• Narasi
  • JURNAL BUNYI #3: Kabeungharan Karawitan Sunda

JURNAL BUNYI #3: Kabeungharan Karawitan Sunda

Kesenian yang kita miliki tidak kalah luar biasanya dengan kesenian dari Barat.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Keurseus Budaya Sunda Jirangan #6: Kabeungharan Karawitan Sunda yang diadakan oleh Lopian Unpad Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda, Rabu, 29 September 2021. (Dok. Penulis)

2 November 2021


BandungBergerak.id“Oleh karena musik dipandang sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat yang melahirkannya, maka dapat ditafsirkan bahwa fenomena keragaman karawitan Sunda merupakan cerminan dari karakter orang Sunda yang terbuka, fleksibel, jembar, optimis, dinamis, dan kreatif”. Begitulah pernyataan Heri Herdini dalam acara Keurseus Budaya Sunda Jirangan #6: Kabeungharan Karawitan Sunda yang diadakan oleh Lopian Unpad Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda, Rabu, 29 September 2021.

Bangga sebagai manusia Sunda mendengar pemaparan Heri Herdini yang berjudul Kabeungharan Karawitan Sunda. Kesenian yang kita miliki tidak kalah luar biasanya dengan kesenian dari Barat. Secara eksplisit ia menjelaskan karawitan Sunda dari arti kata sampai dengan aspek-aspek yang menjadi kekayaannya karawitan Sunda. Menurutnya, kata karawitan bukan berasal dari Sunda. Tidak ditemukan kata karawitan pada manuskrip Sunda kuno. Kata-kata yang berkenaan dengan kesenian yang disebutkan pada manuskrip Sunda kuna seperti Sanghyang Siksa Kanda (ng) Karesian (1518), Carita Parahiangan (1527), dan Sewaka Darma, di antaranya kawih, tarawangsa, kacapi, suling, dan gamelan. Kata karawitan pertama kali disebut oleh Ki Marthapangrawit. Karawitan sendiri memiliki beberapa versi pengertian. Pada intinya karawitan selalu berhubungan dengan seni suara, seni pedalangan, seni tari, dan drama.

Terbentuknya karawitan Sunda pada dasarnya dihasilkan oleh sumber bunyi, yaitu dari suara manusia (sekar) dan bunyi alat-alat musik (gending). Dua sumber bunyi ini sesungguhnya bersifat paradoks antara yang ‘hidup’ dan ‘mati’. Sekar dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang ‘hidup’ karena lahir dari suara manusia (makhluk hidup), sedangkan gending dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang ‘mati’ karena lahir dari alat-alat musik sebagai benda mati. Sifat dari ‘hidup’ adalah bergerak, sedangkan sifat dari yang ‘mati’ adalah diam. Dalam konteks karawitan Sunda, nada yang bergerak identik dengan bangunan melodi, sedangkan nada yang diam identik dengan nada yang tetap (statis).

Dilihat dari bentuk penyajiannya, karawitan Sunda dibagi menjadi tiga bagian yaitu sekar, gending, dan sekar gending. Sekar bentuk penyajiannya hanya berupa vokal (suara manusia) saja. Gending disajikan dalam bentuk garapan instrumen musik saja. Sedangkan sekar gending merupakan bentuk penyajian yang melibatkan unsur suara manusia dipadukan dengan gending.

Sejalan dengan perkembangan zaman, karawitan Sunda bergerak dinamis ngigelan zaman. Kreativitas para seniman karawitan Sunda, mulai dari Raden Machjar Angga Kusumadinata, Mang Koko, Nano Suratno, Ubun Kubarsah, Yus Wiradiredja, dan Ismet Ruhimat selalu mencari celah kreatif dalam garap karawitan Sunda. Mungkin instrumen musik yang digunakannya sama, tetapi cara menyusun dan menyajikannya yang berbeda. Kehadiran para seniman ini membuat karawitan Sunda dapat bertahan dan selalu diminati masyarakat dari zaman ke zaman.

