Membedah Novel Gadis Pantai, Pergulatan Perempuan dalam Belenggu Budaya Maskulin di Masa Lalu dan Kini
Pramoedya Ananta Toer dalam novel Gadis Pantai menceritakan perempuan yang tak berdaya menghadapi kelas sosial yang dikuasai sistem feodal yang melumpuhkan.
Penulis Emi La Palau13 Desember 2021
BandungBergerak.id - Jalan menyetarakan perempuan di Indonesia masih panjang. Kaum perempuan masih berusaha keluar dari kungkungan sistem maskulin seperti feodalisme dan patriarki. Kondisi ini direkam dalam novel Gadis Pantai karangan Pramoedya Ananta Toer yang dibedah komunitas Klab Belajar Merdeka, di Warkop Heumai, Batos, Kota Bandung, Minggu (12/12/2021).
Mengangkat tema ”Lelaki dalam Rahim Gadis Pantai”, diskusi rutin Klab Belajar Merdeka kali ini dipandu oleh moderator Ojel Sansan Yusandi, dengan menghadirkan dua narasumber, yaitu Sylvester Kanisius Laku, mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkarra, dan jurnalis Bandungbergerak.id Sarah Ashilah. Di sela-sela diskusi, Amanda Angela Seonoko, melakukan live painting, Minggu (12/12/2021).
Sylvester membuka diskusi dengan mengulas persoalan perempuan dalam konteks kehidupan adat dan budaya Jawa, dari persepektif laki-laki. Dalam novel Gadis Pantai, kata Sylvester, Pram secara gamblang mengisahkan konteks feodalisme masyarakat Jawa yang sangat kental saat itu, di mana kasta bangsawan menguasai kasta masyarakat kelas bawah.
Namun menurut Sylvester, praktik feodalisme dalam buku Gadis Pantai ini merupakan interpretasi dari sebuah konteks masyarakat dunia. Yang mana praktik ini tumbuh di negara-negara di Eropa. “Kalau berbicara feodalisme itu tidak hanya di masyarakt Jawa saja, tapi di seantero dunia, di mana-mana juga terjadi,” ungkapnya.
Di dunia barat Eropa ataupun Amerika, perlawanan terhadap sistem feodalisme sudah perlangsung 30 tahun lalu, dengan hadirnya feminisme gelombang satu, gelombang dua, dan seterusnya. Tetapi di Indonesia sendiri baru terjadi 10 sampai 15 tahun terakhir, ditandai dengan gerakan perempuan yang mencoba bangkit untuk membentangkan posisi mereka di masyarakat.
Novel Gadis Pantai mengisahkan demarkasi atau batas pemisah yang cukup kental antara laki-laki dan perempuan, antara bangsawan dan jelata, kaya dan miskin. “Itu sudah jelas, Gadis Pantai dengan kaum Priyai kota,” ungkapnya.
Novel Gadis Pantai menyajikan perspektif masyarakat kota yang sering diasumsikan sebagai masyarakat beradab, masyarakat desa yang diasosiakan sebagai masyarakat yang tidak beradab. Juga antara tuan kelas atas, dan budak atau kelas bawah.
“Gadis pantai dari desa, orang kota yang beradab, di dalam novel berkali-kali kita lihat meskipun dia (si gadis pantai) sudah istri Bendoro, tetap saja dia diejek. Hanya gadis pantai, gadis pesisir, jadi demarkasi ini cukup jelas,”paparnya.
Sylvester menemukan adanya relasi struktural dan fungsional pada masyarakat yang diceritakan dalam buku Gadis Pantai. Dalam relasi struktural, masyarakat didominasi oleh kaum pria. Pada relasi fungsional, novel ini menuturkan posisi perempuan sebagai objek. Misalnya, Gadis Pantai telah menjadi istri sang priyai, ia tetap dianggap bukan suami istri melainkan hanya sebagi istri imajiner.
“Jadi Pram mau menegaskan sebuah relasi gadis ini, hanya berguna sejak tubuhnya berfungsi untuk saya (kaum priyai),” ungkapnya.
Ia juga melihat sebuah moralitas feodal dalam novel ini, yang mana manusia hanya diukur sebagai benda, sebagai alat pemuas belaka. Selain itu, terdapat tarik-menarik antara kutub imanensi dan transenden dalam tradisi feminisme. Sering kali dalam masyarakat feodal cenderung menyarah pada situasi. Imanensi itu terutama dalam hal perempuan hanya menyerahkan hidupnya pada situasi dan kondisi yang sudah terbentuk, jadi tidak punya kekuatan untuk melawan.
