SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #4: Mencari Data Mang Koko ke Rumah Pak Rasita
Terkadang saya iri dengan negara maju seperti Jerman yang memiliki museum Beethoven. Kenapa kita tidak mendirikan museum Museum Mang Koko?
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
25 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Arsip terkadang masih dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan. Padahal arsip tak hanya menyimpan sebuah data fisik tetapi benda tersebut merekam memori dan emosi pada waktu tertentu. Khususnya pada bidang kesenian, arsip adalah hal penting yang seharusnya dikelola dengan baik dan benar.
Memang, kebudayaan kita diunggulkan dengan budaya lisan yang kita miliki dan minim dengan budaya tulis. Hal ini berdampak pada arsip dalam bentuk tertulis lebih sedikit dibanding dengan arsip yang berbentuk benda, seperti lukisan, patung batik, anyaman, dan alat serta produk seni lainnya. Terlalu luas bila saya membahas arsip kesenian di Indonesia. Kali ini saya ingin fokus membahas arsip seniman Sunda Mang Koko.
Seniman sama seperti seorang ilmuwan dan arkeolog yang dapat menyusun, mencipta, dan menemukan hal-hal baru; tentu saja menyesuaikan dengan fokus ilmunya. Kegiatan yang seniman lakukan pada periode tertentu meninggalkan beberapa arsip penting, di anataranya tulisan, alat musik, kaset rekaman, dan rumah seniman.
Terkadang saya iri dengan negara maju seperti Jerman yang memiliki museum Beethoven yang terjaga dan terkelola sampai saat ini. Kenapa kita tidak mendirikan museum Mang Koko, museum Randen Machjar Angga Kusumadinata, museum Enoch Atmadibrata, museum Wahyu Wibisana, atau museum Rd. Tjetje Somantri? Padahal banyak sekali seniman unggul yang ada di Indonesia dan posisinya setara dengan Beethoven, Mozart, Picasso, Shakespeare, dan Merce Cunningham.
Dalam perjalanan hidupnya Mang Koko merupakan seniman yang produktif; ratusan karya sudah ia ciptakan. Banyak orang yang kagum dengan sosoknya. Sepeninggalan Mang Koko pun masih banyak yang menyukai dan masih menikmati karyanya, sampai saat ini. Banyak penelitian yang dilakukan akademisi luar dan dalam negeri. Arsip yang dapat kita temukan sampai saat ini adalah notasi musik yang ditulis tangan oleh Mang Koko. Bila melihat tulisan tangan Mang Koko tercermin pribadi yang ulet, disiplin, dan gigih.
Baca Juga: Seputar Mang Koko dan Karyanya (1)
Seputar Mang Koko dan Karyanya (2): Letusan Dahsyat 1982 dalam Syair Guntur Galunggung
Seputar Mang Koko dan Karyanya (3): Sosok Seniman yang Mendidik
Jadi Bahan Kajian S3 UGM
Salah satu peneliti yang mengkaji mengenai karya Mang Koko adalah Rasita Satriana. Informasi ini saya dapatkan dari Bu Dewi dosen karawitan Sunda saya di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung. Bu Dewi sangat akrab dengan Pak Rasita berserta istrinya. Bahkan ketika istrinya mendengar kabar duka bahwa Bu Dewi sudah tiada, beliau sangat bersedih dan masih tak menyangka dengan kabar tersebut.
Sekitar dua tahun lalu saya sering pulang pergi antara Bandung-Surakarta karena sedang menjalani studi. Pengalaman sendiri di wilayah bukan kelahiran merupakan hal yang berkesan. Mulai dari masyarakat, lingkungan, sampai makanan saya harus cepat menyesuaikan diri. Memilih kota ini bukan semata-mata asal tuju. Tetapi ada hal yang saya cari di sini. Salah satu yang ingin saya ceritakan kali ini adalah pencarian data mengenai Mang Koko.
Kala itu saya sedang menyusun buku bersama Bu Dewi, dosen saya di UPI Bandung tentang karya kawih wanda anyar. Sayangnya Sang Pencipta lebih sayang beliau. Sekitar bulan Desember 2019 beliau menghembuskan napas terakhirnya. Sedih, sakit hati, dan bersyukur dapat dipertemukan dengan beliau, sosok pendidik yang berdedikasi tinggi.
Terakhir saya berkomunikasi dengan beliau melalui pesan singkat. Beliau menulis, "Sudah ketemu dengan istrinya Pak Rasita?". "Maaf, belum bu, sore ini saya akan ke rumahnya," jawab saya. Kebetulan kosan yang saya pilih tidak terlalu jauh dengan rumahnya Pak Rasita.
Bu Dewi menyarankan bertemu dengan istrinya Pak Rasita, karena Pak Rasita saat itu belum lama baru meninggalkan istri dan anaknya kepangkuan Sang Ilahi. Kosan saya berada di daerah Jebres di Jalan Halilintar sedangkan rumah Pak Rasita di wilayah Palur.
Sore itu saya bergegas mengendarai motor menuju ke rumah Pak Rasita. Bermodalkan bertanya dan Google Maps saya menuju ke sana. Perjalanan ditempuh kurang lebih 30 menitan, karena saya baru pertama kali ke sana. Sesampainya di sana, saya disambut dengan keramahan Ibu Rasita. Dengan suara lembutnya ia menyapa. Beruntung sekali, saya bisa menemukan rumah Pak Rasita.
Kenapa Bu Dewi menyarankan saya untuk ke rumah Pak Rasita? Karena Pak Rasita ketika menjalani studi S3 di UGM (Universitas Gajah Mada) mengangkat penelitian mengenai karawitan Sunda gaya Mang Koko. Tak jarang, Pak Rasita berkunjung ke rumahnya Bu Dewi di Limbangan, Garut, untuk meminta saran, pendapat, dan sumber literasi yang berhubungan dengan karawitan Sunda gaya Mang Koko. Banyak cerita yang Bu Dewi sampaikan kepada saya mengenai proses Pak Rasita menyusun disertasinya.
Saya duduk di teras rumah yang tidak terlalu besar menghadap ke sebuah gazebo kecil yang di bawahnya ada kolam ikan diiringi oleh suara gemericik air yang menenangkan. "Ade siapa ya?" Bu Rasita bertanya kepada saya. Saya jawab maksud dan tujuan kedatangan saya kepada beliau. Tujuan utama saya adalah untuk mencari tahu informasi mengenai hasil penelitian Pak Rasita tentang karawitan Sunda gaya Mang Koko.
Percakapan pun terus berlangsung antara saya dan Bu Rasita. Dengan keramahan dan kemurahan hatinya, Bu Rasita mengambilkan salinan disertasi milik Pak Rasita dan memberikannya kepada saya.
"Semoga ini bisa bermanfaat buat orang banyak dan jadi amal jariah untuk bapak di sana," ucap Bu Rasita kepada saya dengan suara pelan, seakan sedang mengingat suaminya.
Saya terima disertasi tersebut dari tangannya. Waktu menunjukan pukul 5 sore, saya langsung pamit kepada bu Rasita dan mengucapkan terima kasih karena sudah mempercayakan data yang luar biasa ini kepada saya. Mungkin orangnya sudah tiada, tapi tulisannya tetap abadi dalam sejarah. Terima kasih Pak Rasita.