• Kolom
  • Tirto Adhi Soerjo dalam Bingkai Organisasi dan Sastra

Tirto Adhi Soerjo dalam Bingkai Organisasi dan Sastra

Sastra menjadi lini yang digeluti Tirto Adhi Soerjo. Karya-karya yang ditulisnya mayoritas mengenai “dunia pernyaian” dengan pernak-perniknya.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Foto lukisan potret Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) koleksi H.C. Beynon. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.n)

17 Maret 2023


BandungBergerak.idPeriode kebangkitan nasional identik dengan organisasi Budi Utomo yang lahir pada 20 Oktober 1908. Organisasi yang dibentuk para pelajar STOVIA ini, merupakan jerih payah dari dr. Wahidin Wedyodiningrat yang berkeliling di Pulau Jawa untuk membangunkan bangsanya yang tertidur dalam keriuhan penindasan kolonial Belanda.

Namun, sebelum pelajar-pelajar di STOVIA membentuk Budi Utomo, Tirto Adhi Soerjo telah selangkah lebih dulu membentuk organisasi pergerakan. Selain itu, selama hidupnya, ia tercatat turut serta dalam perkembangan sastra di Indonesia. Maka, tidak berlebihan bila Pramoedya Ananta Toer yang berkhidmat dalam mengangkat sosok yang hampir terlupakan ini, memanggilnya “Sang Pemula”.

Bersama Sarekat Prijaji dan Budi Utomo

Dua tahun sebelum Budi Utomo berdiri, tepatnya pada 1906, Tirto Adhi Soerjo sudah merintis pembentukan organisasi dari kalangan bumiputera bernama Syarikat Prijaji (SP). Tujuan pembentukan Sarekat Prijaji dituliskan oleh Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), bahwa Sarekat Prijaji terbentuk dari gagasan Tirto Adhi Soerjo untuk memajukan kaum bumiputera.

Untuk merealisasikan gagasan tersebut, ia menemui para pembesar bumiputera di Batavia seperti, R. M. Mas Prawirodiningrat (Jaksa Kepala Batavia), Taidji’in Moehadjilin (Komandan Distrik Tanah Abang), Thamrin Mohammad Tabri (Komandan Distrik Manggabesar dan ayah dari M. H. Thamrin), serta Bachram (Komandan Distrik Penjaringan). Dalam pertemuan tersebut, para pembesar bumiputera sepakat dengan gagasan Tirto Adhi Soerjo.

Maka terbentuklah susunan organisasi Sarekat Prijaji yang diketuai oleh R. M. Mas Prawirodiningrat dan Tirto Adhi Soerjo menjabat sekretaris cum bendahara. Sedangkan anggota pengurus diisi Taidji’in Moehadjilin, Thamrin Mohammad Tabri, dan Bachram.

Mengutip Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan (2008), “pembuktian telah terbentuknya SP adalah dari surat edaran yang dimuat di koran-koran Melayu di seluruh Hindia Belanda yang mengumumkan bahwa telah berdiri perhimpunan yang mewadahi seluruh priyayi dan bangsawan Pribumi di Hindia Belanda yang bertujuan memajukan Anak Negeri lewat pengajaran.”

Dalam selebaran tersebut tertulis lima program dalam mendukung kemajuan Anak Negeri dalam bidang pendidikan, sebagai berikut: pertama, mendirikan asrama bagi pelajar dari luar kota yang bersekolah di Betawi; kedua, mendirikan taman kanak-kanak di asrama tersebut, untuk mendidik anak-anak di bawah usia sekolah dasar; ketiga, perhimpunan akan menyediakan dana bagi pelajar yang kurang mampu dan bagi yang berprestasi, akan dibantu untuk melanjutkan pendidikannya hingga mendapatkan pekerjaan yang pantas, dengan kesepakatan dana bantuan pendidikan tersebut akan dikembalikan dengan cara diangsur jika pelajar tersebut sudah memiliki penghasilan tetap; keempat, beasiswa bagi pelajar yang berprestasi tanpa perlu mengembalikan dana beasiswa tersebut; kelima; membuka taman bacaan bagi seluruh anggota SP dan para pelajar.

Organisasi ini segera mendapat antusiasme yang tinggi, terdaftar 700 orang menjadi anggota. Lebih dari itu, RAA Prawiradiredja yang merupakan Bupati Cianjur memberi suntikan dana sebesar f 1.000 dan menyarankan penerbitan surat kabar sebagai corong dari SP yang kelak dikenal dengan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907.