“Saya kan sudah seperti itu. Misalnya dalam konteks perempuan, saya kan perempuan, padahal semua manusia punya potensi. Yang membedakan laki-laki dan perempuan itu hanya laki-laki tidak bisa melahirkan dan tidak bisa mengandung juga tak bisa menyusui, selebihnya sama,” Sylvester Kanisius Laku.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (12): Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung
UU Omnibus Law juga Dinilai tidak Berpihak pada Buruh Perempuan
Budaya Patriarki yang Langgeng
Masalahnya,novel Gadis Pantei masih memiliki relevansi yang kuat dengan situasi dan kondisi kekinian di Indonesia. Menurut Sarah Ashilah, budaya patriarki masih langgeng hingga saat ini. Sarah misalnya menyoroti tokoh Mardinah dalam novel Gadis Pantai. Mardinah adalah bangsawan dan bisa baca tulis—kemampuan mewah bagi kaum perempuan masa itu.
“Dia ngejek si Gadis Pantai, ih kamu gak bisa baca, kamu gak pantas menjadi ndoro putri. Dia (Mardinah) tidak menghormati gadis pantai ini hanya karena menurutnya kampungan,” ungkapnya.
Mardinah yang notabene perempuan, adalah produk dari sistem patriarkis. Budaya patriarki membentuk sebuah dinamika perempuan melawan perempuan.
“Jadi di antara perempuan itu kenapa sih persaingannya sangat ketat, karena budaya patriarki itu mengajarkan perempuan buat dilirik oleh cowo, mereka dandan untuk cowo, padahal kan sebenarnya kalau perempuan berdandan itu seharusnya untuk dirinya sendiri. Sama seperti ketika gadis pantai disuruh merubah penampilannya, itu demi mendoronya,” terang sarah.
Jika ditarik dalam kondisi realitas saat ini, menurut Sarah tokoh Mardinah ini ibarat tokoh-tokoh feminis zaman sekarang yang menyuarakan feminisme, merasa dirinya lebih pintar dari perempuan lain,tanpa sadar mereka pun melakukan praktik-praktik patriarki karena mengecilkan perempuan-perempuan yang masih belum paham mengenai feminisme.
“Padahal bukan salah mereka juga, karena memang kenyataannya di Indonesia hak untuk mengakses pengetahuan itu sebuah previlage dan gak semua perempuan punya previlage itu,” ungkapnya.
Sarah mencontohkan di daerah pinggiran Bandung, masih banyak praktik pernikahan dini. Masih banyak perempuan yang tidak bisa mendapat pendidikan yang layak. Sementara perempuan kota sibuk dengan diri sendiri.
“Masih banyak, jangan jauh-jauh di sekitaran Bandung, daerah Ciwidey daerah Lembang, itu masih banyak pernikahan dini yang terjadi. Sementara cewe-cewe kota masih pada sibuk dengan urusannya, pengin mengekspresikan dirinya, tanpa sadar ada yang lebih urgen,” ungkapnya.
Edukasi Laki-laki dan Perempuan dalam Lukisan
Menyoroti budaya patriarki hingga kini terus melanggeng. Salah seojrang peserta diskusi, Erna, melihat fenomena tersebut masih terjadi di masyarakat sekarang, bahwa perempuan di ranah sosial berada di bawah laki-laki. Perempuan didoktrin untuk menjaga diri. Perempuan selalu menjadi sumber persoalan. Di sisi lain, ia melihat pentingnya edukasi terhadap laki-laki tentang posisi perempuan ini.
“Saya sebagai seorang ibu berpikir bahwa salah satu hal yang akan berpengaruh seharusnya juga pada sikap seorang laki-laki pada perempuan, pendidikan anak laki-laki sangat perlu, sehingga pada saat dewasa bahwa nanti dia bisa menghargai perempuan, bahwa dia lahir dari seorang perempuan,” ungkap Erna.
Sepanjang diskusi, seniman Amanda Angela menyampaikan pandangannya tentang posisi perempuan di atas kanvas. Hasilnya, berupa sosok perempuan tanpa wajah, yang dibelenggu dengan berbagai persoalan baik dalam dirinya maupun lingkungan.
Berangkat dari dari teori Simon de Beauvoir, salah tokoh feminis Prancis, Amanda menyimpulkan bahwa perempuan dengan segala permasalahannya belum menemukan dirinya dan masih mencari dirinya sendiri.
“Makanya di sini tanpa wajah, tapi di sini saya menggambarkan dengan adanya payudara, cukup dengan payudara saja, cukup dengan kelamin saja, perempuan itu sudah terindentifikasi. Sementara itu identitas dirinya dimiliki oleh tangan yang bukan dirinya,” ungkapnya.
Amanda mengatakan, perempuan memang menghadapi masalah yang tidak mudah untuk bisa bangkit dari sistem yang ada sekarang ini. Salah satunya, perempuan harus kembali ke dalam dirinya sendiri, menyelesaikan segala beban-beban dogma atau ajaran yang menyangkut dirinya yang mengendap di dalam diri.