Wiji Thukul di Mata Fajar Merah dan Bandnya
Yuda Kurniawan menghadirkan film dokumenter "Nyanyian Akar Rumput", tentang penyair yang hilang dari perspektif anak Wiji Thukul yang suka musik, Fajar Merah.
Penulis Fitri Amanda 2 Desember 2023
BandungBergerak.id - Kisah Wiji Thukul diangkat dalam film dokumenter “Nyanyian Akar Rumput”. Film ini tak
hanya menggambarkan penderitaan keluarga aktivis sekaligus penyair yang menghilang secara misterius pada zaman reformasi 1998, melainkan mengeksplorasi perjalanan Fajar Merah, anak laki-laki Wiji Thukul, dalam menghidupkan kembali karya-karya sang ayah melalui musik bersama bandnya, Merah Bercerita.
Film berdurasi 112 menit garapan sutradara Yuda Kurniawan ini mencoba mengeksplorasi perjalanan penuh emosional Fajar Merah, seorang anak yang tumbuh tanpa banyak kenangan tentang sang ayah.
Fajar tidak memiliki memori yang melimpah bersama ayahnya yang menghilang (dihilangkan) ketika dia masih sangat kecil. Film ini mengungkapkan perjuangan batin dan pencarian identitas seorang anak dengan mempelajari dan melakukan restorasi karya-karya ayahnya.
Yuda Kurniawan mengatakan, ide pembuatan film "Nyanyian Akar Rumput" sudah lahir sejak lama. Sutradara asal Banyuwangi ini sejak kuliah telah berniat membikin film dokumenter Wiji Thukul.
Yuda mengaku sosok penyair yang membuat sajak “Peringatan” itu telah menyentuh hidupnya sejak ia masih berada di bangku SMA. Ketika itu Yuda mendapatkan salinan karya-karya Wiji Thukul dari pamannya.
“Kemudian setelah 98 pecah itu, reformasi dan segala macam makanya saya tahu, oh ini orang ternyata hilang, penyair ini hilang. Dari situlah kemudian ketertarikan saya kepada Wiji Thukul ini dan membaca karya-karyanya sampai kemudian saya tahu Fajar Merah,” tutur Yuda dalam diskusi film dokumenter “Nyanyian Akar Rumput” di diskusi perhelatan Apresiasi Film Jawa Barat 2023, Kamis sore, 30 November 2023.
Diskusi tersebut diawali dengan pemutaran film dokumenter “Nyanyian Akar Rumput” yang digelar di Bandung Creative Hub, Bandung.
Yuda melanjutkan, ia pertama kali mengenal Fajar Merah melalui seorang teman yang kerap hadir di konser-konser Merah Bercerita yang kemudian direkam dan diunggah ke Youtube. Tak selang beberapa lama, Yuda menemukan artikel mengenai Fajar Merah bersama bandnya sedang mempersiapkan rekaman album pertama, dan dalam artikel tersebut menyebutkan keinginan Fajar untuk memusikalisasi puisi-puisi Wiji Thukul.
Yuda merasa hal tersebut merupakan momentum untuk dirinya memulai membuat film dokumenter ini. Terlebih lagi Yuda saat itu mencari cara baru untuk membawakan kisah Wiji Thukul yang sebelumnya sudah ada beberapa film dengan pendekatan yang mirip yang membahas dari sudut pandang sosok aktivis itu sendiri.
Yuda kemudian memutuskan untuk melibatkan Fajar Merah dalam menampilkan sosok si pencipta puisi “Istirahatlah Kata-kata” itu, dengan sentuhan musik dan musikalisasi puisi karya-karya sang penyair.
“Karena saya ingin sudut pandang dari anaknya yang kebetulan juga main musik dan ini menjadi media yang asyik untuk kemudian anak muda juga tahu. Karena musik adalah bahasa universal dan pasti anak muda juga tahu dan kebetulan waktu itu Fajar ini udah punya fanbase karena saya lihat subscribernya lumayan terus di Instagramnya juga banyak followernya. Dari situ akhirnya saya mencari jalan gimana caranya saya bisa berkenalan dengan Wiji Thukul gitu kan,” jelas Yuda.