Namun, perkembangan organisasi ini hanya sekejap, hal ini disebabkan kesibukan Tirto Adhi Soerjo menjalankan “kekasihnya” Medan Prijaji yang melesat maju dan kematian R.M. Prawirodiningrat dan Taidji’in Moehadjilin. Thamrin Mohammad Thabrie yang didaulat menggantikan ketua SP, kelimpungan dalam memimpin organisasi ini, setelah rekan-rekan sejawatnya telah lebih dulu bertemu dengan ajalnya masing-masing, dan tidak lama Sarekat Prijaji pun riwayatnya berakhir.

Selanjutnya, di samping mengasuh Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo turut serta dalam perkembangan Budi Utomo. Meski tidak berperan secara signifikan, ia tercatat sebagai anggota Budi Utomo cabang Bandung. Ia menyediakan ruang untuk berita seputar Budi Utomo di Medan Prijaji.

Tahun 1910, sekembalinya dari pengasingannya di Lampung, hubungan Tirto Adhi Soerjo dengan Budi Utomo mengalami keretakan, perselisihan paham dengan pengurus Budi Utomo menjadi penyebabnya.

Tirto Adhi Soerjo mengajukan protes kepada Dewan Pengurus organisasi ihwal ketiadaan laporan-laporan dari organisasi untuk diterbitkan di Medan Prijaji. Baginya, kejadian ini adalah bentuk boikot dari Budi Utomo terhadap dirinya, dan menurutnya juga, terjadi kecemburuan terhadap kesuksesan yang diraihnya bersama Medan Prijaji.

Lain itu, keberadaan Ernest Douwes Dekker yang saat itu diajukan oleh Dewan Pengurus Budi Utomo sebagai editor dari majalah organisasi ini, menjadi akar permasalahan sebenarnya. Tirto Adhi Soerjo menentang rencana pengangkatan cucu dari adiknya Multatuli, yang sangat dikaguminya. Bagi Tirto Adhi Soerjo, Budi Utomo harus berjalan sesuai dengan gagasannya awalnya yang bernapaskan semangat kejawaan. Serta, ia menilai bahwa urusan rumah tangga Budi Utomo, alangkah baiknya bila dikerjakan oleh bumiputera saja. Menurutnya bumiputera tidak terlampau bodoh, khusunya dalam mengurus surat kabar.

Baca Juga: Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo, Pers Bumiputera dan Pers Advokasi
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung

Mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI)

Sebelum meninggalkan Budi Utomo, pada tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo sebenarnya sudah mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI), hasil dari pergaulannya dengan kaum pedagang. Organisasi ini digagas pada 27 Maret 1909 di Bogor (Buitenzorg) dan secara resmi dideklarasikan pada 5 April 1909.

Mengusung tujuan “mendjaga kepentingan kaoem Moeslimin di Hindia Belanda,” organisasi ini mengemban misi membantu pedagang pribumi menghadapi persaingan dengan pedagang bangsa lainnya di Hindia Belanda. SDI merangkul calon anggotanya dari mereka yang tidak terikat pengabdian kepada pemerintah kolonial, yang terdiri dari pedagang, petani, pekerja, tukang juga peladang yang disebutnya sebagai “kaum mardika”.

Susunan anggota awal diisi oleh Sjech Achmad bin Abdoerachman Badjenet sebagai pimpinan SDI dan Mohamad Dargim yang merupakan seorang dokter di Bogor mengemban tugas sebagai wakil pimpinan. Tirto Adhi Soerjo sendiri menjabat sekretaris-penasihat organisasi. Sedangkan, jajaran komisaris diisi keluarga Badjenet.

SDI semakin berkembang dan berhasil mendirikan cabang-cabangnya, yang paling menentukan gerak selanjutnya bagi organisasi ini adalah cabang SDI di Surakarta. Adhytiawan Suharto dalam Sarekat Islam Surakarta 1912-1923 (2021), menjelaskan bahwa sebelum terbentuknya SDI di Surakarta, terdapat satu perkumpulan dari pedagang Batik di Laweyan yang bernama Rekso Roemekso. Organisasi ini dipimpin oleh Samanhudi, pedagang batik di Laweyan.

Martodharsono—salah satu murid Tirto Adhi Soerjo kala bekerja di Medan Prijaji—setelah kembali di Surakarta  berperan sebagai perantara antara Rekso Roemekso dan SDI. Persinggungan antara kedua kelompok tersebut terjadi setelah adanya ancaman pembubaran terhadap Rekso Roemekso oleh pemerintah kolonial.

