Zalfa Alya dan Perjalanan Sepak Bola Perempuan
Zalfa Alya memenangkan pertarungan yang tak pernah dimenangkan anak-anak lain di Dunguscariang Kota Bandung. Ia kerap memperkuat skuad Tim Nasional Wanita Indonesia.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
3 September 2023
BandungBergerak.id – Pemandangan khas kampung kota terhampar di kiri-kanan daerah gang Dunguscariang. Siang menjelang sore, pada hari Jumat 1 September 2023, sebuah gang yang hanya muat dua motor ini diselimuti udara panas. Bukan suatu keganjilan jika mengingat bahwa hujan memang sudah lama tak hadir di kawasan yang masuk Kecamatan Andir Kota Bandung ini.
Belasan tahun lalu seorang perempuan lahir di salah satu sudut gang Dunguscariang itu. Tepat pada 15 November 2005, sesosok bayi mungil menyapa dunia. Ia diberi nama Zalfa Alya Putri. Ia merupakan anak pertama, buah cinta pasangan Yeni Suryani dan Gugun Wiguna
Tak ada yang menyangka jika belasan tahun setelahnya, Zalfa menjadi pesepakbola perempuan. Tubuhnya jangkung, dibalut jersei, lengkap dengan seperangkat alat bermain bola yang melekat di sekitarnya. Rambutnya panjang, diikat rapi, persis perempuan kebanyakan.
Zalfa bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional. Bukan hanya itu saja. Ia juga memiliki keinginan menekuni studi guru olahraga. Sebuah cita-cita mulia yang timbul dari pikiran perempuan berusia 17 tahun.
Keterampilan yang didapat Zalfa bermula saat dirinya kerap bermain dengan teman-teman sebaya yang mayoritas laki-laki. Di Lapangan Sawargi, yang kini hanya menyisakan kenangan bagi warga Dunguscariang, Zalfa tumbuh dan berkembang. Di sana pula ia sering diajak teman-temannya untuk bermain sepak bola.
Sementara waktu berjalan terasa begitu cepat. Zalfa kemudian tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa. Ia kian lihai bermain sepak bola. Tak jarang ikut serta bertanding bersama kawan-kawan pamannya di lapangan dekat Bandara Husein Sastranegara.
Ia hidup di dalam ingatan banyak orang Dunguscariang. Dari cara bermainnya, bisa dibilang bahwa Zalfa betul-betul menikmati sepak bola. Ia bermain dengan riang dan gembira. Semua ingat bagaimana cara ia meloloskan bola ke sela-sela kaki lawan, mengumpan secara akurat, mengontrol, bahkan melesakkan bola ke dalam jala dengan cemerlang.
Di titik ini, kedua orang tua melihat potensi yang dimiliki si gadis. Mereka berinisiatif untuk mengembangkan keterampilan anaknya. Lantas memasukkannya ke akademi futsal MFA. Demikianlah semua prosesnya berjalan. Zalfa kian bersinar di futsal.
Baca Juga: Sebelas Jam di Kamojang
Kisah Toko Buku Merpati, Bertahan Sejak Tahun 1950an
Gejolak Hasrat Sepak Bola di Cijerah
Bersinar di Persib Putri
Apa yang secara dawam dilakukan Zalfa mendapatkan hasil di hari kemudian. Semua terjadi usai dirinya tekun menjalani berbagai program latihan. Ia berkembang secara signifikan. Ia kian moncer di lapangan hijau.
Seiring waktu Zalfa ditawari untuk bergabung Akademi Persib. Saat itu, kira-kira enam tahun lalu, merupakan tahun pertama Akademi Persib membangun tim putri. Ia pun rutin latihan bersama tim laki-laki.
Semakin hari, jumlah keanggotaan tim putri di Akademi Persib kian bertambah. Pada akhirnya, kenyataan itulah yang membuat tekadnya bulat. Ia memutuskan untuk menjadi pemain sepak bola. Kariernya melesat.
Ia memenangkan pertarungan yang tak pernah dimenangkan anak-anak lain di Dunguscariang. Zalfa juga kerap mendapat panggilan dari Tim Nasional (Timnas) Wanita Indonesia. Berbagai pencapaian lain pun telah diraih perempuan yang kini bersekolah di SMA Negeri 4 Bandung itu.
