BUKU BANDUNG #48: Hitam Putih Kota Kembang
Buku Bandung dalam Hitam Putih merangkum kehidupan di Kota Kembang mulai dari zaman kolonial hingga modern. Ada kesamaan yang mencolok, yaitu kesenjangan sosial.
Penulis Sherani Soraya Putri11 September 2022
BandungBergerak.id - Tak bisa dipungkiri bahwa setiap sudut di Bandung memiliki arti penting bagi warganya. Perupa Erland Sibuea merangkumnya dalam buku “Bandung dalam Hitam Putih”. Jika biasanya segala sesuatu tentang Bandung banyak dikabarkan melalui tulisan maupun lensa kamera, Erland menyajikannya dalam bentuk cerita sketsa hitam putih.
Sedikitnya buku “Bandung dalam Hitam Putih” memuat 200 sketsa. Cerita dibuka dengan sketsa Kilometer Nol Bandung, di Jalan Asia Afrika, yang secara historis menjadi penanda pembangunan Bandung sebagai pusat kota di masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels (1762-1818). Momentum ini kemudian dijadikan titi mangsa hari jadi Kota Bandung, 25 September 1810.
Dari Kilometer Nol, Erland Sibuea menyajikan sketsa-sketsa para tokoh yang dinilainya berjasa di Bandung. Melalui sketsanya, Erland mengabarkan peran dan pengaruh para tokoh yang membawa perubahan secara progresif pada Kota Bandung. Ironisnya, sebagian dari tempat bersejarah di Bandung kini dalam kondisi memprihatinkan.
Pada setiap sketsanya, Erland menyertai dengan makna yang terkandung di dalamnnya. Ia mengajak pembaca untuk masuk ke dalam kapsul waktu era Bandung tempo dulu hingga kekinian (2007-2008).
Arsitektur Karya C. P. W. Schoemaker
Seni arsitektur zaman Belanda di Bandung tidak lepas dari sentuhan tangan dingin Erland Sibuea melalui karya sketsanya. Erland memanjakan pembaca dengan berbagai tampilan bangunan yang menjadi incaran wisatawan di kala main ke Bandung.
Erland, misalnya, menyajikan seni arsitektur buatan C. P. W. Schoemaker, arsitek yang rancangannya banyak bertebaran di Bandung. Seni bangunan dekoratif modern art deco sering diolah C. P. W. Schoemaker pada karya-karyanya.
Beberapa bangunan karya C. P. W. Schoemaker yang kini masih bisa ditemukan antara lain Gedung Dwi Warna, Hotel Preanger, rumah-rumah tinggal, dan tempat bersejarah lainnya.
Erland menitikberatkan pada bahasa sketsa dibandingkan tulisan. Secara etimologi, sketsa berasal dari kata etch yang memiliki arti goresan yang selalu terkenang. Dengan sketsanya, Erland mengajak pembaca menjelajahi Bandung dengan lembaran-lembaran kertas sederhana.
Buku sketsa ini menegaskan bahwa untuk menikmati keindahan Bandung tidak harus selalu tergantung pada sinar mentari ataupun sorot lampu kota. Bandung bisa dinikmati dalam suasana hening dengan coretan-coretan hitam putih artistik di atas kertas putih.
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi,” tulis Pidi Baiq, salah satu tokoh yang menilai Bandung sebagai kota penting.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #45: Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani
BUKU BANDUNG #46: Braga Jantung Parijs van Java
BUKU BANDUNG #47: Buku Kecil Membahas Peristiwa Besar KAA 1955
Ketimpangan Sosial di Bandung
Di samping melukiskan Bandung dengan sketsa hitam putih dan kenangannya, Erland juga mengabarkan bahwa Bandung memiliki sisi yang problematis yang terkait kesejahteraan sosial warganya.
Kesenjangan sosial dilukiskan Erland dalam sketsa-sketsa tentang kemiskinan, kemacetan, pendidikan, lingkungan, ekonomi, politik, yang melintasi dimensi waktu sejak zaman kolonial hingga era modern kini. Hal ini menjadi bukti bahwa ketimpangan sosial tak kunjung tuntas.
Diceritakan bahwa Bandung dari masa 80-an hingga pertengahan tahun 2000-an, mengungkap cerita tersembunyi yang dapat menjadi sumber rujukan penting untuk membangun Bandung lebih baik ke depannya. Tidak hanya pribadi dari setiap manusia yang hidup di dalamnya, namun kemajuan sistem pemerintahan dan solidaritas komunitas masyarakatnya juga perlu ditingkatkan lagi.
Mirisnya, sering kali langkah konkret untuk memajukan Bandung bertabrakan dengan kepentingan segelintir pihak yang menginginkan keuntungan pribadi.
Buku sketsa ini adalah perantara pesan Bandung di masa lalu untuk meninjaunya dengan pandangan luas di masa kini, guna mengasah penglihatan dan pemikiran agar lebih kritis terhadap lingkungan sekitar.
Meskipun demikian, buku “Bandung dalam Hitam Putih” belum mencakup gambaran pembahasan yang mengerucut mengenai kondisi secara struktural berbagai persoalan di Bandung. Serta korelasi di antara kemelut masalah dengan akar di balik semua itu. Oleh karena itu, ada kesan cerita di dalam buku ini terasa seperti menggantung pada ruang nostalgia, khususnya jika ditinjau pada konteks sekarang.
Terlepas dari semua itu, buku sketsa ini memberikan pencerahan akan sejarah Kota Bandung secara ringkas dan bermakna. Dan akan menjadi suatu peninggalan tentang Bandung untuk masa yang akan datang.
Informasi Buku
Judul: Bandung dalam Hitam Putih
Oleh: Erland Sibuea
Penerbit: Khazanah Bahari
Cetakan Maret 2010
Halaman: 234 halaman.