Seni Karawitan Sunda, dari Zaman Belanda ke Kampus ISBI Bandung
Kebijakan kolonial Belanda mengakibatkan rakyat cukup menderita. Penderitaan rakyat ini salah satunya diekspresikan melalui kegiatan seni karawitan.
Penulis Iman Herdiana7 Januari 2022
BandungBergerak.id - Sebuah seni tradisi harus mampu berdiri di atas ruang dan waktu. Artinya, unsur adaptasi sangat diperlukan. Begitu juga dengan seni tradisi karawitan yang kini mulai terdesak oleh kemajuan zaman. Tanpa adanya adaptasi, jangan harap seni karawitan bisa bertahan.
“Sifat seni pertunjukan bergantung pada ruang dan waktu. Itu artinya seni pertunjukan harus bersifat adaptif (bisa menyesuaikan ruangnya dan waktunya),” terang dosen Karawitan Insitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Riky Oktriyadi, pada acara Bimbingan Seni Budaya: Seni Karawitan di Hotel Accram, Bogor, Jawa Barat, mengutip laman resmi ISBI Bandung, Jumat (7/1/2021).
Riky mengatakan, mempertahankan seni tradisi diperlukan upaya-upaya dari pelaku seni, seperti pilihan mempertahankan nilai tradisinya atau mengembangkan ketradisiannya.
Pada kesempatan yang sama, Ade Suarsa, selaku narasumber dari Sanggar EDAS menjelaskan, sebuah pertunjukan dinilai berhasil jika prosesnya eksploratif dan mampu menerima dengan masukan dari luar. Ia juga mengatakan bahwa dalam sebuah pertunjukan, ada musik yang dibuat setelah atau sebelum gerakan tari dibuat, dan ada pula musik yang dibuat bersamaan dengan gerakan tari.
“(Musik) apa pun bisa menjadi iringan dalam garapan tari,” kata Ade.
Kegiatan tersebut merupakan rangkaian dari Bimbingan Seni Budaya Bidang Seni Tari Angkatan II pada 23-25 Juni 2021. Berikutnya, acara hasil kerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor itu kembali menggelar kegiatan Bimbingan Seni Budaya dengan memilih Seni Karawitan sebagai topik utamanya, 22-23 November 2021.
Bimbingan kali ini diikuti oleh 20 peserta dari 9 sanggar seni di antaranya sanggar Sapujagat Ciawi, Komara Sunda Cibinong, Putra Binekas Ciawi, Rancage, Griya Seni Baraya Cileungsi, Sunda Kancana Ciomas, Boash Art Rancabungur, Kasmaran Tamansari, dan Putra Gentra Pasundan Jasinga.
Selain mendapatkan materi dari narasumber, peserta diberi kesempatan untuk menampilkan seni karawitan. Judul karya yang ditampilkan salah satunya adalah “Nyi Iteung”. Konsep garap pada karya tari ini berbentuk tarian lepas yang mana tidak berpatokan pada tari bentuk. Walaupun pada dasarnya gerak-gerak yang dibawakan diambil dari gerak-gerak tari rakyat.
Pada pertunjukan, iringan musik secara keseluruhan diiringi oleh gamelan yang disesuaikan dengan kebutuhan gerak tari. Berikut ini petikan lirik “Nyi Iteung”:
Lembur singkur sisi Gunung
Pasir lamping nu lung kawing
Hejo ngamploh pasawahan
Angin nebak ngahiliwir
Manuk recet patembalan jeung baturna
Maturan Nyi Iteung nu leleub pikir
Kegiatan bimbingan seni budaya mendapat apresiasi dari peserta, salah satunya Firman Hidayat, dari Sanggar Boashart Rancabungur yang juga merupakan alumnus ISBI Bandung.
“Kegiatan ini sangat luar biasa. Kami di sini berbagi ilmu dan pengalaman bagaimana caranya kita dapat mengembangkan dan melestarikan kesenian di Indonesia. Acara ini harus sering dilakukan dan dikembangkan lagi agar anak-anak generasi milenial dapat mengembangkan seni budayanya di kancah nasional maupun internasional,” katanya.
Sebelumnya, acara dibuka Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, Deni Humaedi, yang mengatakan bahwa saat ini kesenian tradisional banyak ditinggalkan. Oleh karena itu, salah satu cara untuk memajukan kebudayaan tersebut adalah dengan sering menggelar kegiatan seni dan budaya pada tempat-tempat yang sering dikunjungi orang, seperti destinasi wisata.
“Hal tersebut dapat direalisasikan jika terdapat perbaikan secara sarana dan prasarana oleh setiap destinasi wisata yang ada di Kabupaten/Kota,” katanya.