Seperti misalnya, membantu Akademi Persib Juara 1 Bina Putri Cup, Juara 1 Greencamp Cup, Juara 1 Panglejar Cup, Juara 1 Fourfeo Bimantara, dan Juara 1 Piala Pertiwi regional Jawa Barat pada tahun lalu. Yang mengesankan, Zalfa Alya Putri Wiguna tercatat pernah mengikuti seleksi untuk persiapan AFF Women U-20 di Vietnam.
Itu membuatnya harus absen mewakili Persib Putri di laga Final Piala Pertiwi Regional Jawa barat 2023. Untuk diketahui bahwa Persib Putri merupakan salah satu jagoan di Liga 1 Putri. Malah tercatat pula sebagai Juara bertahan.
Kelak, ia memiliki ambisi untuk menjadikan Persib Putri kembali mempertahankan gelar. Ia juga berkehendak membawa nama harum perempuan Indonesia di kancah internasional. Pemain yang mengidolakan Kylian Mbappe ini pun dengan rendah hati membeberkan beberapa tantangan yang bakal dihadapi.
Namun yang pasti, ia masih memiliki semangat untuk membuat sepak bola perempuan Indonesia lebih berkembang. Meski, sekali lagi, tentu saja ia sudah mengukur sejumlah kendala.
"Kita tau sendiri sepakbola wanita kurang tersorot di kalangan masyarakat," keluh Zalfa.
Ia sadar, barangkali semua disebabkan tiadanya Kompetisi Liga yang sustain. Ini pula yang membuat kurangnya minat sepak bola perempuan di kalangan masyarakat. Tetapi Zalfa berjanji tetap akan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki.
Ia pun berharap agar kompetisi sepakbola perempuan di Indonesia kembali digelar. Semua ini tak lain demi menumbuhkan minat perempuan-perempuan di luar sana untuk bermain sepak bola. Ia sangat berharap banyak.
"Tentu dengan adanya kompetisi akan menambah minat masyarakat untuk mendukung sepakbola perempuan di Indonesia," ucap Zalfa.
"Dan yang paling penting dengan adanya kompetisi akan memunculkan bibit-bibit pemain sepak bola perempuan yang berbakat lainnya."
Sejarah Singkat Sepak bola Perempuan
Sudah tidak diragukan lagi jika sepak bola merupakan cabang olahraga yang identik dengan laki-laki. Butuh waktu 61 tahun untuk perempuan menikmati hak setara dalam bermain bola di kasta tertinggi. Piala Dunia Wanita pertama digelar 1991. Dan Amerika Serikat menjadi juara pertama di pagelaran paling prestisius ini.
Konon, Sepp Blatter merupakan sosok yang memiliki andil atas terselenggaranya Piala Dunia Wanita pertama itu. Ia pula yang mengklaim sebagai pencetus Ballon d'Or untuk pesepakbola wanita. Dan penyeru fasilitas stadion profesional liga wanita.
Tetapi tak jarang kebijakan yang sudah ia rancang sulit diterima nalar. Ia sempat tersandung dugaan kasus korupsi. Meski kelak ia lepas dari sangkaan oleh Pengadilan Kriminal Federal di selatan kota Bellinzona.
Yang pasti, Sepp Blatter tercatat pernah menggagas regulasi kontrak pekerja di bawah umur agar anak-anak, dengan harga murah, berangkat dari Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Asia untuk membela klub-klub kaya di Eropa. Sebuah langkah busuk yang -bisa-bisanya- dirancang pimpinan Federasi Sepak Bola tertinggi di dunia itu.
Jauh sebelum gagasan yang diklaim Sepp Blatter, sebetulnya di Indonesia sendiri sepakbola perempuan sudah mulai menunjukkan eksistensinya. Semua diawali dengan berdirinya Tim sepak bola Putri Priangan. Menarik sekali jika melihat proses awal berdirinya Putri Priangan ini.
Hendro Susilo Hudoyo, dalam satu laporannya, menyebutkan bahwa Putri Priangan berdiri karena andil Wiwi Hadhi Kusdarti. Satu nama yang mungkin asing bahkan bagi penggila sepak bola Indonesia sendiri. Ya, Mace (demikian sapaan akrab Wiwi Hadhi Kusdarti) yang mengawali sepak bola perempuan di Indonesia.
Ia lahir di Cirebon, 17 September 1939. Kemudian menetap di Kompleks Tanimulya Indah, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.
Berawal dari Surat Pembaca yang dikirimkan Mace ke meja redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat, pada 16 Januari 1969. Surat tersebut berisi penjelasan Mace soal pendirian tim sepak bola wanita di Indonesia.
