BUKU BANDUNG #51: Kisah Jin dalam Botol dan Pilgub Jabar Pascaruntuhnya Orde Baru
Tim penulis buku dari Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB) menyatakan, buku ini mencatat sebuah peristiwa sejarah perjalanan rakyat Jawa Barat.
Penulis Mawaddah Daniah13 November 2022
BandungBergerak.id – Pemilihan kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, merupakan salah satu yang terkena imbas secara langsung oleh reformasi 1998. Gerakan sosial yang meruntuhkan rezim Orde Baru itu memaksa masyarakat untuk memahami kembali kehidupan demokrasi yang seutuhnya. Rakyat diajak mengikuti proses kegiatan politik, tidak terkecuali di Jawa Barat.
Buku “Berebut Kursi Goyang” yang ditulis pada tahun 2003 mendokumentasikan bagaimana proses peristiwa politik pemilihan gubernur pada pascareformasi. Tahun tersebut merupakan tahun pertama pemilihan gubernur Jawa Barat setelah Orde Baru tumbang.
Tim penulis buku dari Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB) menyatakan, buku ini dapat membantu masyarakat untuk melihat lebih jauh kerja para politikus dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Sekaligus sebagai upaya mencatatkan sebuah peristiwa menjadi buku sejarah perjalanan rakyat Jawa Barat.
Melalui buku ini, tim penulis FDWB yang juga jurnalis memberikan fakta sesuai kejadian yang direkamnya di lapangan selama proses Pilgub Jabar berlangsung. Sikap independen diupayakan tetap terjaga untuk menghindari bias dalam pemberitaan.
Tulisan dibuka dengan menampilkan cerita fiksi berjudul “Jin dan Calon Tajir”. Dikisahkan bahwa jin itu terperangkap dalam sebuah botol, lalu dibuka oleh seorang anggota DPRD Jabar yang sedang berjalan-jalan di pantai Pangandaran.
Seperti cerita fiktif pada umumnya, jin tersebut ingin mengabulkan permohonan pada orang yang telah membebaskannya dari botol. Lalu, sang wakil rakyat tersebut menyampaikan permohonannya.
“Jin, saya ingin tahu siapa yang akan menjadi Gubernur Jawa Barat nanti, yang akan menjadi nomor satu di Gedung Sate?” tanyanya.
Namun, jin tersebut diam beberapa saat. Sepertinya ia tidak berani menjawab pertanyaan tersebut. Akhirnya sang jin memilih masuk kembali ke dalam botol daripada harus mengabulkan pertanyaan wakil rakyat.
Menurut tim penulis, kisah fiktif tersebut sempat hidup sebagai joke di kalangan anggota DPRD Jawa Barat pada masa Orde Baru berkuasa. Jika ditafsirkan, kisah jin ini sebagai sindiran pada kekuasaan yang terkesan misterius dan memiliki kewenangan yang absolut dalam memutuskan segala sesuatu.
Para wakil rakyat yang salah satu tugasnya memilih seorang gubernur, ternyata sama sekali tidak tahu siapa yang harus mereka dukung. Sebab sudah ada kekuasaan lain yang berwenang menyodorkan calon yang mau tidak mau harus diterima anggota dewan. Calon tersebut dikenal dengan mayoritas tunggal.
Di masa Orde Baru sampai gelombang reformasi menyapunya, pemilihan kepala daerah tidak dilakukan oleh rakyat seperti sekarang melalui pemilu langsung. Saat itu persoalan gubernur atau bupati dan wali kota bukanlah persoalan pubik yang secara bebas bisa diketahui dan diikuti prosesnya oleh masyarakat. Sekian lama masyarakat hanya menjadi pihak yang bersiap nampi beres, terima jadi saja. Mempermasalah pemilihan kepala daerah akan dianggap sama saja dengan mengganggu stabilitas dan kelanjutan pembangunan.