Mengutip kembali Takashi Shiraishi (1997), ancaman pembubaran terjadi setelah serangkaian perkelahian yang terjadi pada akhir 1911 hingga awal 1912 antara Rekso Roemekso dan Kong Sing (firma dagang Tionghoa di Surakarta) yang berakar dari persaingan perdagangan, khususnya perdangan batik di Surakarta. Saat diinterogasi, Martodharsono mengelak dan mengatakan bahwa Rekso Roemekso adalah cabang dari SDI Bogor.

Setelahnya ia meminta bantuan kepada Tirto Adhi Soerjo untuk merumuskan dan merancang anggaran dasar organisasi. Sejak itu, Rekso Roemekso – semacam kelompok ronda, menurut Takashi Shiraisi – terselamatkam dari pembubaran dan mulai berganti nama menjadi Sarekat Islam cabang Surakarta.

Tahun 1912, tersiar kabar dari Bogor dan Batavia mengenai berhentinya penerbitan Medan Prijaji oleh pemerintah kolonial yang disebabkan perkara hutang. Sejak itu, hubungan antara SDI-nya Tirto Adhi Soerjo dan SDI-nya Samanhudi terputus, terutama setelah vonis pengasingan untuk Tirto Adhi Soerjo ke Ambon dijatuhkan.

Menyikapi kondisi itu, Samanhudi yang sebelumnya telah mengundang Tjokroaminoto ke Surakarta untuk menyusun anggaran dasar organisasi baru, mulai menyatakan bahwa SDI Surakarta bukan cabang dari SDI Bogor. Selanjutnya SDI ini dengan pengaruh Tjokroaminoto berganti nama menjadi Sarekat Islam dan dalam perkembangannya berpusat di Surabaya.

Tirto Adhi Soerjo dan Sastra

Sastra menjadi lini selanjutnya yang diperani Tirto Adhi Soerjo sepanjang hidupnya. Meski kental dengan dunia jurnalistik dan organisasi pergerakan, ia merupakan perintis dari fiksi modern dari bumiputera. Mengutip kembali Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan (2008), Menemoe Tjinta dalam Kereta-Api, Doenia Pertjiantaan, 101 Tjerita Jang Soenggoeh Soedah Terjadi di Tanah Priangan, Pertoenangan Sia-sia, dan Mentjari Oentoeng, merupakan karya fiksi yang pernah ditulisnya, baik dalam bentuk cerita bersambung dan cerpen.

Karya-karya yang ditulisnya mayoritas mengenai “dunia pernyaian” yang lengkap dengan segala pernak-pernik dalam “dunia pernyaian”, seperti: perselingkungan, perzinahan, dunia perseorangan, dan jual-beli perempuan. Meski begitu, ia menempatkan nyai-nyai dalam karya-karyanya sebagai seorang yang masih memegang kendali terhadap tuan-tuannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh, cerita Nyai Ratna yang merupakan cerita bersambung di Medan Prijaji pada tahun 1909, ia menampilkan kekurangan dan kelebihan dari pergundikan bangsa Eropa dan bangsawan pribumi.

Seturut Jakob Sumardjo dalam Sinopsis Roman Indonesia (1992), sebelum berstatus nyai, Ratna dihampiri perasaan bimbang dalam menentukan pilihannya antara memilih hidup dan bangsawan pribumi atau pelaut Belanda yang kaya. Akhirnya Ratna memilih yang kedua dan mulai menggunakan nyai di depan namanya. Bahkan lebih lanjut, Nyai Ratna berbekal kekayaan dari tuannya, “main serong” dengan Sambodo, pelajar STOVIA yang lebih muda darinya.

Saat si pelaut Belanda kaya tersebut terlilit hutang, ia pergi meninggalkannya dan berhasil mendapatkan pria Belanda kaya yang lainnya. Namun, Nyai Ratna kerap mencari kepuasan di luar rumah dengan pemuda-pemuda yang cakap. Sampai di sini, Nyai Ratna adalah representasi dari nyai yang berhasil mengontrol dirinya sendiri dan mampu mengontrol kekayaan tuannya.

Selain itu, Tirto Adhi Soerjo memiliki karya berjudul Busono. Menurut M. Rodhi As’ad dalam Tirto Adhi Soerjo: Bapak Pers Indonesia (2022), Busono adalah semacam otobiografi dari Tirto Adhi Soerjo yang ditulisnya dalam bentuk fiksi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//