• Kolom
  • Musso, Kisah Seorang Pembangkang di Dua Zaman

Musso, Kisah Seorang Pembangkang di Dua Zaman

Nama Munawar Musso (1897-1948) melekat dalam peristiwa pemberontakan kelompok komunis tahun 1926 melawan Belanda dan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Munawar Musso. (Foto: Dhelper.nl)

8 November 2023


BandungBergerak.id – Sosok ini kerap dibicarakan orang-orang. Ia bertubuh gempal. Pandai berbicara di hadapan massa, dan dikenal sebagai pribadi yang pintar.

Ia bernama lengkap Munawar Musso. Lahir pada 1897, di Pegu, Kediri. Jalan hidupnya berliku. Terjal. Menjadi satu dari sekian orang di Hindia Belanda yang memandang masa depan dengan penuh harapan.

Ia tampak optimis di hadapan seburuk-buruknya keadaan pada era kolonial, dan hendak mengubahnya. Dididik di sekolah guru di Jakarta, kelak ia dikenal pula sebagai organisatoris dan penulis politik.

Sesama "pejuang" yang militan, Musso menjalin ikatan persahabatan dengan Alimin. Ia juga tercatat dekat dengan Tjokroaminoto. Pernah indekos di rumahnya bersama Sukarno dan Kartosoewirjo. Meski di hari kemudian ketiganya berpisah jalan.

Sejak awal Musso dikenal seorang yang keras. Ia antitesa dari revolusioner yang sabar mengangankan mimpi indah bahwa tak akan ada lagi orang kenyang sementara mayoritas yang lain kelaparan. Singkatnya, ia ingin kolonialisme segera hengkang dari muka bumi.

Riwayat pendidikannya cukup cemerlang meskipun ia bukannya tanpa kelemahan. Beberapa menilai dirinya sebagai pribadi yang penuh dengan kontroversi. Kadang pula nekat. Ia terlibat ketika pembangkangan Afdeling B meledak di Cimareme Garut tahun 1919.

Di sini mungkin saja Musso belum memahami keseluruhan teori Marxis secara mumpuni. Tetapi sepertinya ia cukup yakin jika ketidakadilan harus dilawan dengan cara apa pun. Dan pembangkangan itu membuatnya harus mengalami kegetiran yang menyedihkan.

Ia diseret ke penjara. Barangkali hal itu yang membuat kebenciannya pada kolonialisme Belanda kian meluap. Yang mengagumkan, selama di penjara, Musso menolak memberi keterangan apa pun mengenai Tjokroaminoto dalam kaitannya dengan peristiwa Afdeling B.

Musso juga turut berperan dalam mengupayakan pemberontakan 1926. Beberapa sumber mencatat bahwa Musso merupakan salah satu tokoh yang paling gigih menyokong rencana pemberontakan 1926 tersebut.

Saat itu, untuk kali pertama rakyat tertindas berupaya memberi perhitungan dalam skala besar terhadap pemerintah Hindia Belanda. Nahas, pemberontakan berhasil ditumpas. Ribuan orang menjadi korban keganasan penguasa kolonial.

Banyak pihak yang tidak sepakat akan jalan yang ditempuhnya. Beberapa menganggapnya keliru. Sembrono. Ngawur. Atau apa pun istilah yang dapat menggambarkan watak semacam itu.

Tan Malaka salah satunya. Sebagai wakil Komintern di Asia Tenggara, ia menolak Keputusan Prambanan. Bahkan dengan tegas mengecam rencana pemberontakan 1926. Ia menilai kondisi obyektif sebagai prasyarat revolusi belum tersedia.

Dan, ya, sebagaimana disinggung di muka, kelak otoritas Kolonial pun menumpas pemberontakan 1926 dengan semena-mena. Namun itu semua baru perjalanan awal. Semacam pelemasan.

Baginya, petualangan bukanlah suatu hal yang bersifat khayal. Musso terus bergerak untuk memaksimalkan politik kesetaraan yang sudah dipendamnya sedari lampau. Saat para kombatan republik sedang berupaya mempertahankan kemerdekaan, Musso kembali datang. Menyelundup ikut Duta Besar Indonesia untuk Eropa Timur.

Ia lalu menawarkan suatu proposal yang dirumuskan dalam risalah bertajuk Jalan Baru untuk Republik Indonesia. Musso turut mendorong pergerakan rakyat yang kala itu mengalami lompatan kualitatif.

Bersama Amir Syarifuddin, ia berkeliling. Berupaya menggaet dukungan rakyat. Kelak, situasi ini pula membuatnya berada di tengah massa yang, meminjam terminologi Eko Prasetyo, "hendak merancang kelokan tajam pada arah Republik".

