BUKU BANDUNG #49: Melacak Pengaruh Kopi dan Sistem Priangan pada Kebudayaan Sunda
Di buku Kopi dalam Kebudayaan Sunda, Atep Kurnia melacak pengaruh besar kopi berkat kebijakan kolonial Sistem Priangan. Lebih dari sekadar kebiasaan ngopi.
Penulis Awla Rajul26 September 2022
BandungBergerak.id - Selama kurang lebih lima tahun ke belakang, semua hal tentang kopi menjadi tren di Bandung. Kedai-kedai kopi bermunculan ibarat jamur di musim hujan. Bukan hanya nama-nama yang sudah terkenal dan mentereng, tapi juga yang lokal dan baru dirintis. Tak mau kalah, kedai-kedai kopi jadul nan legendaris.
Dirunut ke belakang, budaya per-kopi-an di tanah Sunda ini memiliki sejarah yang amat panjang. Penulis Atepi Kurnia, dalam halaman pendahuluan bukunya Kopi dalam Kebudayaan Sunda, menyebut kopi hadir di Pulau Jawa, khususnya di Priangan, sejak akhir abad ke-17. Bersama Sistem Priangan (Preangerstelsel) yang diterapkan oleh Belanda, kopi telah mempengaruhi kebudayaan di Priangan khususnya dan Sunda umumnya.
Tanaman kopi pertama di tanah Hindia Belanda, yang dibawa dari Pantai Malabar, India, tiba di Batavia pada akhir abad ke-17. Mula-mula, tanaman kopi menjadi tanaman hias pegawai kompeni. Upaya memperkenalkan kopi lebih luas kemudian dilakukan bersamaan dengan kepentingan kompeni saat itu. Priangan menjadi lokasi yang dipilih untuk Sistem Priangan, yaitu sistem tanam paksa kopi yang berlangsung selama 194 tahun menurut De Klein atau 150 tahun menurut Breman.
Buku Kopi dalam Kebudayaan Sunda memberikan informasi yang kuat tentang pengaruh tanaman kopi yang begitu besar dan mendasar dalam berbagai aspek kebudayaan, mencakup sistem pertanian, permukiman, dan bahkan kekuasaan.
Yang menarik, dalam penyusunan buku yang terbit dalam kerja sama dengan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat ini, penulis melakukan studi pustaka Sunda sebagai khazanah referensi, baik yang menggunakan bahasa Sunda, Belanda, maupun aksara Cacarakan. Bisa dijadikan bacaan ringan, buku setebal 148 halaman yang sarat informasi tentang sejarah kopi ini menyodorkan perspektif yang lebih luas, dan lebih dalam, untuk melihat fenomena menjamurnya warung kopi saat ini.
Kopi dan Sistem Priangan
Buku Kopi dalam Kebudayaan Sunda berisi 18 bagian yang membahas seputar kopi dan hal yang dipengaruhi olehnya, seperti warna, motif batik, toponimi, sajen, sisindiran, dan musik.
Atep Kurnia menelusuri kamus-kamus Sunda, mulai dari kamus karya Andries de Wilde (1781-1865) hasil suntingan Taco Roorda yang terbit pada 1841, kamus susunan Jonathan Rigg, susunan S. Coolsma (1840-1926), karya R. Satjdibrata (1948), hingga karya R.R. Harjadibrata (2003). Di dalam kamus-kamus tersebut, tertera banyak lema yang berkaitan dengan kopi, mencakup nama, budidaya, tradisi minum, dan pengolahannya.
Diketahui, kopi yang pertama kali dikenal dan yang bertahan adalah jenis kopi arabica (Coffea arabica) yang dibawa dari Yaman dan Malabar. Kopi jenis ini bertahan hingga 1880, dikenal juga sebagai kopi jawa (Java-koffie). Tanaman kopi ini binasa karena penyakit daun yang disebabkan oleh jamur. Sebagai gantinya, didatangkan kopi Liberia, jenis yang lebih kasar, lebih besar, lebih kuat, dan lebih resisten terhadap penyakit daun.
“Menurut direktur Algemeen Proefstation voor de Landbouw di Bogor, Coffea liberica pada 1875 diperkenalkan dari Afrika ke Indonesia oleh Kebun Raya Bogor. Sebelumnya, pada tahun 1874, pemerkenalan benihnya dari London tidak berhasil. Tetapi pada 1875, anggota staf Kebun Raya Bogor menerima dari S.S. Conrad di jalan Batavia sebanyak 118 pohon, yang berasal dari Liberia melalui Hortus di Leiden. Tanaman tersebut tiba di Bogor pada Oktober 1875 dan ditanam di Kebun Ekonomi pada Februari 1876m bunga pertamanya muncul di 1877, dan buah pertamanya matang pada 1878,” tulis Atep dalam Bab Perkenalan.
Kebijakan Sistem Priangan yang mewajibkan penanaman kopi di Priangan dan Tatar Sunda berlangsung dari 1677 hingga 1871 menurut De Klein, atau dari 1720 hingga 1870 menurut Breman. Dalam periode tersebut, terdapat dua gudang penampungan kopi, yaitu Gudang Cikao di pinggir Citarum dan Gudang Karangsambung di tepi Cimanuk.
