• Narasi
  • JURNAL BUNYI #4: Festival dan Pasanggiri Degung Tingkat Remaja Piala R.A.A. Wiranata Kusumah Ke-5

JURNAL BUNYI #4: Festival dan Pasanggiri Degung Tingkat Remaja Piala R.A.A. Wiranata Kusumah Ke-5

Dewasa ini pembelajaran gamelan degung di sekolah stagnan dalam posisinya. Salah satu penyebabnya karena semakin minimnya peminat terhadap seni gamelan ini.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Festival dan Pasanggiri Degung Tingkat Remaja Piala R.A.A. Wiranata Kusumah ke-5 di ISBI Bandung, 21 dan 22 Oktober 2021. (Dok. Penulis)

3 November 2021


BandungBergerak.idBagi masyarakat Sunda gamelan degung bukan hal yang asing lagi di telinga. Mulai dari sekolah dasar, menengah, atas, sampai perguruan tinggi dominan memiliki set gamelan degung. Namun memiliki saja belum tentu dapat mempelajari atau bahkan melestarikan. Jika tidak ditabuh oleh pemainnya, gamelan degung hanya benda mati yang dapat dilihat dan dipajang dalam ruang.

Untuk memantik gairah masyarakat akan gamelan degung diperlukan kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan kembali rasa antusias, seperti menyelenggarakan seminar, diskusi, pelatihan, dan perlombaan (pasanggiri). Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan, tidak hanya gamelan degung, kesenian Sunda lainnya dapat ada, terjaga, terawat, dan terkelola dengan baik.

Sebagai salah satu institusi seni di Indonesia, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung memiliki peran yang besar dalam menjaga, merawat, mengembangkan, dan mengelola kebudayaan (kesenian). Landasan keilmuan yang didominasi oleh kearifan lokal (budaya Sunda) ISBI Bandung memiliki banyak sumber daya dan gagasan dalam menyelenggarakan kegiatan preservasi. Salah satu fokusnya adalah pada kesenian degung, gamelan asli Tatar Sunda.

ISBI Bandung melalui jurusan karawitannya mempersembahkan Festival dan Pasanggiri Degung Tingkat Remaja Piala R.A.A. Wiranata Kusumah ke-5 pada tanggal 21 dan 22 Oktober 2021. Tidak seperti biasanya, kali ini pasanggiri dilakukan secara daring. Peserta membuat terlebih dahulu video pertunjukan berupa tampilan memainkan gamelan degung dalam beberapa karya.

Teknik penampilan daring seperti ini memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya waktu dan tempat para penampil dan penonton bisa diakukan dimana pun dan kapan pun. Di sisi lain para penampil membutuhkan peralatan yang memadai untuk dapat merekam video dan audio pertunjukan. Pada festival dan pasanggiri degung ini setiap penampil memiliki kualitas audio dan video yang berdeda-beda. Apakah itu akan berdampak pada proses penilaian para juri? Pertunjukan daring seperti ini menghilangkan beberapa rasa, berbeda ketika kita menyaksikannya secara langsung. Namun, di luar kendala itu para peserta sangat antusias dalam memberikan penampilan terbaiknya.

Karya yang wajib dibawakan setiap peserta pada tahun ini adalah Sang Bango. Juri pada pasanggiri degung ini adalah Mamat Rahmat, Abun Soma Wijaya, S.Kar., M.Sn, dan Iik Setiawan, S.Kar. Lili Suparli menyebutkan ada 22 peserta tingkat SLTA se-Jawa Barat yang mendaftar, tetapi yang dapat tampil hanya 13 peserta dikarenakan berbagai hal.

