• Kolom
  • Mengenal Galanita, Liga Sepak Bola Perempuan Pertama di Indonesia

Mengenal Galanita, Liga Sepak Bola Perempuan Pertama di Indonesia

Ada masanya sepak bola wanita Indonesia sanggup menyamai prestasi sepak bola pria di kancah nasional dan internasional. Pamornya kini redup.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Potongan berita tentang kelahiran Galanita (Liga Sepakbola Indonesia) pada 29 Maret 1980 yang terbit di harian Merdeka 2 Mei 1980. (Foto: Sumber Perpustakaan Nasional)

27 September 2023


BandungBergerak.id – Sebagian masyarakat Indonesia terpaut erat dengan sepak bola. Alasannya jelas. Ia mampu mengurai kecamuk perasaan dan kerumitan watak manusia. Ia begitu mengakar, serta menancap sangat dalam di sendi-sendi kehidupan. Buktinya sudah banyak bertebaran dimana-mana.

Sekilas, yang kerap terlihat memainkan si kulit bundar ini adalah kaum adam. Tetapi tidak hanya begitu faktanya. Anggapan sepak bola dimonopoli laki-laki ambruk seketika mengingat aspirasi perempuan di dalam sepak bola Indonesia terserap sejak awal 70an. Saat itu, struktur formal telah terbentuk. Ia bernama Galanita (Liga Sepak bola Wanita).

Papat Yunisal dalam jurnal bertajuk "Peran Galanita sebagai Organisasi Sepak Bola 1978-1933" menyatakan bahwa perkembangan sepak bola wanita Indonesia terbukti mampu menyamai prestasi sepak bola pria di Indonesia di berbagai tingkatan: Nasional dan Internasional. Tentu semua tidak datang tiba-tiba. Perjalanannya dalam berproses begitu panjang.

Bahkan sebelum adanya Galanita, sepak bola wanita di Indonesia sebetulnya lebih dulu diakui oleh ALFC (Asian Ladies Football Confederation). Saat itu, tepat pada tahun 1977, klub sepak bola asal Jakarta – Buana Putri, diakui sebagai anggota pada Kongres ALFC ke III.

Menariknya Buana Putri juga pernah terjun mengikuti turnamen ASIAN CUP ke III di Taipei. Saat itu Buana Putri beruji tanding dengan tim-tim dari Taiwan, Thailand, Jepang, Hongkong, dan Singapore. Dan, setelahnya, kabar baik tiba di tanah air. Buana Putri berhasil meraih Juara ke IV.

Baca Juga: Kisah Toko Buku Merpati, Bertahan Sejak Tahun 1950an
Gejolak Hasrat Sepak Bola di Cijerah
Zalfa Alya dan Perjalanan Sepak Bola Perempuan

Sebuah Perjalanan Awal

Informasi mengenai sepak bola perempuan kini dengan mudah ditemui. Meski demikian, berita mengenai sosok pesepak bola perempuan masih terbilang jarang muncul di surat kabar, atau televisi. Hampir semua kabar sepak bola dari yang lampau, hingga aktual, dipenuhi oleh kisah laki-laki. Hanya sesekali informasi itu muncul jika ada pemain yang sedap dipandang, atau dalam istilah kekinian, katakanlah, yang good looking.

Tetapi semua sirna jika kita sempat menelisik kisah Galanita yang mulai dirintis sejak tahun 1978. Saat itu, Ali Sadikin memimpin Federasi Sepak Bola di tanah air. Ia lantas merumuskan sebuah konsep teranyar. Kelak, dikenal dengan Galatama (Liga Sepak bola Utama).

Melalui Sidang Pengurus Paripurna yang dihelat pada tanggal 3-5 Oktober 1978, PSSI resmi memutuskan lahirnya Bidang Lembaga-lembaga Sepak bola: Galatama (Liga Sepak bola Utama), Galakarya (Liga Sepak bola Karyawan), Galasiswa (Liga Sepak bola Siswa), dan Galanita (Liga Sepak bola Wanita).

Demikianlah. Pada tahun 1978 sepak bola wanita Indonesia memperoleh wadah di lingkungan organisasi PSSI sebagai induk organisasi sepak bola wanita di Indonesia. Sebagai penanda, hal ini dibarengi dengan terbitnya Surat Keputusan PSSI No.71-XII/1978 pasal 12 ayat 2, terkait persepak bolaan wanita yang mendapat wadah dalam lingkungan organisasi PSSI pada tanggal 30 Desember 1978.

Ali Sadikin ditunjuk sebagai pengurus Galanita pertama. Tetapi, dalam perjalanannya, ia mengalami sejumlah kendala. Hal ini membuat sepak bola wanita terabaikan. Sementara di sisi lain, PSSI sendiri lebih fokus terhadap Galatama.   