Baca Juga: Mengenal Galanita, Liga Sepak Bola Perempuan Pertama di Indonesia
Gunungan Sampah dan Kecemasan Petugas Kebersihan di Pasar Gegerkalong
Panggung Sejarah Gerakan Anti Fasis

Penuh Kontroversi

Ya, Musso merupakan sosok penuh kontroversi. Darsono, selaku kawan dekat, memiliki kesan terhadap Musso sebagai person yang "amuk-amukan". Selain itu, sebagaimana telah sekilas disinggung, Musso juga tercatat sebagai pengikut Afdeling B, atau Sarekat Islam kedua.

"Ia membagi-bagikan kesetiaan politiknya kepada ISDV, SI, dan Insulinde," tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997, hlm. 7).

Cukup unik. Meski sebetulnya bukan suatu hal yang tidak lazim. Dalam periode ini, seorang tokoh bisa menjadi anggota keorganisasian lain. Entah bagaimana dinamika yang dialami Musso.

Sebab, seturut Ruth T. McVey dalam The Rise of Indonesian Communism (2017, hlm. 22-23), sejak kongres yang dihelat tahun 1916, ISDV secara resmi memutuskan aliansi taktis dengan Insulinde. ISDV menilai Insulinde hanya ingin menggantikan kepemimpinan orang Eropa dengan Eurasia dan kalangan terdidik bumiputra.

Kabar lain mengatakan bahwa, tak jarang dalam agitasi dan propaganda, Musso melanggar tapal batas etika. Arief Djati, dalam satu esainya menuliskan bahwa pada satu waktu, Musso sempat berbuat suatu hal yang menggemparkan. Saat itu, ada Twie Tok Hwee untuk kepergian Dr. Sun Yat Sen di gedung Soe Po Sia di Surabaya.

Kira-kira sekitar pertengahan bulan April 1925. Bersama kawan-kawannya, Musso membuat geger karena melanggar sopan santun peribadatan itu. Padahal, sebelumnya sudah lebih dulu diberi tahu jika selain panitia penyelenggara Twie Tok Hwee, siapapun dan wakil perkumpulan apa pun, dilarang berpidato di sana. Hanya tamu undangan yang diperbolehkan membaca tjee boen – semacam doa dalam kepercayaan Khong Hu Cu.

Singkat cerita, ketika itu publik Tionghoa tengah berdoa. Tiba-tiba ada sekitar 300 anggota rombongan bumiputra yang masuk ke dalam ruangan. Di depan meja sembahyangan, dengan gaya panitia penyelenggara, langsung saja Tan Ping Tjiat – seorang peranakan Tionghoa yang kelak terlibat dalam serangkaian pemberontakan – angkat bicara.

Dalam surat kabar Soeara Publiek (13 April 1925), sebagaimana dikutip Arief Djati, tercatat pidato pengantar dari Tan Ping Tjiat. Ia berkata bahwa:

"...Toean-toean comite Jang terhormat kita membilang banjak trima kasi Jang sekalian comite soeda idzinken kita boeat bersoedjoet pada hari peringetannja Dr. Sun Yat Sen disini, maksoed kita Aken menghormat pada Dr. Sun Yat Sen, satoe pemimpin bangsa Jang amat moelia. Lebi djaoe saia aken silaken soedara Moeso boeat angkat bitjara dengen pendek".

Setelahnya, Musso berpidato tanpa mempedulikan pandangan publik Tionghoa yang keheranan dengan "agenda" dadakan tersebut. Walaupun isi pidatonya memuji dan menghormati Dr. Sun, namun tetap saja pidato itu menjadi kontroversi karena tanpa ada ijin apa pun dari panitia penyelenggara peribadatan. Dalam pidatonya, Musso mengatakan:

"Sala satoe temen kita jaitoe kita poenja kaoem perna bertemoe sama Dr. Sun Jat Sen dan soeda perna berdjabatan tangan sama itoe orang jang gaga brani, tjoema sajang saia sendiri tida bisa ketemoe Dr. Sun Jat Sen. Apabila saia bisa ketemoe sama dia saia soeka tjioem kakinja ini dochter jang moelia...".

Begitulah Musso. Sosok yang penuh kontroversi. Ia menggelar acara sendiri di perhelatan orang lain. Meski begitu, kegigihannya dalam upaya melawan kolonial tak kenal kata ampun. Ia tegas terhadap segala bentuk penindasan.

