• Kolom
  • Bergerak Bersama Disabilitas

Bergerak Bersama Disabilitas

Merayakan keberagaman dan kesetaraan pada peringatan Hari Disabilitas Internasional bersama komunitas Pulas Katumbiri (Puka).

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Sesi foto bersama di Puka, yang terletak di Jalan Pahlawan, Bandung. (Foto: Ghefirra Alya Azzahra)

11 Desember 2023


BandungBergerak.id – Awan mendung bergelayut di langit Kota Bandung. Minggu, 3 Desember 2023, menjelang siang. Saat itu, Agam Shandy Maoluddin hendak bersiap untuk menghadiri momen peringatan Hari Disabilitas Internasional.

Ia merupakan seorang penyandang disabilitas netra yang memutuskan turut terlibat di acara peringatan Hari Disabilitas Internasional yang dihelat unit kreatif bernama Puka. Dan keputusan itu dilontarkan sesaat setelah ia menerima undangan dari panitia yang datang jauh di waktu sebelumnya. Suatu penanda bahwa acara tersebut memang direncanakan secara matang.

Bagi Agam, tentu peringatan Hari Disabilitas Internasional ini memiliki arti penting. Itu mungkin yang membedakannya dari yang lain. Sehingga tanpa keraguan Agam mengiyakan tawaran yang datang di tengah kesibukannya melakoni studi Pendidikan Musik.

"Mumpung bisa," kata Agam.

Dari rumahnya di kawasan Gang Dunguscariang, RT 08, RW 07, Kecamatan Andir, Agam bergegas menuju Pasar Kreatif, Jawa Barat, yang terletak sekitar Jalan Pahlawan, Bandung. Pria berusia 21 tahun itu tampak flamboyan dengan kemeja kotak biru-putih dan celana jeans yang ditopang sepatu Converse andalannya. Dengan Honda Beat kesayangan sang ayah, ia berangkat ke lokasi acara.

Baca Juga: Musso, Kisah Seorang Pembangkang di Dua Zaman
Berkutat di antara Pustaka dan Sepak Bola
Dari Film, Kami Belajar

Kemeriahan di Puka

Apa yang hadir siang itu mungkin sudah diprediksi bakal terasa spesial bagi Agam. Dan benar belaka. Saat tiba di lokasi, ia turut merasakan aroma kebahagiaan yang memancar dari puluhan orang yang hadir di acara peringatan Hari Disabilitas Internasional. Tampak pula kehadiran individu-individu yang berangkat dari berbagai komunitas.

Dengan penuh kehangatan, mereka semua berkumpul untuk memperingati momen tersebut. Bahkan Agam bukan merupakan satu-satunya penampil yang hadir di acara itu. Sebelumnya, ada grup musik perkusi dari Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) yang sudah tampil lebih dulu.

Kedatangannya lalu disambut dengan ramah oleh Desy Nur Annisa Rahma, salah seorang dibalik kemeriahan acara peringatan Hari Disabilitas Internasional. Perempuan berusia 31 tahun asal Garut tersebut juga merupakan sosok penting dibalik Puka. Secara sederhana, harapan yang dimilikinya sama persis.

Ia hendak mengadakan suatu perkumpulan yang bertujuan memantik kesadaran masyarakat luas akan isu penyandang disabilitas. Bahkan sudah lama, Desy mengalokasikan waktu untuk berkarya bersama mereka. Sejak 2016, ia menekuni minatnya di bidang kriya bersama beberapa tuna wicara dan mahasiswa magang yang berupaya menggali ilmu di Puka.

Entah disadari atau tidak, rasanya ia berupaya menaati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur soal penyandang disabilitas untuk memiliki kesempatan sama, dan setara. Dan semua yang hadir di Puka barangkali sepakat bahwa dunia memang harus terus berpihak, inklusi, dan aksesibel bagi penyandang disabilitas.

Grup musik Potads, turut meramaikan Hari Disabilitas Internasional di Puka. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Grup musik Potads, turut meramaikan Hari Disabilitas Internasional di Puka. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Menari Bersama

Tak sulit untuk menemukan Puka yang digawangi Desy dan teman-temannya. Jika dari arah Gasibu, saat tepat di perempatan Pahlawan, segeralah menuju arah makam sebelum nantinya sedikit putar balik. Sementara dari arah Cikutra atau Sadangserang, letaknya persis di sebelah kiri jalan.

Agam tiba di lokasi, tepat saat waktu memasuki pukul 11.00 WIB, siang. Desy sudah menunggu dengan hijab yang melekat di sebagian kepalanya. Suatu hal yang terasa menambah wujud keramahan tatkala ia menyambut Agam. Tak lama kemudian, beberapa panitia menyodorkan sejumlah cemilan.

Mereka adalah beberapa mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia yang kebetulan sedang magang. Semua terlihat kompak dengan outfit putih-putih yang barangkali sudah dari sebelumnya disepakati. Itu pula yang kian membuat sedap dipandang. Sulit untuk mengetahui secara pasti dengan bahan macam apakah Tuhan menciptakan makhluk-makhluk semacam ini. Sebab dari jauh serasa melihat cahaya berpijaran.

Sementara waktu tak terasa berjalan. Kini tiba saatnya Agam menampilkan kemampuan diri bermain musik. Dari jauh sebelumnya, ia berniat membawakan lagu yang memberi makna lebih bagi kehidupan. Dengan gitar yang dibawanya dari rumah, Agam mulai memainkan lagu-lagu tersebut.