Namun atas saran dari Sk. H. Wibowo dan Erwin Baharudin (selaku Ketua Koni Jaya, Komda PSSI DKI Jaya), kemudian dibentuklah bond Puteri sebagai ikatan klub-klub sepak bola wanita yang ada di Jakarta, dan mengangkat Dewi Wibowo sebagai ketua.

Bukan tanpa alasan tentu saja. Dewi Wibowo ditunjuk karena dedikasinya yang dinilai tinggi dalam persepak bolaan wanita. Tepat pada tanggal 27 Mei 1988, PSSI mengukuhkan Dewi Wibowo sebagai Ketua Umum Liga Sepak bola Wanita seluruh Indonesia.

Ia lalu membentuk suatu badan koordinator yang dinamakan Badan Koordinator Sepak bola Wanita    Indonesia (BKSWI) yang berfungsi  sebagai jembatan antara klub-klub di daerah dengan Galanita.

BKSWKI diberi wewenang sebagai pembina dan pengawas klub-klub di daerah. Sementara kompetisi tetap diatur oleh Galanita Pusat dengan bantuan sejumlah pakar sepak bola di lingkaran PSSI. Namun semua berubah saat Sjarnoebi Said menggantikan Ali Sadikin pada 19-21 Desember 1981 di Jakarta. 

BKWSI dileburkan. Ia dinilai sebagai organisasi yang berdiri di luar organisasi PSSI. Untuk itu, segalanya diserahkan kepada Komisi Galanita. Tentu peleburan BKSWI berdampak kepada Galanita yang menjadi semakin leluasa untuk melakukan kegiatan.

Semua ini terjadi karena BKSWI dan Komisi Galanita memiliki perspektif serupa. Dan inilah era ketika sepak bola wanita masih sangat gagahnya bertakhta di benak rakyat Indonesia.

Galanita Kian Berkembang

Memasuki tahun 80an, sepak bola wanita di Indonesia kian melangkah ke arah kemajuan. Suatu hal yang ditandai dengan munculnya sejumlah kesebelasan-kesebelasan sepak bola wanita di berbagai daerah.

Bukan hanya itu. Galanita juga memiliki beberapa program yang kelak dilaksanakan pada jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Rumusan besarnya, adalah "Memasyarakatkan sepak bola wanita sejajar dengan olahraga lainnya dan menjadikan sepak bola wanita sebagai suatu olahraga prestasi".

Tak lama kemudian sejumlah kompetisi diluncurkan. Salah satunya Piala Kartini tahun 1981. Ada pula Invitasi Liga Sepak bola Wanita (Invitasi Galanita) pada 1982. Tujuannya, tak lain demi memajukan sepak bola  wanita Indonesia.

Turnamen sepak bola wanita Piala Kartini pertama kali diselenggarakan pada 21 Oktober 1981 di Jakarta. Piala Kartini merupakan turnamen sepak bola wanita yang diselenggarakan setiap tahun yang diikuti oleh juara-juara wilayah yang menang dalam kompetisi periodik di daerah masing-masing. 

Piala Kartini I diikuti oleh Putri Priangan (Bandung), Putri Pagilaran (Pekalongan), Sasana Bakti (Surabaya), dan Buana Putri (Jakarta). Turnamen ini diadakan di Stadion Pluit, Jakarta Utara. Menariknya, ia memicu antusiasme masyarakat luas.

Sementara Turnamen Invitasi Galanita merupakan rangkaian pertandingan sepak bola antar klub sepak bola wanita dari berbagai daerah. Ia diselenggarakan secara berkala dan teratur. Dan ditujukan untuk menorehkan prestasi yang lebih prestisius.

Selain itu, turnamen ini juga memiliki tujuan untuk merealisasikan upaya pencarian bibit-bibit potensial. Kelak, pemain-pemain itulah yang hadir dalam pembentukan tim nasional dalam menghadapi pertandingan Internasional.

Papat Yunisal dalam jurnal bertajuk "Peran Galanita sebagai Organisasi Sepak Bola 1978-1933" mencatat bahwa para peserta Turnamen Invitasi Galanita ini pada dasarnya adalah klub-klub terkuat Galanita. Nantinya mereka ditunjuk oleh Koordinator Galanita wilayah masing-masing.

Turnamen Invitasi Galanita untuk kali pertama diselenggarakan di Jakarta pada 21-31 Oktober 1982. Saat itu, para peserta memperebutkan Piala Ibu Tien Soeharto. Sejumlah klub yang mengikuti turnamen ini antara lain, Buana Putri (Jakarta), Putri Jaya (Jakarta), Putri Priangan (Jawa Barat), Putri Mataram (Yogyakarta), Putri Pagilaran (Jawa Tengah), Putri Mojolaban (Jawa Tengah), Putri Setia (Jawa Timur), Angin Mamiri (Sulawesi Selatan), dan Putri Dafonso (Papua).