Perjalanan untuk mengenali Wiji Thukul secara lebih dekat membawa Yuda ke Solo, dengan bantuan seorang teman yang sebelumnya pernah membuat film tentang Wiji Thukul, ia bisa merekam beberapa aksi panggung Fajar Merah.
Yuda semakin terpikat dengan ide untuk merangkai sebuah narasi yang lebih besar. Pada pertengahan 2014, menjelang pemilihan presiden, saat kondisi politik tengah memanas, Yuda mulai melihat peluang untuk menyampaikan kisah keluarga Wiji Thukul dari sudut pandang Fajar, yang tidak hanya melibatkan musiknya tetapi juga mencerminkan realitas sosial-politik Indonesia pada saat itu.
Pada awalnya, Yuda tidak langsung memulai proses perekaman filmnya ketika pertama kali bertemu dengan Fajar Merah. Awalnya, pertemuan itu lebih bersifat informal, diisi dengan obrolan santai. Yuda sengaja memposisikan dirinya sebagai penggemar, bukan sebagai pembuat film. Yuda ingin menciptakan koneksi yang lebih pribadi dan santai.
“Selama ngobrol ternyata obrolannya nyambung. Kami ngobrol musik dan segala macem. Dia suka The Beatles, saya juga suka The Beatles. Dia suka Nirvana, saya juga suka Nirvana. Setelah nyambung dan kita kayak semacam ada kemistri, terus kemudian ya sudah saya memberanikan diri ngomong ke dia untuk mau bikin film tentang Fajar dan bandnya," lanjut Yuda bercerita.
Sejarah Kelam janganlah Terulang
Film dokumenter yang menyabet Piala Citra dalam Festival FIlm Indonesia (FFI) 2018 pada kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik memberikan kesan tersendiri bagi para penonton yang hadir di Bandung Creative Hub. Onel (20 tahun) yang menyampaikan keterkejutan dan kagumnya terhadap kesederhanaan sinematografi film yang mampu menghasilkan pengalaman yang membekas bagi dirinya.
“Terus tadi juga sempat nangis dan emosional banget karena ternyata ada ya ceritanya, yang tadinya aku nggak tau siapa itu Wiji Thukul, sekarang jadi tau. Terus ada cerita dari perspektif anaknya yang bener-bener kayak, oh ternyata dia tuh belum banyak loh momennya sama bapaknya gitu,” ungkap Onel.
Tanggapan lainnya juga diungkapkan oleh Anggita (21 tahun). Ia mengaku bahwa dia memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai sosok Wiji Thukul, tanpa mengetahui latar belakang dan perjalanan hidupnya secara mendalam. Namun, melalui pengalaman menonton film ini, Anggita merasa bahwa film tersebut membuka matanya terhadap cerita yang lebih dalam.
Anggita yang merupakan mahasiswi ilmu komunikasi itu juga turut menyuarakan harapannya setelah menonton film “Nyanyian Akar Rumput”. Menurut Anggita, film tersebut menghadirkan sesuatu yang bukan hanya sebagai kisah sejarah, tetapi juga sebagai peringatan untuk memastikan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut dapat membentuk kesadaran kolektif untuk mencegah terulangnya kejadian yang serupa.
“Itu kan adalah sesuatu yang menjadi sejarah, dan harapannya sejarah atau masa lalu yang kelam itu janganlah sampai terulang di era saat ini,” tutur Anggita.
Baca Juga: Menghadirkan Pengetahuan Lewat Media Kaus
Wacana dalam Catatan
Menonton dan Mendiskusikan Film Dago Elos Never Lose, Menggaungkan (Kembali) Suara Perlawanan
Sekilas Biografi Wiji Thukul
Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh, demikian dikutip dari laman ensiklopedia.kemdikbud.go.id. Laman tersebut menjelaskan, Thukul berasal dari keluarga tukang becak. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, ia berhasil menamatkan SMP (1979), lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, tetapi keluar (drop-out) pada tahun 1982.