“Pada masa jayanya mayoritas tunggal, dengan mengambil contoh di Jawa Barat, seorang gubernur harus selalu berasal dari kalangan militer. Proses pilgub belum akan dimulai, jika belum ada kepastian lolos butuh terhadap seorang calon. Setelah diketahui secara pasti figur yang mendapat restu dari Jakarta, barulah dicari satu atau dua orang lagi yang akan menjadi calon gubernur penggembira,” demikian kata tim penulis Berebut Kursi Goyang.
Disebutkan bahwa menurut beberapa mantan anggota dewan, sebelum pemilihan gubernur berlangsung, lazimnya diadakan semacam gladi resik dalam rapat tertutup. Tujuannya untuk membagi-bagi suara. Dengan suara yang tersebar ke seluruh calon, meski kentara sekali jomplangnya, setidaknya sebagian masyarakat yang masih percaya akan menilai pemilihan berlangsung secara demokratis.
Tim penulis menyatakan, tugas calon penggemira memang tidak susah. Dia hanya duduk di samping calon yang pasti jadi, sambil menunggu limpahan tiga atau empat suara dari wakil rakyat. Biasanya calon seperti ini berasal dari yang memang sudah dikenal kalangan birokrasi dan dijamin tidak akan berbuat di luar skenario.
Kini zaman telah berubah. Tim penulis FDWB menyatakan bahwa mayoritas tunggal hanya tinggal kenangan pahit. Kekuasaan absolut pun pudar. Semua orang mulai belajar lagi menata kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeja kembali makna demokrasi.
“Proses pemilihan gubernur yang semula tidak ubahnya seperti dunia lain, pada batas-batas tertentu bisa langsung diteropong secara leluasa oleh rakyat. Berbagai dinamika di dalamnya menjadi menarik untuk diikuti,” lanjut tim penulis FDWB.
Pilgub Jabar Gaya Baru
Pilgub periode 2003-2008 merupakan pilgub gaya baru dan peristiwa pertama kalinya yang terjadi di Jawa Barat pascareformasi. Saat itu, politik di negeri ini ibarat dunia antah-berantah karena belum disusunnya aturan dan perundangan mengenai pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Semua dilakukan serba baru yang serba meraba-raba. Di sisi lain, masyarakat Tatar Sunda seperti menemukan kembali kebebasannya.
Maka jangan heran ketika panitia pemilihan (Panlih) DPRD Jawa Barat membuka selebar-lebarnya pendaftaran bagi para peminat kursi gubernur dan wakil gubernur. Hingga hari terakhir pendaftaran tanggal 7 Maret 2003 tercatat 171 pemohon yang mengambil formulir.
Tim FDWB mencatat, dari 171 pemohon hanya 96 orang mengembaikan formulir beserta kelengkapannya ke panitia pemilihan. Setelah diteliti kelengkapannya, 16 orang dinyatakan gugur karena berkas dinyatakan tidak komplet. Para pendaftar ini beragam mulai dari pengayuh sepeda sekaligus pecinta kebersihan Sariban, hingga orang-orang bertaburan bintang TNI dan Polri.
Menurut tim penulis FDWB, membludaknya peminat seperti itu memunculkan nada sinis dari sejumlah pengamat politik. Ada yang bilang, keadaan tersebut menunjukkan tidak berwibawanya proses pilgub sehingga sembarang orang pun bisa mencatatkan namanya dalam formulir pendaftaran. Seharusnya ada persyaratan-persyaratan khusus yang membatasi kemungkinan terjadinya dagelan di arena politik tersebut.
Pengamat lain menyatakan, kritik serupa itu wajar dilontarkan. Tapi mereka juga minta agar tidak meremehkan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
“Dalam konteks ini hak yang dimiliki seorang Sariban sama dengan hak yang dipunyai sorang Tayo Tarmadi. Karena itu jangan melakukan sakralisasi atas sesuatu yang memang tidak perlu untuk disakralkan,” (halaman 6, Berebut Kursi Goyang).