Dan di penghujung laga Turnamen Invitasi Galanita I, berhasil dimenangkan Buana Putri, perwakilan dari Jakarta (Kompas, 21 Oktober 1982: Jurnal Olahraga 5, hlm. 87).

Di titik ini, bisa dibilang bahwa berbagai cara telah ditempuh Galanita. Tak lain demi sepak bola perempuan di Indonesia lebih bertaring. Bahkan pada 1984, Galanita sempat bekerja sama dengan PT Ideal Artana. Saat itu mereka mengundang dua klub sepak bola wanita terkuat Eropa, Stade de Reims (Perancis) dan Cirkeladies (Belgia).

Kedua klub sepak bola dari Eropa itu kelak dipertemukan dengan Buana Putri dan Putri Pagilaran.

Di samping menyelenggarakan pertandingan sepak bola, Galanita pun ikut serta dalam memasyarakatkan sepak bola “Five a Side Indoor Football” atau yang, menurut Papat Yunisal, saat itu lebih dikenal sepak bola “kelimaan”.

Disebut sepak bola kelimaan karena memang permainan sepak bola ini berbeda. Ia dilakukan di dalam ruangan tertutup, dan hanya dimainkan lima orang.

Di Indonesia, pengurus Galanita telah beberapa kali menyelenggarakan diskusi atau seminar tentang sepak bola ini. Tujuannya, tak lain untuk memperoleh kesamaan pandangan dalam melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan oleh FIFA.  

Bahkan dalam rangka lebih memasyarakatkan sepak bola "kelimaan”, Galanita juga menyelenggarakan suatu turnamen yang diikuti pelajar dan mahasiswa se-DKI. Hasilnya, jelas. Ia mendapat sambutan yang luar biasa besar dari warga Jakarta.

Untuk mempermudah pembinaan, Galanita pun memperbanyak Bahan bacaan menyoal Peraturan Permainan dan Sepak bola Kelimaan yang telah ada. Mereka pun dikabarkan melakukan upaya lain, memperbanyak slide atau film mengenai sepak bola kelimaan ini.

Kelak, apa yang diupayakan Galanita itu turut disebarluaskan oleh Korwil dan Komda PSSI setempat.

Kemunduran Sepak bola Perempuan, Sebuah Keniscayaan dalam Masyarakat Kapitalis?

Memasuki akhir tahun 80an, sepak bola perempuan mulai tersingkirkan. Dalam kancah pembinaan, ia dibiarkan berjuang sendirian. Galanita kurang mendapat perhatian yang cukup. Para pengurus PSSI mengarahkan fokus pada kelompok putra di tingkat senior.

Di sisi lainnya, kompetisi Perserikatan dan Galatama lebih menyedot perhatian insan-insan pembinaan sepak bola nasional. Ia kian semarak. Fan-fan garis keras mulai bermunculan.

Kegetiran kian menjadi-jadi ketika kompetisi Perserikatan dan Galatama dilebur pada pertengahan dekade 90an. Hal tersebut menyebabkan semakin meredupnya kiprah Galanita.

Di samping itu terdapat beberapa penyebab ambruknya Galanita, di antaranya klub-klub sepak bola wanita tidak memiliki orientasi lebih tinggi dalam berkompetisi.

Tesis yang diajukan Papat Yunisal, salah satunya, tidak adanya kejelasan agenda dari AFC (Konfederasi Sepak bola Asia) tentang kelanjutan sepak bola wanita yang dituju. Sementara faktor lainnya yang menghambat perkembangan sepak bola wanita adalah kisruh di tubuh PSSI pada setiap kali berganti kepengurusan (Jurnal Olahraga 5, hlm. 90).

Pelan-pelan Galanita musnah. Terlebih usai pembubaran pengurus Liga Sepak bola Wanita tahun 1993. Menurut Dewi Wibowo, semua karena Galanita dibiarkan berjuang sendiri, dari segi keuangan maupun pembinaan (Kompas, 1999; Jurnal Olahraga 5, hlm. 90)

Yang jarang dipercakapkan, adalah soal nalar investasi dan akumulasi yang cukup mempengaruhi kiprah sepak bola perempuan. Mengutip Darmanto Simaepa dalam esai bertajuk Sepak bola Wanita di Belanda, siaran sepak bola perempuan nyaris kesulitan mendulang rating tinggi.

"Dalam sepak bola, kapitalisme ikut menentukan selera konsumen dan memilih komoditas. Berkebalikan dengan (bisnis) prostitusi, ia lebih memilih laki-laki," kata Darmanto Simaepa.

Ia benar. Barangkali ini pula yang menjelaskan mengapa kawan-kawan saya lebih mengenal Alessandro Nesta atau Ezra Walian dibanding Papat Yunisal.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//