Melawan Kolonial

Bermula pada 25 November 1925. Saat itu, Konferensi Prambanan telah menghasilkan sejumlah keputusan. Bahwa pemberontakan harus dilakukan bulan di Juni 1926. Lainnya, lebih dulu dibentuk Comite Pemberontak yang mengemban tugas dalam melancarkan serangan: 1) mengumpulkan senjata; 2) mengumpulkan uang; dan 3) mengadakan pertemuan-pertemuan.

Bersama Alimin, Musso diutus untuk berangkat ke Moskow. Keduanya berencana memberi tahu upaya pemberontakan kepada Komintern. Namun semua tak sesuai kehendak sebagaimana di awal keberangkatan.

Dugaan Tan Malaka menjadi benar belaka. Koesalah Soebagyo Toer, dalam Tanah Merah yang Merah (2010, hlm. 3), menuliskan bahwa apa yang kelak disampaikan keduanya mendapat celaan dari Stalin. Bahkan yang bersangkutan meminta upaya pemberontakan tersebut dibatalkan. Stalin ragu akan kesiapan mereka.

Sayang pemberontakan meledak sebelum Musso dan Alimin pulang dari Moskow. Bermula di Batavia 12 November 1926. Saat itu, pemberontakan ditandai dengan penyerbuan Penjara Glodok. Menduduki kantor-kantor pemerintahan. Memutuskan hubungan telepon.

Tidak sedikit rumah pegawai pemerintah Hindia Belanda yang diserbu dan dibakar. Sementara waktu berjalan. Pemberontakan kemudian menjalar ke beberapa wilayah lainnya, seperti Banten, Surakarta, Kediri, dan Sumatera Barat. Sekurangnya hingga 14 November, pemberontakan baru bisa dipadamkan.

Pemerintah melakukan penangkapan-penangkapan dengan semboyan "lebih baik salah tangkap seribu orang daripada lolos seorang". Setidaknya ada 13.000 orang ditangkap, sebanyak 5.000 orang di antaranya mendapat hukuman ringan. Sebagian pemberontak dihukum mati. Sebagian lagi dibuang (2010, hlm. 6).

Tetapi Musso lolos dari tangkapan Pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian berangkat ke Moskow. Menenggak banyak ilmu dan hikmah di sebuah negeri yang berjuluk Tirai Besi.

Petualangan Anti-fasis

Meski disangsikan grup Tan Malaka, namun beredar informasi bahwa Musso menyelusup kembali ke Hindia Belanda secara sembunyi pada tahun 1935. Di dalam periode ini, jika mengikuti analisa Soe Hok Gie, Musso merupakan sosok yang meng-Komunis-kan Amir Sjarifuddin dan Tan Ling Djie.

Musso tinggal di Surabaya selama beberapa bulan. Ia dikabarkan membentuk grup-grup baru yang kelak dikenal sebagai PKI Muda atau PKI Angkatan 35. Tetapi, dalam perjalanannya, kenyataan yang dihadapi PKI 35 begitu sulit. Mereka terbongkar oleh jaring-jaring PID (Politieke Inlichtingendienst, dinas intelijen). Dan sebagian dibuang ke Boven Digoel.

Namun lagi-lagi Musso lolos dari tangkapan. Bahkan dua tahun sebelum itu, menurut penelusuran Arief Djati, sekitar April 1933 Musso dikabarkan hadir di Belanda. Dia tampak dalam sebuah rapat anti Fasis dan disambut dengan hangat di sana.

Musso berpidato dan mengisahkan perlawanan kaum buruh dan tani di Indonesia melawan kapitalis Belanda yang merendahkan martabat kemanusiaan. Karena itu, menurutnya, perjuangan melawan kapitalisme Belanda harus dilakukan secara bersama-sama.

Tewas di tangan Tentara Republik

Pada 11 Agustus 1948, Musso datang kembali bersama Soeripno, seorang Duta Besar RI di Praha, Cekoslowakia. Dan lagi, sembunyi-sembunyi ia datang. Musso menyamar sebagai sekretaris Soeripno. Tetapi semua diketahui usai keduanya menemui Presiden Sukarno.

"Begitu mereka (Sukarno dan Musso) bertemu, mereka berpelukan karena sebenarnya mereka telah saling mengenal berpuluh tahun lalu," tulis Soe Hok Gie (1997, hlm. 217).

Seorang wartawan yang menyaksikan pertemuan itu menulis, seperti yang dikutip Soe Hok Gie sebagai berikut:

"Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan kegembiraan itu. Sesudah penyambutan selesai, barulah Bung Karno berkata: 'Lho, kok masih awet muda?' Jawab Pak Musso: 'O, ya. Tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda'."

