• Narasi
  • JURNAL BUNYI #2: Ruang Suara Vitamin Telinga  

JURNAL BUNYI #2: Ruang Suara Vitamin Telinga  

Musik tak hanya didengar, kadang harus dilihat, terkadang harus memejamkan mata untuk merasa, terkadang harus menahan selera 'enak'.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Poster Pertunjukan Ruang Suara. (deutschesaison.com)

22 Oktober 2021


BandungBergerak.idWaktu itu saya masih menjalani kuliah di jurusan pendidikan musik di UPI Bandung. Pemahaman musik seorang mahasiswa semester lima bisa dikatakan tanggung. Belum memahami secara utuh satu bagian mata kuliah tetapi di waktu yang sama harus memahami mata kuliah lain. Ditambah lagi mata kuliah praktik yang membutuhkan waktu khusus untuk melatih keterampilan tangan dalam memainkan alat musik. Pada saat itu saya merasa lelah sekaligus menikmati.

Salah satu mata kuliah yang saya senangi dan antusias adalah komposisi. Menurut saya, mata kuliah ini memberikan ruang kreativitas seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk menciptakan atau lebih tepatnya menyusun sebuah karya musik baru. Pada awalnya saya pun merasa heran dan bingung mengikuti mata kuliah ini. Pertunjukan musik yang disajikan dan diperdengarkan oleh Pak Oya dan Pak Iwan, dosen komposisi musik saya, terasa asing di telinga. Tak hanya telinga, bahkan otak pun terasa seperti benang kusut. Sulit sekali untuk bisa menikmati musik-musik 'baru'. Namun, saya ingin sekali bisa menikmatinya.

Salah satu tugas akhir mata kuliah komposisi adalah masing-masing mahasiswa harus membuat satu karya musik 'baru'. Saya bingung harus menyusun musik seperti apa. Saat itu saya mempelajari fokus alat musik kacapi. Kacapi yang saya pelajari adalah kacapi siter gaya petikan wanda anyar atau kawih Mang Kokoan. Bermodalkan pengetahuan dan keterampilan memainkan kacapi, saya susun musik 'baru' versi saya saat itu.

Tugas yang diberikan tidak hanya berupa membuat karya saja. Untuk menunjang literasi dan pemikiran, kami seangkatan melakukan kegiatan apresiasi. Yang sangat berkesan bagi saya ketika menyaksikan pergelaran musik di Selasar Sunaryo Art Space pada tanggal 9 Desember 2015. Pertunjukan musik tersebut disajikan oleh Ensembel Modern dari Belanda. Acara tersebut berjudul Ruang Suara.

Sejak didirikan pada tahun 1980, Ensemble Modern (EM) telah menjadi salah satu ansambel Musik Baru terkemuka. Saat ini menyatukan sekitar 20 solois dari Belgia, Bulgaria, Jerman, Yunani, India, Israel, Jepang, Amerika Serikat dan Swiss, menggambarkan latar belakang budaya yang beragam dari ansambel. Bertempat tinggal di Frankfurt am Main, ansambel ini dikenal dengan organisasi demokratis dan metode kerjanya yang unik. Proyek artistik, kemitraan, dan masalah keuangan diputuskan dan dilaksanakan bersama. Programnya yang unik dan khas meliputi karya teater musikal, proyek tari dan video, musik kamar, ensemble, dan konser orkestra.

Pada pertunjukan Ruang Suara Ensembel Modern memainkan karya musik 'baru' (kontemporer) para komposer muda Indonesia yaitu Ris Bansos, M. Arham Aryadi, Joko Winarko, Taufik A. Adam, Gema Swaratyagita, I Dewa Ketut Alit, Stevie Jonathan Sutanto, dan Gatot Danar Sulistyanto. Saya duduk di sebelah kiri pendopo di Bale Handap. Pikir saya acara akan dibuka oleh pembawa acara layaknya pementasan musik seperti biasa. Ternyata secara tidak disangka bunyi pertama pun terdengar. Pertanda acara telah dimulai. Banyak orang yang terkejut juga ketika acara tiba-tiba dimulai. Suasana mendadak hening dan semua berfokus ke sumber bunyi itu berasal.

Pemain musik melakukan eksplorasi pada setiap instrumen musiknya sesuai instruksi komposer yang ditulis dalam notasi musik. Eksplorasi yang dilakukan di antaranya saxophone yang ditiup sambil dimasukan ke dalam ember yang berisi air, alat gesek string yang diayunkan dengan cepat, para pemain memainkan instrumen musik sambil berjalan berkeliling pendopo, dan masih banyak lagi aksi para pemain yang jarang sekali kita lihat pada pertunjukan musik pada umumnya.

Baca Juga: Jurnal Bunyi (1): Sastra dan Nada dalam Tembang Sunda Cianjuran
Seputar Mang Koko dan Karyanya (1)
Seputar Mang Koko dan Karyanya (2): Letusan Dahsyat 1982 dalam Syair Guntur Galunggung
Seputar Mang Koko dan Karyanya (3): Sosok Seniman yang Mendidik
Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata

Mendengarkan musik seperti menikmati semangkuk baso di samping tempat pembuangan akhir. Saat akan menikmatinya, muncul rasa enek, mual, tak nafsu makan; belum terbiasa dengan kondisi saat itu. Konser terlaksana selama tiga jam. Bayangkan telinga yang belum terbiasa ini mendengarkan musik yang begitu. Tak jarang saya melihat ekspresi penonton yang bervariasi. Ada yang mengerenyitkan kening, menutup mata, menguap, dan tak nyaman duduk. Musik seperti ini saya ibaratkan dengan lukisan abstrak. Apa yang terpikirkan ketika melihat lukisan abstrak? Ya, tentu saja tidak jelas bentuk, warna, dan maksudnya. Perlu pengetahuan yang cukup untuk menyelami maksud karya seperti itu.

Bagi saya Ruang Suara ini menjadi vitamin telinga yang merubah pandangan saya mengenai musik. Musik tak hanya didengar, kadang harus dilihat, terkadang harus memejamkan mata untuk merasa, terkadang harus menahan selera 'enak' yang sudah lama bersemayam di dalam pikiran. Setiap judul komposisi musik yang dibawakan Ensembel Modern menjadi satu kesatuan yang berbeda. Setiap karya musik memiliki identitasnya masing-masing. Pertunjukan setiap karyanya berjalan tanpa jeda.

Apresiasi karya seperti ini penting. Cara pandang kita terhadap suatu karya seni kadang masih banyak melibatkan selera di dalamnya. Lebih memilih yang disukai dan menghindari apa yang tidak suka. Teringat Pak Pande, dosen komposisi saya dari Surakarta mengatakan:

"Kadang, cobalah kamu makan dalam posisi terbalik. Campur makananmu dengan yang tak biasa kamu makan dengan itu. Selalu sediakan gelas kosong dalam menanggapi sesuatu."

Pernyataan yang ia ungkapkan tersebut berhubungan dengan rutinitas berkarya dan menikmati karya seni yang biasa kita lakukan. Jangan terpaku dengan yang sudah biasa. Coba sesuatu yang baru. Merasakan, mendengar, melihat, dan berpikir hal-hal yang belum dicoba. Tak lupa gelas (pikiran) kosong harus kita sediakan. Ketika melihat sebuah pertunjukan atau karya seni, kesampingkan dulu ego pengetahuan dan selera, karena itu akan membuat pikiran kita selalu membandingkan dengan apa yang kita tahu dan suka. Pesan Pak Pande tersebut selalu terngiang di dalam telinga saya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//