Tak hanya membahas karawitan Sunda secara tekstual/musikal saja. Heri memaparkan karawitan Sunda yang dihubungkan dengan kosmologi Sunda. Kesenian Sunda mencerminkan prinsip kehidupan manusia Sunda. Konsep Tritangtu (pola tiga) merupakan cara berpikir manusia Sunda yang digunakan dalam mengelola negara (pemerintah). Sementara itu, masagi merupakan tuntunan hidup orang Sunda agar terbentuk manusia Sunda menuju keselamatan dunia akhirat. Kesenian merupakan produk dari sebuah kebudayaan. Maka dari itu kesenian dibentuk sesuai dengan prinsip dan gagasan manusianya. Terdapat banyak bukti bahwa unsur musik yang dibentuk pada karawitan Sunda berhubungan erat dengan konsep kehidupan manusia Sunda. Seperti halnya kedudukan dan fungsi kenongan, goongan, dan nada pancer yang termuat dari teori patet Raden Machjar Angga Kusumadinata.

Baca Juga: Jurnal Bunyi (1): Sastra dan Nada dalam Tembang Sunda Cianjuran
Jurnal Bunyi (2): Ruang Suara Vitamin Telinga
Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata

Pada akhir acara diadakan diskusi atau tanya jawab. Salah satunya diskusi bersama Prof.Ganjar Kurnia. Pada awalnya jumlah kesenian Sunda ada 300-an jenis. Namun, saat ini hanya ada 30-60 kesenian saja yang masih ada. Itu pun kondisinya berbagai macam. Ada yang sudah di penghujung hidupnya, ada yang masih dikembangkan, dan ada pula yang hilang karena tidak ada yang meneruskan serta mengabadikan. Permasalahan ini memang tidak bisa dihindari. Berbagai macam faktor luar dan dalam memengaruhi seleksi alam kesenian. Beliau berpendapat bahwa perkembangan karawitan yang terjadi dewasa ini merupakan pencapaian yang bagus. Para seniman turut menyumbangkan kreativitasnya untuk terus mempertahankan eksintensi karawitan Sunda. Namun, di sisi lain kita perlu memperhatikan kesenian yang lahir lebih awal. Kegiatan melestarikan, menjaga, mengembangkan, mendokumentasikan, dan mengelola harus terus dilakukan demi keberlangsungan hidup kesenian. Kita sebagai masyarakat yang memiliki kesenian ini harus terus menjalankan siklus tersebut.

Saya bersyukur dengan adanya acara Keurseus Kabudayaan Sunda ini penyiaran dan sosialisasi pengetahuan kebudayaan Sunda dapat disebarkan secara luas dan mudah diakses oleh masyarakat umum. Pengalaman yang saya alami ketika melakukan penelitian kesenian Sunda, sulit untuk menemukan data dan sumber penelitian dalam bentuk literasi maupun audio visual. Semoga dengan ada acara ini, para peminat, peneliti, seniman, akademisi, dan seluruh masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai kebudayaan Sunda dapat menemukan informasi dengan mudah dan terpusat. Secara tidak langsung seminar daring seperti ini menyimpan rekaman kegiatan sebagai arsip digital yang penting. Kegiatan digitalisasi dewasa ini massif dilakukan di berbagai bidang. Hal terasebut bertujuan mengabadikan dan memudahkan masyarakat dalam mencari sebuah informasi. Dengan sekali kegiatan digitalisasi semua data dapat abadi ada di dalam sistem komputer. Apalagi data tersebut sudah berusia ratusan tahun, sangat rentan hancur dimakan zaman. Sangat terbantu dengan adanya digitalisasi.

Dengan adanya ikhtiar ini, semoga kesenian Sunda dapat dekat dengan masyarakat dan dapat terus terlibat dalam perkembangan kebudayaan yang akan terus berlangsung. Harapan saya, kesenian Sunda, tidak hanya dilestarikan, tapi dihargai dan dikelola dengan baik.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//