• Narasi
  • Kamp Interniran Jepang di Bandung, Bagian Sejarah yang Terlupakan

Kamp Interniran Jepang di Bandung, Bagian Sejarah yang Terlupakan

Di masa pendudukan Jepang , orang-orang Belanda menjadi tawanan perang dan dimasukkan ke kamp-kamp interniran. Tak terkecuali perempuan dan anak-anak.

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Warga sipil di kamp interniran di Tjideng, Batavia. (Foto Koleksi Imperial War Museum Nomor SE 4863, Sumber iwm.org.uk)

25 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Masa penjajahan, di mana pun itu, membawa kesengsaraan bagi semua orang, baik yang terjajah maupun yang dijajah. Demikian pula di Indonesia. Tiga ratus lima puluh tahun lamanya Belanda menguasai Nusantara; menguras kekayaan alam dan menyengsarakan rakyat pribumi. Tetapi, ketika Jepang datang pada tahun 1942, orang-orang Belanda juga ikut menderita. Mereka menjadi tawanan perang dan dimasukkan ke kamp-kamp interniran.

Kamp dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu kamp tawanan sipil khusus pria, remaja, serta wanita dan anak-anak serta kamp bagi para pejabat tinggi Hindia Belanda. Selain orang Belanda ada juga orang Amerika, Inggris, dan Australia. Profesi mereka pun beragam, dari misionaris, administratur perkebunan, pengusaha ,biarawati, juga perawat dan dokter.

Namun, pada Juli 1944 Jepang membuat kebijakan baru yaitu memisahkan anak laki-laki dari kamp wanita (Vrouwen kampen) dan membuat kamp sendiri dengan sebutan Jongen Kampen atau kamp anak laki-laki berusia 10 - 15 tahun. Anak laki-laki usia 16 tahun ke atas dimasukkan ke kamp pria (Mannen kampen). Hal ini sengaja dilakukan untuk menghindari konflik. Akibat pemisahan ini, banyak orang-orang Belanda yang tidak bertemu lagi dengan keluarga mereka, bahkan  setelah keluar dari kamp.

Secara umum, keadaan di kamp-kamp ini jauh dari layak. Kekurangan makanan, air, dan obat-obatan adalah hal yang biasa. Menu makanan yang disajikan tiap hari hanya bubur kanji, mengakibatkan kekurangan gizi. Untuk bisa makan, para tahanan sering bertransaksi diam-diam dengan warga lokal dari balik pagar kamp. Bila ketahuan, mereka bisa diganjar hukuman berat. Kamar mandi atau kakus sangat tidak memadai sehingga mengakibatkan wabah penyakit seperti kolera atau disentri. Tempat tidur, yang digunakan bersama, sering menjadi sarang nyamuk, tikus, atau lintah.

Tantangan selain buruknya sanitasi dan gizi adalah menghadapi rasa bosan. Untuk mengisi waktu luang, para tahanan melukis, menulis puisi atau buku harian, dan menggambar. Semua hasil karya penghuni kamp saat ini disimpan di Museum Ilmu Pengetahuan Budaya Den Haag yang bernama Museon Museum. Salah satunya adalah lukisan J. Boesveld yang dibuat pada 24 Januari 1945, menggambarkan keadaan kamp interniran Tjimahi.

Gambar karya J. Boesveld mengenai kamp Kedungbadak dan Tjimahi, 1944-1945. (Koleksi NIOD, Sumber geheugen.delpher.nl)
Gambar karya J. Boesveld mengenai kamp Kedungbadak dan Tjimahi, 1944-1945. (Koleksi NIOD, Sumber geheugen.delpher.nl)

Baca Juga: Mengantisipasi Serangan Udara Jepang di Bandung
BUKU BANDUNG (36): Catatan Kekejaman Fasisme Jepang di Bandung Selatan
Pasar Cihapit: Dari Kamp Tawanan Jepang ke Pasar Rujukan

Kamp Interniran Cihapit

Di kamp interniran Cihapit, Bandung, kadang ada pertunjukan kabaret yang dipentaskan oleh Corrie Vonk, seorang aktris Belanda yang ditahan di sana ketika dia kebetulan sedang berlibur ke Hindia Belanda. Ironisnya, pergaulan bebas juga tak terhindarkan. Sering ditemukan tahanan wanita dewasa yang berpacaran dengan bocah laki-laki di bawah usia 19 tahun.