Pada periode yang sama, muncul istilah bagi satuan keluarga yang dikenai wajib tanam kopi yaitu cacah kopi dan somah kopi. Cacah adalah golongan rakyat biasa dalam lingkup pemerintahan yang umumnya adalah petani. Pada Preangerstelsel, cacah dipaksa untuk mengubah mata pencahariannya dari petani berladang menjadi petani berair sekaligus cenderung menetap di suatu tempat.
“Mereka mula-mula-mula dipaksa untuk menanam kopi di sekitar tempat tinggalnya, tetapi lama-kelamaan kian menjauh dari rumahnya, dalam bentuk perkebunan dan pembentukan kebun-kebun kopi baru dengan membabat hutan,” tulis Atep mengutip Breman (2014).
Cacah, yang penyebutannya kemudian diganti menjadi somah, tidak bisa menghindari kebijakan Sistem Priangan. Hanya dari hasil penyerahan produksi kopi kepada pemerintahlah, petani mendapatkan bayaran. Jika mangkir dari kewajiban ini, hukuman membayang-bayangi.
Salah satu contoh hukuman yang disebutkan oleh De Wilde adalah siksaan dari menak. Para petani diringkus tubuhnya, kemudian diinjak-injak atau dipukuli. Ada pula yang dipasung di kebun kopi, dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Dia akan tetap dipasung meskipun turun hujan.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #48: Hitam Putih Kota Kembang
BUKU BANDUNG #47: Buku Kecil Membahas Peristiwa Besar KAA 1955
BUKU BUKU BANDUNG #46: BRAGA JANTUNG PARIJS VAN JAVA BUKU BANDUNG #46: Braga Jantung Parijs van Java
Aspek-Aspek Kebudayaan yang Dipengaruhi Kopi
Atep Kurnia melalui buku Kopi dalam Kebudayaan Sunda hendak menyampaikan bahwa kopi, setelah dikenalkan oleh Kompeni dan lalu dikembangkan melalui kebijakan Sistem Priangan dan Sistem Tanam Paksa, telah memberikan pengaruh kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Priangan. Ia membuktikannya lewat penelusuran studi pustaka secara tekun.
Ambil contoh kebiasan meminum kopi atau biasa disebut ngopi. Dari penelusuran Atep, diketahui bahwa penggunaan kata ngopi berikut penjelasan kegemaran orang Priangan ngopi sudah diawetkan dalam buku karya Wilde (1830). Demikianlah di abad ke-19, kopi biasa disajikan di dalam rumah untuk keluarga atau juga dijadikan hidangan bagi tamu, dengan disertai penganan, baik makanan asin, manis, atau tawar.
Di abad ke-20, pengertian ngopi menjadi kian luas. Bukan hanya menikmati kopi dengan makanan belaka, tapi menikmati makanan tanpa kopi pun disebutkan kopieun atau opieun. Tidak hanya itu, sejak awal abad ke-20 terlihat pula kalangan pribumi yang sudah membuka warung kopi.
Kopi terbukti memberikan banyak pengaruh pada kebudayaan. Mulai dari penyebutan ngopi, kemunculan bumiputra yang mulai membuka warung kopi, komposisi bajigur yang dulunya menggunakan kopi, penempatan kopi sebagai sesajen, penyebutan warna, pembuatan motif batik, hingga inspirasi lirik sebuah musik.
Menarik untuk disebutkan bahwa Coolsma mengartikan bajigur sebagai kopi dengan gula putih dan santan kelapa yang semuanya dicampur, kemudian didihkan. Bisa diartikan, dulu kopi menjadi bahan utama dalam pembuatan bajigur, berbeda dengan sekarang.
Buku Kopi dalam Kebudayaan Sunda cukup menarik sebagai bacaan ringan, dengan gaya Bahasa yang mudah dicerna, mengenai kopi, sejarahnya, serta pengaruhnya pada kebudayaan di Priangan. Keunggulan lain, buku ini cukup kaya referensi berupa pustaka Sunda terdahulu, baik yang ditulis oleh orang Belanda maupun orang Sunda.
Sayangnya, tidak ada ilustrasi maupun gambar yang dibutuhkan untuk melengkapi narasi yang padat di setiap bab. Juga masih ditemukan kesalahan dalam tahap penyuntingan, seperti beberapa kata yang terulang.
Bagaimanapun, penerbitan buku ini patut diapresiasi. Dengan membacanya, kita tahu kalau budaya ngopi ternyata bukan eksis sejak beberapa tahun ke belakang, tapi sudah sejak tiga hingga empat abad yang lalu.
Informasi Buku
Judul : Kopi dalam Kebudayaan Sunda
Penulis : Atep Kurnia
Penerbit : Layung, Garut
Cetakan : I, 2021
Tebal : xii + 148 hlm, 13 x 19 cm
ISBN : 978-623-96521-4-2