tersebut.
Salah satu kesenian yang ada di sana adalah angklung buncis. Di Jawa Barat angklung merupakan salah satu alat musik kuno yang sudah ada dan digunakan pada masa kerajaan Sunda terdahulu. Herdini menuliskan adanya tulisan kata angklung yang tertera pada naskah-naskah kuno, di antaranya Carita Parahiangan (1527), Sewaka Darma (sekitar akhir abad ke-17), Bujangga Manik (akhir tahun 1400-an), dan Siksa Kanda(ng) Karesian(1518). Tidak hanya di Cireundeu saja kita dapat menemukan angklung buncis. Daerah lain di Jawa Barat ada pula kesenian angklung buncis. Tentu dengan garap karya yang berbeda, seperti halnya angklung buncis dogdog lojor di Ciptagelar, Sukabumi. Konon, menurut riwayat yang turun temurun, penamaan kesenian buncis dikaitkan dengan salah satu lirik lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu “cis kacang buncis nyengcle ... “.
Alat musik yang terbuat dari bambu ini, berbeda dengan angklung yang biasa kita kenal dan lihat di sekolah. Perbedaan tersebut terletak pada sistem nada yang digunakannya. Angklung yang biasa kita lihat dan pelajari di sekolah adalah angklung diatonis, bernada doremi. Sedangkan angklung buncis (buhun) memiliki sistem nada tersendiri. Biasanya menggunakan sistem nada pentatonis yang khas, tepatnya laras salendro, namun terkadang berbeda pula dengan laras salendro.
Kesenian angklung buncis di Cireundeu biasa disajikan ketika upacara syukuran panen. Namun, sejalannya dengan waktu fungsi kesenian ini semakin luas. Tidak hanya untuk upacara syukur panen saja, saat ini digunakan untuk penyambutan tamu atau acara kebudayaan lain di dalam maupun di luar Cireundeu. Di lihat dari fisiknya, aklung buncis memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan angklung diatonis. Warna bunyi yang dihasilkanpun lebih khas dan bernada lebih rendah.
Sajian pertunjukan angklung buncis Kampung Adat Cireundeu tak seperti pertunjukan dalam panggung prosenium. Para pemain memainkan angklung buncis sambil beraktivitas, seperti berjalan, duduk, dan terlentang; tentunya dengan formasi yang telah disusun. Bebunyian angklung buncis diiringi oleh insrumen perkusif berupa dogdog yang berfungsi pengatur cepat lambat serta jalannya karya musik. Layaknya fungsi kendang dalam ansambel gamelan.
Baca Juga: Genjring Akrobat, antara Seni dan Kekuatan Super Seorang Ibu
Menatap Pertunjukan Wayang Golek Virtual
Jurnal Bunyi (1): Sastra dan Nada dalam Tembang Sunda Cianjuran
Dalam sajian video pertunjukan angklung buncis yang saya saksikan, para pemain masuk ke lapangan dan membentuk formasi yang dikomandoi oleh bunyi dogdog. Serentak sambil berlarian masuk, para pemain membunyikan angklung buncis yang dipegang. Setelah semua pemain dalam posisinya, terdengar pangkat (intro) berupa melodi dari angklung buncis pertanda pertunjukan dimulai. Secara auditif pola melodi yang dimainkan angklung buncis dari awal hingga akhir terus begitu, membentuk satu siklus yang terus berputar. Namun, ada kesan meditatif yang jika kita dengarkan tidak membuat bosan. Diselingi sesekali oleh senggak (teriakan) dari para pemusik dan tarian eksploratif dari anak kecil yang menambah sajian pertunjukan ini menjadi semakin ramai serta menarik. Ritme dan melodi yang disajikan terdengar sederhana, namun pertunjukan ini sangat ekspresif.
Pemain angklung buncis didominasi oleh anak-anak dan remaja. Sebagai pengatur alur gending angklung buncis, dogdog ditabuh oleh orang dewasa. Ekspresi yang terpancar dari para pemain sungguh riang dan menikmati. Keluguan anak-anak menambah kesan senang, gembira, dan lincah. Penabuh begitu antusias dalam membunyikan setiap instrumen musik. Pertunjukan diakhiri dengan kode bunyi dari suara tabuhan dogdog.
Pada masa pagebluk, angklung buncis tidak disajikan seperti biasa; ramai dan banyak ditonton oleh warga luar kampung adat Cireundeu. Aturan protokol kesehatan yang ada membuat kesenian ini hanya disaksikan oleh lingkup kampung adat saja dan hanya berupa sajian simbolik. Pesta panen yang dilaksanakan hanya menyerahkan hasil panen kepada para sesepuh adat. Namun, keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat para pemusik untuk pentas dan berkreativitas. Kegiatan pelatihan kesenian angklung buncis masih rutin digelar.
Kang Jajat sebagai pangjeujeur angklung buncis berharap para anak muda dapat terus melestarikan kesenian tradisi, dalam hal ini angklung buncis. Dengan dinobatkannya angklung sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB) bisa menjadi semangat para pemuda untuk terus mencintai dan mau belajar kesenian tradisi. Di akhir video Kang Jajat mengajak para anak muda untuk antusias belajar angklung buncis di Cireundeu.
Kepemilikan seni tradisi yang bervariasi ini mengapa sangat sulit untuk disebar dan diminati para masyarakat umum. Dalam pikir muncul beberapa pertanyaan. Apakah seluruh kesenian tradisi sudah dipastikan akan sedikit peminat yang menyukainya? Apakah kesenian tradisi sudah mengetahui ajalnya masing-masing? Akankah mereka akan hilang pada waktu dan takdirnya? Apakah kesenian tradisi hanya akan berakhir pada tulisan laporan para akademisi saja? Pertanyaan ini untuk kita renungkan bersama.