Para tawanan ini juga dimanfaatkan Jepang untuk mengerjakan berbagai proyek. Awalnya hanya tugas membersihkan area di dalam dan sekitar kamp. Namun mulai Agustus 1942, pekerjaan ditambah ke skala yang lebih besar bagi kaum pria, seperti membangun jalan, rel kereta api, atau jembatan. Salah satunya adalah membangun rel kereta api dari Pekanbaru ke Muaro, Sumatera Selatan, yang banyak memakan korban.

Tawanan wanita ditugaskan menjahit baju untuk tentara Jepang, selain bekerja di kebun sayur.  Mereka juga “dikaryakan” sebagai pemuas nafsu birahi para prajurit. Tidak jarang banyak yang hamil. Walaupun demikian mereka tetap harus tetap tinggal di kamp dan bekerja seperti tahanan lainnya. Tak jarang mereka melahirkan di kamp. Namun banyak juga yang bayinya diaborsi.

Pada tahun 1944, suasana kamp sipil  menjadi lebih militer. Para tahanan, juga personel kamp pribumi, diwajibkan membungkuk setiap ada orang Jepang lewat. Mereka juga harus melakukan apel pagi dengan membungkuk untuk menghormati Tenno Heika, dewa matahari Jepang. Bungkukkan itu harus sempurna, 90 derajat, kalau tidak mereka akan menerima hukuman. Bahkan mereka pun harus membungkuk kepada mobil pengangkut makanan yang lewat.

Peta kamp Tjihapit, Bandung. (Foto: Dokumentasi Alda Agustine Budiono)
Peta kamp Tjihapit, Bandung. (Foto: Dokumentasi Alda Agustine Budiono)

Setelah Jepang Kalah

Setelah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu pada tahun 1945, keadaan kamp juga tidak menjadi lebih baik. Kamp Cihapit, misalnya, menjadi sasaran amarah warga pribumi yang tinggal di sekitarnya. Penculikan, pelemparan batu, dan pembunuhan banyak terjadi. Pada tanggal 24-25 November 1945, Kamp Cihapit diserang oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan kelompok-kelompok liar. Untungnya, tentara Sekutu sudah ada di sana, sehingga serangan ini dapat digagalkan. Walaupun sudah keluar dari kamp, para eks interniran menghadapi masa depan yang tidak jelas selama masa perang kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945-27 Desember 1949).

Beberapa di antara penyintas kamp interniran menuliskan kisah mereka dalam buku. Frans (Pans) Schomper dalam Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur, menggambarkan perjalanan hidupnya sebagai anak pemilik Hotel Schomper (sekarang New Naripan, Bandung); dari hidup nyaman sampai harus menjadi tawanan perang Jepang. Ada juga Three Came Home oleh Agnes Keith, yang mengisahkan pengalaman di kamp interniran Sandakan dan Kuching, The Forgotten Ones oleh Shirley Fenton-Huie, dan Fifty Years of Silence oleh Jan Ruff O'Herne.

Periode kamp interniran memang masa kelam dalam sejarah Indonesia yang tidak banyak dibahas dalam buku-buku pelajaran sejarah. Daerah Cihapit, misalnya, saat ini menjadi surga kuliner, yang terkenal dengan Lotek Mak Eha. Di Semarang, ada SMP 39 tang dulunya merupakan bagian dari kamp interniran Lampersari. Sebuah rumah di Jalan Kramat no. 7, tidak jauh dari rumah Raden Saleh (Rumah Sakit Cikini sekarang), juga merupakan bekas kamp interniran. Sayangnya, banyak bekas rumah dan kawasan kamp interniran yang tidak terawat atau sudah hancur.

Mungkin ada di antara kita, orang Indonesia,  yang berpikir bahwa orang-orang Belanda di kamp interniran layak menerima balasan atas penjajahan terhadap bangsa pribumi selama 3.5 abad. Namun pada akhirnya, mereka juga manusia. Perlakuan Jepang terhadap mereka selama menjadi tawanan sangat merendahkan derajat. Banyak di antara para tawanan, yang kini sudah berusia lanjut, mengalami trauma seumur hidup.

Mantan perdana menteri Jepang, Shinzo Abe (2012-2020) telah meminta maaf atas kejahatan perang dan "tidak akan melupakan wanita-wanita di medan perang saat itu yang kehormatan dan martabatnya dihancurkan”. Pernyataan ini mengacu pada jugun ianfu, wanita-wanita tawanan yang dipaksa “melayani” tentara Jepang selama Perang Dunia II. Walaupun demikian, apa yang terjadi di kamp interniran tidak akan dapat dihapus dari sejarah.

Biarlah masa kelam itu menjadi pelajaran bagi dunia.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//