Setelah itu, ia berjualan koran, kemudian oleh tetangganya diajak bekerja di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur. Ketika bekerja sebagai tukang pelitur itu, ia sering mendeklamasikan puisinya untuk teman sekerjanya.
Wiji Thukul, dikenal sebagai penyair pelo (cadel), ia mulai menulis puisi ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan mulai tertarik pada dunia teater ketika di sekolah menengah pertama (SMP).
Melalui teman sekolahnya, ia ikut sebuah kelompok teater, yaitu Teater Jagalan Tengah (Jagat). Bersama dengan rekan-rekan dalam Teater Jagat itulah ia pernah keluar masuk kampung, tidak hanya di wilayah Solo, tetapi juga hingga ke Yogyakarta, Klaten, dan Surabaya – mengamen puisi dengan berbagai iringan musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dan sebagainya.
Tahun 1988 ia pernah menjadi wartawan Masa Kini—walaupun hanya tiga bulan. Sajak-sajaknya diterbitkan dalam media cetak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Suara Pembaharuan, Bernas, Surabaya Post, Merdeka, Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan penerbitan mahasiswa, seperti Politik (Universitas Nasional, Jakarta), Pijar (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), dan Keadilan (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta).
Jika dibandingkan dengan yang dimuat di media cetak, sajaknya lebih banyak berbentuk fotokopi yang tersebar di antara kawan-kawan dan orang yang mengaguminya. Selain menulis sajak, Thukul juga menulis cerpen, esai, dan resensi puisi. Dua kumpulan sajaknya, Puisi Pelo dan Darman dan Lain-Lain, diterbitkan oleh Taman Budaya Surakarta.
Tahun 1989 ia diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Tahun 1991 ia tampil di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis, di Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta. Tahun 1992 sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit, ia bergabung bersama masyarakat sekampungnya, di sekitar pabrik tekstil PT Sariwarna Asli, untuk ikut memprotes pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tekstil itu.
Pada tahun 1991 ia menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Negeri Belanda. Bersama W.S. Rendra, Wiji Thukul merupakan penerima hadiah pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda, W.F. Wertheim.
Dalam "Esai Pengantar" buku kumpulan puisi Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, Munir menyatakan bahwa kalimat pendek, "Hanya ada satu kata, 'Lawan!'" jauh lebih dikenal daripada Wiji Thukul sebagai seorang yang telah menorehkan puisi perlawanan.
Thukul telah berhasil menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan. Kalimat itu telah menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba menemukan kembali jati dirinya, yaitu sebuah kekuatan melawan rezim otoritarianisme. Kalimat itu telah menunjukkan pilihan hidup
Wiji Thukul untuk bergabung dengan setiap barisan perlawanan atas rezim militeristik Orde Baru. Pilihan ini bukan pilihan yang mudah. Dia telah membayar mahal. Dia telah menjadi korban praktik penghilangan orang. Thukul benar-benar sosok militan yang cukup cerdik untuk menggerakkan dirinya dan anggota masyarakat lain agar peduli akan masa depan. Di balik ketegarannya itu, Thukul adalah pribadi yang penuh misteri, seperti banyaknya lompatan misteri di balik puisi-puisinya.
Tentang "proses kreatif", Thukul menyatakan dalam "Pengantar" buku Aku Ingin Jadi Peluru halaman xiv bahwa penyair haruslah berjiwa bebas dan aktif'. Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya. Oleh sebab itu, belajar terus-menerus mutlak dilakukan. Belajar tidak harus di bangku sekolah atau di kampus, tetapi bisa di mana-mana dan kapan saja: di perpustakaan atau membaca gelagat lingkungan atau apa saja, pokoknya yang bisa mempertajam kepekaan penyair terhadap gerak hidup dirinya dan hidup di luarnya.
Arief Budiman menyatakan, "Membaca puisi Wiji Thukul adalah membaca otobiografi kejiwaan penyair. Dia menceritakan nasib jutaan rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh proses pembangunan yang terlalu menguntungkan kaum elitenya”.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Film Dokumenter