Baca Juga: BUKU BANDUNG #48: Hitam Putih Kota Kembang
BUKU BANDUNG #49: Melacak Pengaruh Kopi dan Sistem Priangan pada Kebudayaan Sunda
BUKU BANDUNG #50: Memotret Harapan Warga Pinggiran di Usia 200 Tahun Bandung
Liputan Media
Pada bab “Menebak Arah Angin”, tim penulis FDWB menyoroti peran media dalam memberitakan kegiatan memperebutkan kursi gubernur Jabar. Buku ini memfokuskan pada tiga media lokal yang memberikan porsi banyak terhadap pemilihan gubernur saat itu, yaitu Pikiran Rakyar, Galamedia, dan Metro Bandung.
Melalui potret yang disajikan tiga media ini, tim penulis ingin menunjukkan bagaimana media membingkai isu pilgub kepada masyarakat.
“Kesamaan isu sering terjadi dalam pemberitaan Pikiran Rakyat dan Galamedia. Keduanya memang berada dalam satu grup. Metro Bandung di luar grup itu. Satu lagi terbitan lokal, yakni Radar Bandung, sebenarnya sempat mengikuti proses ini. Cuma, porsinya tidak terlalu banyak karena koran itu lahir saat proses hampir berakhir,” (halaman 95, Berebut Kursi Goyang).
Disebutkan bahwa media terbitan Jakarta tidak menjadikan pemilihan gubernur Jabar ini sebagai agenda yang sangat penting. Kompas dan Madia Indonesia hanya sesekali memuat perkembangan proses tersebut. Republika melalui halaman daerah Kalam Jabar terlihat memberi porsi lebih banyak dibanding Kompas dan Media Indonesia, tapi porsinya tidak sebanyak media lokal.
Ketersediaan ruangan yang cukup besar di media lokal itu terkesan mendorong khalayak untuk menjadikan momen pemilihan gubernur sebagai agenda paling penting. Melalui pemberitaan secara rutin, masyarakat juga diharapkan mampu mengontorl setiap tahap pemilihan gubernur.
Tapi tim penulis FDWB menyatakan, yang terjadi tak sepenuhnya sesuai harapan. Perhatian masyarakat terhadap pemulihan gubernur tidak terlampau banyak. Ini terbukti dari minimnya aspirasi murni dari masyarakat mengenai pemilihan gubernur yang masuk ke dewan. Hanya kalangan elite seperti mahasiswa dan para ahli yang bersedia hearing dengan dewan untuk memberi masukan.
“Unjuk rasa memang hampir setiap hari berlangsung di halaman DPRD. Cuma, massa yang menjadi peserta aksi umunya massa bayaran yang sama sekali tidak menguasai isu unjuk rasa. Mereka dikerahkan ormas atau kelompok kagetan yang berkepentingan dalam proses pemilihan gubernur,” (halaman 96, Berebut Kursi Goyang).
Bab “Menebak Arah Angin” ini sekaligus sebagai penutup buku Berebut Kursi Goyang. Meski membahas sejarah politik di Jawa Barat, buku ini tidak membosankan untuk terus dibaca. Buku dikemas dengan bahasa sederhana dan ringan. Bagi sebagian orang yang tidak bisa membaca buku lama-lama karena bahasan yang berat, buku ini bisa menjadi pertimbangan. Gaya penulisan buku ini memadukan kisah fiktif dan nyata, sehingga mengajak pembaca untuk berimajinasi dalam mencerap cerita.
Di tambah, terdapat beberapa ilustrasi ciamik yang relevan dengan isi dari buku ini. Walaupun terlihat warna dan desain covernya yang jadul, tetapi jika dibuka isinya, tidak menampakkan bahwa tulisan buku ini berarti jadul pula.
Informasi Buku
Judul : Berebut Kursi Goyang
Tim Penulis : Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), Enton Supriyatna Sind, Irfan Junaidi, Rahim Asyik, Sulthan Syafi’i, dan Taufik Abriansyah
Penerbit : Bandung Institute of Governance Studies (BIGS)
Tebal : 131 Halaman
Cetakan : Pertama, agustus 2003
ISBN : 979-97256-4-x