“Redaksi jth, setelah membatja "PR" tgl 17 1968 tentang kemungkinan dibentuknja Kesebelasan Wanita di Indonesia, saja berpendapat, ada baiknja kalau mulai dari sekarang diadakan suatu pendaftaran chusus bagi wanita2 jang berhasrat untuk mengikuti latihan2 sepakbola.”
“Saja kira, tidak adanja minat dari kaum wanita Indonesia untuk bermain sepakbola, hanja karena perasaan malu, sebab di Indonesia belum ada Kesebelasan Wanita seperti diluar negeri. Tapi saja jakin, bahwa wanita2 Indonesia pun tidak kalah dengan wanita2 dari negara2 lainnja dalam tjabang olahraga ini.”
“Oleh sebab itu saja mengadjak kaum wanita Indonesia, terutama jg ada di Bandung ini jg berminat dalam lapangan sepakbola, untuk bersama2 membentuk kesebelasan dan berlatih, misalnja dibawah pimpinan Persib sendiri.”
“Apalagi sekarang sudah banjak kesebelasan2 wanita dari luar negeri jang mengundang kita. Mudah2an adjakan ini mendapat sambutan dari kawan2 sesama wanita jang berminat untuk terdjun dalam tjabang olahraga ini.”
Gayung bersambut tak lama setelah Harian Umum Pikiran Rakyat memuat surat Mace tersebut. Ia berhasil. Apa yang dikemukakan segera ditanggapi dengan baik oleh Pimpinan Tim Putra Priangan, salah satu klub anggota Persib Bandung.
Mace lalu diajak mengikuti rapat bersama pengurus Persib dan pengurus Putra Priangan. Dan, ya, rapat itulah yang kelak menghasilkan keputusan membentuk sebuah tim sepak bola wanita pada 5 Februari 1969. Ia diberi nama Kesebelasan Sepak Bola Wanita Putri Priangan.
Demikianlah. Dalam sejarah panjang sepak bola perempuan Indonesia, Putri Priangan tercatat sebagai tim sepak bola wanita pertama di Indonesia. Klub sepak bola perempuan asal Bandung ini kelak memberi dampak ke kota-kota lainnya.
Buana Putri salah satunya. Ia merupakan tim sepakbola perempuan yang didirikan Dewi Wibowo, istri dari pemodal perusahaan surat kabar Bharata Yudha. Di kemudian hari, Buana Putri juga memiliki dampak yang cukup krusial dalam meluaskan pengaruh sepak bola wanita. Sebuah olahraga yang notabene masih buram bagi kaum hawa di Indonesia.
Semua itu mewujud saat skuad Buana Putri tampil di dalam salah satu scene film WARKOP DKI yang bertajuk “Maju Kena Mundur Kena”. Mereka hadir di sebuah scene yang membahas slogan “Mengolahragakan Masyarakat dan Memasyarakatkan Olahraga”.
Dan hal itu membuat gempar semua kalangan. Buana Putri menjadi bahan perbincangan di tengah masyarakat. Mereka terpukau oleh adegan yang menampilkan para pemain Buana Putri yang hadir di beberapa menit terakhir.
Sepak bola perempuan kian berkembang di tahun 1978. Saat itu, sebuah wadah yang secara formal menghimpun seluruh aspirasi mengenai sepak bola perempuan Indonesia dibentuk. Ia dikenal dengan nama Galanita (Liga Sepak bola Wanita).
Papat Yunisal, dalam jurnal bertajuk "Peran Galanita sebagai Organisasi Sepak Bola 1978-1933" mencatat bahwa Galanita menjadi lembaga organik yang bernaung di bawah PSSI tetapi mandiri dalam hal pelaksanaan kegiatan persepakbolaan wanita.
Tetapi, sayang sekali, Galanita sebagai kasta kompetisi tertinggi, kian hari kian tenggelam. Sejak tahun 1990, kiprah Galanita semakin terpinggirkan. Bahkan sebuah catatan sejarah lain menunjukkan bahwa ia tidak dikelola secara profesional.
Kompetisi tersebut hanya digunakan sebagai tempat menyalurkan bakat dan hobi belaka. Para pemain yang bernaung di berbagai klub tidak mendapat jaminan hidup dari sepak bola. Tentu ini menjadi catatan bagi Federasi Sepak bola Indonesia sekarang untuk lebih memperhatikan persepakbolaan perempuan.
Bagaimana kiprah Zalfa Alya dan kawan-kawan di hari-hari yang akan datang?
Hanya Tuhan yang tahu. Dan mungkin Erick Thohir, jika memang BEDA bukanlah jargon semata.