Ia datang menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ketiga. Dan Belanda masih ada dimana-mana. Lebih menyedihkan lagi, Republik ini terpaksa harus menelan "kekalahan" di semua medan perang dan meja perundingan. Dengan kata lainnya, Republik hanya menguasai sedikit wilayah pedalaman.

"Bantulah kami memperkuat negara melancarkan revolusi," kata Bung Karno kepada Musso, yang lantas segera menjawab, "itu memang kewajibanku. Ik kom hier om orde te scheppen (aku datang untuk membereskan)".

Setelah bertemu Bung Karno, Musso membeberkan usulan pada Partai Komunis Indonesia. Dengan bernas ia mengoreksi beberapa kesalahan-kesalahan prinsipil partai yang dinilai telah melenceng. Jauh dari gagasan Marxisme-Leninisme yang sudah direngkuhnya. Kelak, otokritik tersebut terangkum dalam risalah bertajuk Jalan Baru untuk Republik Indonesia.

Seiring waktu berjalan, hubungan antara ia dan Sukarno menjadi renggang. Setelah menjalani berbagai aktivitas di hari-hari yang padat, Musso melancarkan pemberontakan yang menurutnya, terlalu bertele-tele jika dipimpin kaum borjuis nasional. Ia juga menuding Presiden Sukarno – yang tak lain sahabat lamanya – telah menjual rakyat untuk Romusha di zaman Jepang.

Dan Sukarno-Hatta dianggap telah menjual wilayah pada Imperialis Amerika. Kelak, pernyataannya dianggap pelatuk peristiwa yang dikenal secara umum dengan nama "Pemberontakan Madiun". Suatu hal yang terangkum dalam satu pidato Bung Karno yang dikutip Harry Poeze di Madiun Bergerak (2011, hlm. 181) sebagai berikut:

Negara Republik Indonesia yang kita cintai, hendak direbut PKI Musso [...] bantulah pemerintah, bantulah alat pemerintah dengan sepenuh tenaga, untuk memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah yang bersangkutan."

Narasi resmi ini segera dibantah kelompok kiri. Pihak PKI beranggapan jika hal itu bukanlah suatu kup. Melainkan provokasi pemerintah yang tidak mampu (serta tidak mau) bertindak untuk meredakan pertentangan di daerah. Ketegangan Solo dinilai menjadi pemicu awal.

Ketegangan itu bergulir pada pembunuhan Kolonel Sutarto, penculikan terhadap anggota PKI bernama Slamet Widjaja dan Pardijo, penculikan dan pembunuhan atas lima orang perwira TNI, penculikan Letnan Kolonel Suharman, pembunuhan terhadap buruh Kereta Api di Madiun, dan penganiayaan terhadap buruh kantor Balai Kota Madiun.

Secara mendasar, PKI menilai jika ketegangan itu didasari upaya menyingkirkan elemen-elemen kerakyatan di tubuh militer. Wujudnya sebagaimana tertuang dalam rasionalisasi. Aidit, senada dengan pernyataan PKI yang dipimpinnya, juga beranggapan bahwa Peristiwa Madiun itu erat kaitannya dengan Peristiwa di Solo. Saat itu, tewasnya Komandan TNI Divisi IV, Kolonel Sutarto diduga karena ia termasuk salah seorang perwira tinggi yang tidak menyetujui rasionalisasi.

"Dalam hubungan dengan provokasi Madiun saya merasa perlu mengemukakan beberapa kejadian di Solo, karena, sebagaimana antara lain dikatakan dalam pidato Presiden Sukarno tanggal 19 September 1948, bahwa peristiwa Solo dan peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri, melainkan adalah suatu rangkaian tindakan," tulis Aidit dalam Menggugat Peristiwa Madiun, yang memuat pembelaan dirinya dengan advokat, Mr Suprapto, di muka Sidang Pengadilan Negeri Jakarta, tanggal 24 Februari 1955.

Dengan terang-terangan Aidit menuding pemerintah – dalam hal ini, Hatta – telah melakukan provokasi. Semua ini dikaitkan dengan rencana AS di Perang Dingin dalam wujud "red drive proposal" yang berupa konsep untuk membasmi kelompok kiri. Namun, meski pembelaan Aidit tampak masuk akal, rupanya sejumlah ahli cukup skeptis akan pernyataan PKI.

