Ketakutan Rezim Orde Baru pada Musik dan Pemuda Berambut Gondrong
Pengaruh musik cukup menggetarkan rezim Orde Baru. Rezim militer ini gencar merazia orang-orang berambut gondrong.
Penulis Daffa Primadya Maheswara26 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Berbicara perkembangan musik tanah air pada zaman Suharto berkuasa, tentu memiliki daya tarik tersendiri. Masa itu musik tertentu dianggap dapat merongrong kekuasaan. Situasi zaman juga membuat musik tak mudah diakses. Bahkan gaya hidup yang dipengaruhi musik, seperti berambut gondrong, dilarang.
Isu-isu tersebut mungkin terdengar aneh dan baru bagi generasi muda sekarang yang mengalami kebebasan menikmati musik melalui Youtube, Spotify, dan mesin digital pemutar musik lainnya.
Rolling Stones merupakan salah satu kelompok musik barat yang menanamkan pengaruh kuat pada generasi muda zaman Suharto. Penulis musik Irfan Muhammad alias Irfan Phopish mengatakan, gaya Stones meliputi rambut gondrong dengan penampilan nyentrik.
Musik memang bukan sekadar seni pertunjukkan atau suara. Di dalam musik terdapat nilai-nilai budaya dan turunannya, seperti fesyen. Nilai-nilai di dalam musik inilah yang dipandang memiliki potensi kekuatan yang akan merongrong kekuasaan atau pemerintah. Setidaknya demikian pandangan rezim Orde Baru.
Apalagi musik Stones menurut Irfan banyak menyuarakan kelompok marjinal. Salah satu lagu rock n roll dari Rolling Stones yang antiperang antara lain “Gimme Shelter”.
"Seperti halnya isu perang Vietnam saat itu, isu tersebut dibawa dalam musik yang menjadi trend, yang mengusung antimilitersime. Namun pemerintah Orde Baru juga sangat militerisme yang akhirnya menjadi ancaman bagi negara," ucap Irfan Muhammad, dalam diskusi Panitia Jumaahan bertajuk: Musik Populer Era Orba di Kedai Jante, Jalan Garut No 2 Kota Bandung, Jumat (25/8/2023).
Mick Jagger, vokalis Rolling Stones, mampu memikat anak-anak muda Indonesia era Orde Baru. Namun Jagger kemudian menjadi istilah negatif yang identik dengan premanisme atau bromocorah. Di Bandung, kata Irfan, istilah jegger dipakai untuk menyebut preman jagoan.
Sebutan jegger misalnya berlaku pada calo-calo tiket bioskop independen yang banyak bertebaran di Bandung. Dahulu, bioskop merupakan tempat hiburan bagi anak muda.
Audry Rizki Prayoga, penulis musik lainnya yang menjadi narasumber dalam acara Panitia Jumaahan, mengatakan kekuasaan Orde Baru tak hanya ditopang militerisme. Rezim ini melancarkan propagandanya melalui media massa.
Pada masa itu, nyaris mustahil media massa mengkritik kekuasaan Orde Baru. Kalaupun mereka berani mengkritik, siap-siap saja kena bredel.
Menurut Audry, jegger dicap sebagai istilah negatif dan berbahaya. “Istilah jegger juga di goreng oleh beberapa media dan majalah saat itu," ucapnya.
Di sisi lain, kata Audry yang menulis tesis tentang musik, media massa juga berperan besar dalam mengkampanyekan budaya musik. Contohnya, majalah musik Aktuil yang menjadi acuan anak muda.
Menurut Audry, awalnya Suharto tidak begitu peduli pada budaya ataupun musik. Namun karena semakin maraknya budaya barat yang masuk ke Indonesia, maka musik menjadi persoalan yang dipandang serius.
Musik Rolling Stones sendiri pada awal masuk ke Indonesia menyasar kelas menengah ke atas yang mampu membeli piringan hitam. Dalam perkembangannya, lagu-lagu Rolling Stones mengalami pembajakan seiring munculnya kaset pita. Maka pemuda kelas marjinal pun bisa mengakses lagu rock n roll ini.
Kaum menengah ke atas akhirnya beralih ke musik progresif karena menganggap kelas musik Stones sudah tidak ekslusif lagi.
Rambut Gondrong Urusan Negara
Pemerintah Orde Baru menganggap anak muda dengan gaya rambut gondrong identik dengan kemalasan dan bertentangan dengan semangat pembangunan bangsa. Urusan rambut gondrong ini bahkan menjadi persoalan serius negara.
Pangkopkamtib Jenderal Sumitro di TVRI mengatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh (Semula Kita Senang dengan Situasi Akhir-Akhir Ini, 2 Oktober 1973:1), dikutip dari dari Journal of Indonesian History 2019 yang ditulis Taufik Silvan Wijanarko, Putri Agus Wijayanti, dan Abdul Muntholib (Tufik dkk).
Tufik dkk menyatakan pernyataan jenderal tersebut menarik sekaligus menggelikan. Seorang pejabat tinggi, disiarkan dalam skala nasional, membahas persoalan rambut.
Namun menurut para penulis dari Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Semarang-Indonesia itu, wacana tersebut seakan menjadi gong atau tanda bahwa kebijakan pelarangan rambut gondrong telah disahkan. Aparat negara mulai melakukan razia di jalan terhadap pemuda berambut gondrong. Bahkan, seperti terjadi di beberapa tempat, operasinya melibatkan anggota pasukan teritorial. Senjata yang mereka gunakan bukan lagi senjata laras panjang, seperti AK-47 atau M-16 melainkan gunting rambut.
“Begitu menggelikan jika dibayangkan, tentara yang begitu garang menyusuri jalan-jalan mencari orang berambut gondrong dengan membawa gunting rambut. Aksi razia rambut gondrong masif terjadi hingga beberapa tahun,” tulis (Tufik dkk).
Baca Juga: Parade Foto Trotoar-trotoar Rusak di Kota Bandung
Kamp Interniran Jepang di Bandung, Bagian Sejarah yang Terlupakan
Aksi Kamisan Bandung Mengecam Represi Polisi di Dago Elos
Musik Kiwari
Kini, semua orang bisa mengakses musik dengan cara-cara mudah melalui gawainya. Kendati demikian, Irfan menilai di tengah kemudahan itu skena musik zaman kiwari justru sedikit kehilangan identitasnya.
Irfan mencatat, ada kelompok musik yang mengusung genre punk namun kehilangan identitas punknya. Mungkin hal ini terjadi karena pengorginisasian musuk zaman sekarang berbeda dengan satu atau dua dekade silam. Sekarang, skena musik sangat tergantung korporasi.
"Saya banyak ngobrol dengan para pegiat musik era sekarang yang membuat acara tidak bisa lepas dengan pihak korporat," katanya.
Fenomena lain yang menurut Irfan aneh adalah adanya senioritas dalam kancah skena musik kontemporer. Padahal, idealnya panggung-panggung musik diisi oleh generasi-generasi baru dengan visi dari angkatan lama.