Karawitan Sunda di Zaman Kolonial
Karawitan merupakan seni tradisi yang sudah hidup di tanah air setidaknya sejak zaman kolonial. Heri Herdini, dalam makalah ilmiah “Estetika Karawitan Tradisi Sunda Heri Herdini Jurusan Karawitan” mengatakan, kehidupan karawitan Sunda zaman dulu pada umumnya terkait dengan kegiatan upacara ataupun hiburan kalangenan (individu atau kelompok). Kebijakan politik kolonial Belanda yang cenderung menguras tenaga rakyat (melalui tanam paksa) telah mengakibatkan rakyat cukup menderita. Penderitaan rakyat ini salah satunya diekspresikan melalui kegiatan kesenian, hanya sekedar untuk menghibur diri.
Jenis kesenian yang mereka tampilkan pada umumnya adalah kesenian yang tidak membutuhkan instrumen cukup banyak, seperti beluk, calung, kacapian, taleot (dari tanah liat), karinding, dan suling kumbang . Alat-alat musik ini digunakan oleh rakyat pribumi untuk mengisi waktu senggang setelah selesai bekerja, baik di sawah maupun di perkebunan.
“Hiburan kalangenan secara individu pada saat itu sudah biasa dilakukan, dan para pelakunya pun adalah rakyat biasa yang tidak dikategorikan sebagai seniman profesional. Maka tidak heran apabila pada zaman itu muncul kebiasaan masyarakat untuk memainkan suling (seruling) keti- ka mereka sedang menggembala kerbau, atau melantunkan beluk sambil ngawuluku (menggarap tanah persawahan) sebelum tanah tersebut ditanami benih padi,” tulis Heri Herdini.
Sarjana STSI Bandung (kini ISBI Bandung) tersebtu menjelaskan, kesenian (karawitan) dalam konteks ini tidak terpisah dari kebiasaan hidup masyarakatnya. Pada waktu itu, tidak terjadi pemisahan antara ‘pelaku seni’ dan ‘penonton’, bahkan tanpa kehadiran penonton pun tak menjadi masalah.
Menurutnya, di samping sebagai hiburan kalangenan, karawitan Sunda juga biasa digunakan dalam konteks upacara, baik upacara ritual maupun upacara adat tradisi. Kepercayaan masyarakat Sunda terhadap hal-hal mitis dan magis cukup kuat sehingga kegiatan upacara dan adat tradisi tumbuh subur sebagai bagian dari kehidupan dan tradisi mereka.
Keterlibatan masyarakat untuk sama-sama larut dalam hidup berkesenian seolah-olah menjadi ‘keharusan’ karena pada saat itu tidak ada batas yang tegas antara ‘penyaji’ dan ‘penonton’ apalagi bila kesenian itu disajikan dalam konteks upacara ritual dan hiburan kalangenan. Sistem penyajiannya pun berlangsung apa adanya tanpa didukung oleh gedung atau panggung pertunjukan, peralatan sound system, dekorasi artistik, dan busana pertunjukan.
Dalam konteks ini, penyajian karawitan Sunda senantiasa hadir menyertai kegiatan itu, di antaranya tutunggulan, angklung, pantun, tarawangsa, macapat atau wawacan, dan gembyung. Dalam konteks upacara ritual, kehadiran kesenian dianggap dapat mengundang ruh leluhur sehingga keberadaannya tetap dipertahankan.
Oleh karena tujuan dari kegiatan upacara ritual ini untuk memperoleh berkah, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakatnya, setiap berlangsungnya kegiatan upacara (upacara panen padi misalnya) masyarakat senantiasa ikut terlibat menyukseskan kegiatan tersebut.
“Mengapa peristiwa kesenian pada saat itu berlangsung sederhana dan lebih banyak digunakan dalam konteks upacara ritual dan hiburan kalangenan? Tentu saja hal ini ada kaitannya dengan situasi sosial dan ekonomi pada zaman itu,” katanya.
Pada zaman dulu, lanjut Heri Herdini, kehidupan ekonomi masyarakat pribumi masih bertumpu pada hasil pertanian dan perkebunan (akibat kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda). Diferensiasi jenis pekerjaan berdasarkan “keahlian tertentu” pada saat itu belum membudaya. Oleh karena mata pencaharian pokok masyarakat pribumi mengandalkan dari hasil pertanian dan perkebunan, “kesuburan tanaman” menjadi sebuah “kepentingan bersama” yang perlu dijaga dan dipelihara.
Sistem kepercayaan masyarakat terhadap “kekuatan gaib” pun pada saat itu tumbuh kuat mendasari pikiran mereka. Oleh karenanya, tidak heran apabila pada zaman itu muncul “tradisi upacara ritual” (terkait dengan ha- sil pertanian) yang tujuannya untuk mempertahankan kesejahteraan hidup mereka. Dengan diadakannya upacara ritual (hasil pertanian), maka masyarakat percaya bahwa hasil pertanian mereka akan tumbuh subur yang tentu saja akan berdampak pada kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakatnya.