Asvi Adam Warman salah satunya. Dalam esai bertajuk Hatta Kambing Hitam Madiun, ia mengajukan beberapa pertanyaan penting. Apakah program rasionalisasi tentara yang dilakukan Hatta menjadi satu-satunya – bahkan penyebab utama – Peristiwa Madiun? Menjadi pertanyaan pula kenapa hanya Hatta yang dituduh, dan tidak dengan Sukarno?

Wilson, seorang peneliti Sejarah, dalam sebuah catatan diskusi buku Madiun Affair 1948 karya pelaku sejarah, Soemarsono, turut mengajukan sebuah kritik sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun 1948 yang ditulis oleh D. N. Aidit. Menurutnya, mengapa tidak melibatkan Soemarsono, Gubernur Militer yang dianggap memimpin ”pemberontakan” tapi lolos dari eksekusi ilegal yang dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Bukankah saat itu dia segar bugar dan PKI sedang tumbuh berkembang menjadi partai besar?

Yang jelas, sejarah akhirnya mencatat Musso sebagai pesakitan yang kalah. Musso tewas ditembak pada 31 Oktober 1948. Kedatangannya ke Jawa berbuah petaka. Ia kehilangan nyawa satu-satunya. Sejumlah analis memiliki tafsir beragam akan tewasnya pejuang radikal tersebut.

"Sikap 'tukang berkelahinya' yang terlalu kaku, barangkali ikut menggagalkan rencana-rencananya," tulis Soe Hok Gie (1997, hlm. 220).

Sementara Jendral Simatupang merefleksikan Peristiwa Madiun dalam memoirnya yang bertajuk Laporan dari Banaran. Dengan nada getir ia menulis:

Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu (prajurit dan pemuda yang terlibat dalam Madiun Affair) semua adalah untuk kebahagiaan dan kebesaran tanah air yang satu juga.

Kontroversi, Sekali lagi

Demikianlah Musso. Ia tewas dalam situasi yang terjadi di tengah badai revolusi. Tetapi, kontroversi mengenai Musso tidak berhenti di sini. Usai tewas, keributan mengenai dirinya masih menjadi perdebatan.

Sejumlah kalangan menyebut ia tewas sesaat berusaha melarikan diri dari penangkapan tentara, dan bersembunyi di dalam rumah salah satu warga di daerah Semanding, Ponorogo, Jawa Timur. Musso tewas saat mencoba melawan tentara dengan menembak balik, dan akhirnya ia tertembak di dekat sumur rumah warga tersebut.

Sementara versi lain menyebut jika Musso melarikan diri menggunakan mobil, lalu berganti andong karena mobilnya mogok di sekitar Ponorogo. Ia lantas berusaha melarikan diri, lalu kemudian terjadi tembak-menembak, dan Musso tewas dalam baku tembak tersebut.

Arief Djati, merujuk dari arsip kolonial, menyebutkan jika Polisi Balong, Madiun, saat itu mendapati dua orang berpakaian warok, baju hitam-hitam dengan berkalungkan sarung. Saat hendak ditangkap, salah satu di antaranya mengeluarkan pistol dan menembak petugas, dan kemudian mengambil alih andong yang kebetulan ada di situ, dari kusirnya. Andong tersebut lalu dikejar dan akhirnya di pertigaan Ngumpul daerah Ponorogo, andong itu berpapasan dengan mobil yang menuju arah berlawanan, dan dokar itu tertabrak.

Musso berusaha lari, dan dikejar tentara, tetapi kemudian ia tewas dalam tertembak stendgun tentara. Jenazahnya kemudian dibawa ke regent Madiun untuk memastikan bahwa jenazah itu benar-benar Musso. Setelah diidentifikasi dan diyakinkan bahwa jenazah itu adalah benar Musso, jenazah dibawa ke alun-alun dan kemudian – menurut arsip Kolonial Belanda – dimusnahkan karena ada kekhawatiran jika dikubur, kelak makamnya akan dikultuskan.

Ada pun sumber lain menyebut bahwa jenazahnya dibakar karena ada kekhawatiran dia akan bisa "hidup" lagi. Suatu hal yang sulit diterima akal. Namun yang jelas, begitulah akhir cerita Musso.

Ia merupakan seorang pembangkang yang memiliki hati dingin tak tergoyahkan. Sebuah percampuran antara kekeraskepalaan yang muncul dari keyakinan, dan keberanian yang datang dari kepercayaan bahwa ia sedang melakukan hal benar.

Narasi tentangnya acapkali diselubungi kabut kontroversi. Atribusinya yang hingga kini begitu lekat di benak publik hanyalah seorang pemberontak. Dan yang pasti, seperti juga Amir Syarifuddin, Musso terseret arus revolusi yang memakan anaknya sendiri.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//