Beberapa penonton mulai memberikan perhatiannya secara perlahan. Hingga akhirnya ikut pula menyanyikan satu-dua lagu yang dihayatinya. Renyah sekali mendengar suara mereka.

Ditopang suaranya yang merdu, Agam berhasil menyihir kerumunan penonton yang hadir di peringatan Hari Disabilitas Internasional itu. Sebagian terlihat mengabadikan momen tersebut via gawai masing-masing. Besar kemungkinan, telah disebarluaskan melalui media sosial masing-masing pula.

Suasana kian syahdu tatkala Agam membawakan lagu Komang yang viral belakangan, dan dikenal dengan larik, "Sebab Kau Terlalu Indah." beberapa penonton terlihat ikut bernyanyi. Dan kembali semarak usai lagu Laskar Pelangi yang dinyanyikan Agam dengan penuh penghayatan. Seolah sedang menggaungkan hidup yang lebih bergeliat; menyerukan untuk terus bergairah di tengah keterbatasan.

".....Menarilah dan terus tertawa...Walau dunia tak seindah surga...."

Rasanya ia berhasil menunjukkan cara lain untuk memaknai pengalaman, mengamati apa yang luput, memberi penghargaan pada apa yang biasa diartikan orang-orang sebagai ilham. Pada satu kesempatan itu, Agam terlihat bahagia. Barangkali ia yakin pula bahwa kebahagiaan semacam ini harus dibagi dengan beragam cara agar bisa bertahan.

Sementara awan mendung yang sedari tadi bergelayut kian menghujam di pelataran Pasar Kreatif Jawa Barat. Meski sebetulnya beberapa waktu lalu – atau, tepat ketika membuka pintu jendela, cahaya mentari pagi yang hangat sempat menerobos masuk tanpa diminta.

Pada akhirnya, cuaca seolah tak menghendaki Agam untuk berlama-lama. Hanya empat buah lagu yang berhasil dinyanyikannya. Dengan tambahan lagu yang terakhir, You Raise Me Up dari Josh Groban, seorang penyanyi asal Amerika.

Penampilan solo Agam Shandy Maoluddin di Puka. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Penampilan solo Agam Shandy Maoluddin di Puka. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Sekilas Perjalanan Puka

Berbagai macam aksesoris seperti gelang, tas, kalung, anting, tampak tersusun rapi. Kesemuanya ini didesain dengan menarik. Beberapa barang lainnya turut pula dipajang. Sebagian, terlihat sengaja di simpan di luar.

Desy, yang merupakan pemiliknya, memberi nama Puka. Suatu akronim dari Pulas Katumbiri. Dalam satu wawancara, Desy mengatakan bahwa Puka digali dari bahasa Sunda. Secara definisi, Puka memiliki arti goresan, sementara Katumbiri berarti pelangi.

Dengan demikian, Pulas Katumbiri memiliki arti goresan pelangi. Di sini, pelangi dimaknai sebagai metafora keberagaman dan kesetaraan bagi mereka yang turut menjalankan perniagaan. Sebab, di antara mereka sebagian merupakan difabel tuli dan wicara.

Kehadiran Puka diawali Desy saat ia melakoni studi S-2 di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB. Ia yang memang tercatat sudah sejak lama memiliki ketertarikan di bidang kriya. Kemudian mulai mengelaborasi keterampilannya. Dan tak lama setelah itu, keajaiban tiba.

Semua terjadi tatkala ia diberi tugas oleh dosen di kampus. Ia lantas terpikir untuk berupaya mendesain ulang beberapa tas laptop dengan karung goni. Hasilnya di luar dugaan. Tidak sedikit kawan-kawannya di kampus yang menyukai karya buatannya tersebut.

Banyak yang kemudian mendorongnya untuk melanjutkan kreativitas di bidang itu. Tak terkecuali kerabat dekat. Hingga pada akhirnya tekad Desy semakin kuat untuk fokus menekuni hobinya tersebut.

Ia kelak berupaya menjalin relasi dengan tiga SLB yang ada di Garut: SLB Al Masduki, SLB Nusantara Kita, dan SLB Al Barkah. Sejak tahun 2016, akhirnya cita-cita Desy terlaksana. Ia mendirikan Pulas Katumbiri, atau Puka. Dalam proses produksi yang dirancang Puka kemudian, Desy juga menjalin kerja sama dengan SLB BC YPLAB Wartawan yang berlokasi di kawasan Buah batu, Bandung.

Kini, tercatat sebanyak 25 orang para difabel tuna wicara yang ikut berkarya bersama Desy. Hal ini diakui Desy salam satu percakapan dengan sejumlah awak media. Ia mengatakan, betapa banyak para difabel yang memiliki kemampuan untuk bekerja, tetapi tidak memperoleh kesempatan yang sama.

Bahkan, tidak sedikit para difabel yang mengalami pelecehan oleh insan yang kurang berpengetahuan. Mereka juga acapkali terhalang aturan yang penuh diskriminasi untuk memasuki lapangan pekerjaan. Miris sekali memang.

Atas alasan itulah, Desy memilih untuk melakukan hal di luar kelaziman. Ia beririsan dengan mereka yang hak dasarnya saja sulit terpenuhi. Ia memutuskan rute kehidupan berbeda: Bergerak bersama difabel wicara dan juga tuli.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang disabilitas.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//