Pasanggiri degung ini ia gagas untuk menumbuhkan dan mewadahi minat para siswa SLTA dalam memainkan karya-karya gamelan degung. Pengalamannya mengajar ke luar negeri memunculkan perbandingan paradigma antara orang luar dan dalam negeri. Secara keterampilan memainkan gamelan degung orang kita lebih mahir. Tetapi ada satu yang membedakannya yaitu motivasi. Muridnya di luar negeri memiliki motivasi yang besar untuk mempelajari gamelan degung. Sedangkan motivasi di kita masih berdasarkan aspek lain seperti nilai dan manggung. Perbedaan motivasi ini yang ia rasakan. Ketika mengajar di luar negeri muridnya tanpa disuruh menata gamelan degung yang harus diangkat dari lemari kaca dan setelah menggunakannya mereka langsung mengangkatnya lagi untuk membereskan ke tempat semula dengan rapi.

Festival dan pasanggiri degung ini mengangkat nama R.A.A. Wiranata Kusumah V (18 November 1888 – 22 Januari 1965) seorang Bupati Bandung (periode 1874 – 1893). Beliau merupakan salah satu tokoh yang berjasa dalam membumikan kesenian degung. Dahulu kesenian degung hanya dimainkan di pendopo saja disajikan untuk para bangsawan. Berkat jasa beliau, kesenian degung dibawa dan didekatkan kepada masyarakat. Mulai dari situlah kesenian degung dikenal masyarakat umum.

Lagu wajib yang harus dibawakan oleh setiap peserta adalah Sang Bango. Karya ini termasuk ke dalam kelompok lagu-lagu klasik degung sama seperti Pajajaran, Palwa, Seler Degung, dan Manintin. Tokoh yang mempopulerkan lagu klasik degung ini adalah Entjar Tjarmedi. Mengapa lagu wajibnya adalah lagu klasik? Tentu saja. Sama dengan kesenian lainnya, gamelan degung mengalami perkembangan gagasan kekaryaan, mulai dari degung klasik, kreasi baru, sampai karya kontemporer. Upaya untuk mengenal dan mengingat gamelan degung secara utuh harus dimulai dari karya lagu klasik. Karena ciri khas dan konsep gagasan musikal gamelan degung sangat menonjol pada karya lagu klasik.

Juri pasanggiri degung ISBI Bandung, Lili Suparli. (Dok. Pribadi)
Juri pasanggiri degung ISBI Bandung, Lili Suparli. (Dok. Pribadi)

Baca Juga: Jurnal Bunyi (1): Sastra dan Nada dalam Tembang Sunda Cianjuran
Jurnal Bunyi (2): Ruang Suara Vitamin Telinga
Jurnal Bunyi (3): Kabeungharan Karawitan Sunda
Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata
Seputar Mang Koko dan Karyanya (1)

Gamelan Degung Stagnan 

Dewasa ini pembelajaran gamelan degung di sekolah stagnan dalam posisinya. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya, di antaranya sumber daya manusia yang tidak ada, fasilitas yang tidak tersedia, dan minat siswa akan kesenian tradisi yang menurun. Ketiga faktor ini harus bersinergi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran gamelan degung di sekolah. Sumber daya manusia berperan penting dalam mengelola seluruh kegiatan pembelajaran. Banyaknya kampus yang menyediakan jurusan karawitan, pendidikan seni, atau etnomusikologi saat ini menjadi pabrik para pendidik seni yang ada di setiap sekolah.

Adanya festival dan pasanggiri degung ini menjadi wadah yang tepat untuk dimanfaatkan para siswa SLTA dalam unjuk menampilkan hasil latihan gamelan degungnya. Sebagai institut yang berlandaskan pada budaya daerah, ISBI sangat tepat menyelenggarakan festival dan pasanggiri seperti ini. Derasnya arus kebudayaan yang berasal dari luar menuntut kita untuk bisa bertahan demi tetap menghidupkan kesenian tradisi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak zaman sekarang lebih menyukai budaya populer dari pada budaya daerah sendiri. Apa penyebanya? Apa akibatnya? Gerak kebudayaan yang dinamis tidak bisa kita tahan dan pilah-pilah. Namun, dengan sadar akan identitas diri (mengenal, memelihara, mengelola, dan mengembangkan) maka kebudayaan lokal kita dapat berjalan berdampingan dan tak kalah dengan budaya lain.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//