Baca Juga: Jurnal Bunyi (1): Sastra dan Nada dalam Tembang Sunda Cianjuran
Jurnal Bunyi (2): Ruang Suara Vitamin Telinga
Jurnal Bunyi (3): Kabeungharan Karawitan Sunda
Karawitan dalam Ritual dan Hajatan
Di samping untuk kebutuhan hiburan kalangenan dan upacara ritual, karawitan tradisi digunakan pula dalam konteks hiburan adat tradisi, seperti adat perkawinan atau sunatan. Para menak zaman dulu sering menyajikan hiburan kesenian ketika mereka hendak mengadakan hajat perkawinan atau sunatan.
Nina Herlina Lubis, kata Heri Herdini, menyampaikan bagaimana perilaku menak ketika akan mengadakan syukuran khitanan cucunya sebagai berikut. Ketika Raden Tanuwangsa (Wiratanu- baya), Bupati Sukapura (1835-1854), akan mengkhitankan cucunya, tindakan pertama yang dilakukannya yaitu memberitahukan para cutak (wedana) tentang rencananya itu.
Bupati kemudian menyuruh dua orang Jawa mengantar surat kepada sultan Kasepuhan dan Bupati Cirebon yang isinya menyatakan bahwa bupati Sukapura bermaksud meminjam taledek (ronggeng) untuk memeriahkan pesta khitanan cucunya. Bupati Sukapura juga mengirim surat kepada Bupati Ciamis untuk meminjam orang-orang yang ahli dalam permainan atau kesenian (Lubis, 1998: 201).
Pada malam harinya diadakan pesta yang meriah. Berbagai permainan dan kesenian digelar di alun-alun. Tamu-tamu Bupati Sukapura dan Garut, baik yang berasal dari kalangan menak maupun pejabat Belanda setempat hadir dalam pesta. Mereka ikut menikmati Tayuban (semacam tari pergaulan), menari dengan ronggeng pilihan dari Cirebon yang bernama Nyi Rara Pucuk, Nyi Dewi Melok, dan Nyi Bokar (Lubis, 1998: 202-203).
Keterangan di atas membuktikan bahwa karawitan tradisi pada saat itu digunakan pula dalam konteks adat tradisi perkawinan atau khitanan. Hiburan kesenian sebagaimana digambarkan melalui kutipan di atas tidak ada kaitannya dengan kepercayaan “terhadap kekuatan gaib” seperti ketika kesenian digunakan dalam konteks upacara ritual, upacara panen padi, misalnya. Hiburan kesenian dalam konteks adat tradisi ini semata-mata hanya untuk menunjukkan prestise yang ditandai oleh berbagai kemegahan.
“Fenomena ini sekaligus dapat memperlihatkan bahwa perbedaan status sosial antara rakyat biasa dan kalangan menak bisa juga ditunjukkan melalui kesenian,” kata Heri Herdini.
Jenis-jenis kesenian yang menjadi salah satu hiburan para menak di antaranya adalah gamelan, wayang golek, tayuban, tembang sunda cianjuran, dan degung. Heri Herdini kembali mengutip Nina Herlina Lubis (1998) yang menyatakan kaum menak luhur selain melakukan aktivitas di dunia sastra, juga menikmati kesenian lainnya untuk mengisi waktu senggang mereka, bukan hanya sekedar untuk rekreasi.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa seni yang berorientasi kepada seni ista- na mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan politik aristokrasi. Dengan menja- di pengayom kesenian, kaum aristokrasi dapat menonjolkan status mereka dengan gaya hidup yang penuh dengan pertunjukan kemegahan. Oleh karenanya, tidak heran apabila para bupati sering menyelenggarakan kegiatan kesenian (Lubis, 1998:243).
“Pernyataan ini mengandung makna bahwa kesenian dapat menjadi simbol status bagi seseorang untuk bisa dikatakan apakah ia termasuk golongan menak atau rakyat biasa. Kenyataannya memang demikian, dulu tembang sunda cianjuran digolongkan sebagai kesenian menak, dan rakyat biasa tidak boleh me- nyaksikan pertunjukan kesenian tersebut,” paparnya.
Heri Herdini juga mencatat bahwa pemisahan jenis-jenis kesenian atas dasar perbedaan status sosial ini dapat dimaklumi karena pada masa pemerintahan langsung secara alami tanpa ada keterkaitannya dengan ekonomi. Dalam arti, kesenian belum menjadi sebuah komoditas yang dapat dijual.
“Sebelum memasuki abad ke-20, kesenian (termasuk karawitan) dipandang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan ‘rohani’ dan ‘prestise’ bagi orang-orang yang berkepentingan. Dengan demikian, kalau dilihat berdasarkan fungsinya, maka ada tiga pola ‘konteks’ kesenian tradisi bagi kehidupan masyarakatnya,” ungkapnya.