Sebelas Jam di Kamojang
Kawasan Kawah Kamojang di Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung menjadi tempat wisata yang asri. Ada yang dikelola menjadi pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
13 Agustus 2023
BandungBergerak.id – Lewat tengah malam, saya tiba di Kamojang bersama empat orang kawan. Saat itu, Selasa 25 Juli 2023. Mula-mula berniat mengisi hari libur. Kebetulan satu orang kawan hendak pulang ke kawasan Kamojang, Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung.
Kamojang merupakan suatu wilayah yang letaknya persis berada di perbatasan. Ia bersebelahan dengan Kabupaten Garut. Dengan asumsi sederhana bahwa akan sedap jika berkunjung ke sana. Pada akhirnya ingatan atas satu hal lain memberi semacam dorongan untuk ikut serta kepulangan kawan. Paling tidak sekadar mencari penebusan di tengah rutinitas harian.
Jauh sebelum berangkat, kami bersepakat bahwa perjalanan yang akan dilakukan cuma sebentar. Beberapa jam saja. Semua mengiyakan. Lumayan, saya kira. Sebab, suasana yang rutin hadir sekitar rumahnya cocok untuk mendinginkan kepala.
Begitulah awal dari keberangkatan saya bersama ketiga kawan lainnya. Tetapi, sial. Menjelang sampai, kami berempat disambut suasana begitu pekat. Gelap. Barangkali sebagian kita sadar, bahwa gelap cukup lekat dengan keburukan, suram, dan buntu. Demikian pula prasangka yang hadir di benak pada malam itu.
Raungan disertai kepulan gas dari panas bumi (geotermal) menambah kesan ngeri. Setidaknya bagi saya yang asing dengan suara semacam itu. Berbagai kekhawatiran lain juga muncul di tengah perjalanan.
Betapa tidak. Untuk sampai ke wilayah Kamojang, kami harus melewati jalur yang cukup curam. Meski kali ini tidak melewati Tanjakan Monteng, namun jarak pandang tetap saja serasa berkurang. Berembun. Buram. Serupa masa depan rakyat pekerja usai disahkannya UU Cilaka.
Sementara jalanan terlampau sempit. Lampu penerang minim. Utamanya, sesaat setelah melewati Majalaya, dan memasuki daerah Paseh. Poek, lur.
Belum lagi letaknya yang tidak jauh dari tempat pimpinan gerombolan Kartosoewirjo ditangkap. Hal ini menambah prasangka buruk tentang wilayah yang kini kami singgahi. Tetapi, semua itu hanyalah semata kesan.
Ia sirna selepas pagi datang. Lantunan orang mengaji mewarnai suasana. Gunung tinggi menjulang gagah. Udara dingin menusuk sanubari. Para petani mulai menggarap lahan. Anak-anak sekolah dasar dengan penuh semangat bergegas pergi ke sekolah masing-masing.
“Bahkan dalam kegelapan yang paling gulita sekali pun kita punya hak untuk mengharapkan seberkas cahaya," tulis Hannah Arendt dalam Man in the Dark Times. Saya suka kata-katanya yang dirancang sedemikian kuat. Tentu konteks penulisan kalimat itu tak ada hubungannya dengan perjalanan ke Kamojang.
Metafora yang ia buat juga sebetulnya ditujukan pada sikap pribadi-pribadi besar yang – dalam hidup dan karyanya – memancarkan inspirasi yang berdampak luas. Tetapi, rasanya penggalan kalimat "hak untuk mengharap seberkas cahaya" itulah yang saya kira, begitu memukau. Sederhana.
Ia melekat dengan hal yang bersifat terang-benderang. Sebagaimana harapan. Ia juga bisa menggambarkan kegembiraan. Dan kegembiraan, bagi pekerja upahan, salah satunya datang tatkala diri bisa menikmati sependar cahaya........liburan.
Baca Juga: Yang Senyap di Dago Pakar
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1
Sidik Kertapati, Satu dari Sekian Nama yang Dihilangkan
Ibun Masih Bandung
Pagi itu, hawa dingin menyergap penghuni Kamojang. Pemandangan yang tampak sekitaran Desa Laksana juga begitu mempesona. Hamparan sawah luas membentang. Sinar mentari lembut mulai hadir. Ia memberi kehangatan. Disertai kilaunya yang gemilang.
Seperti yang telah disinggung di muka bahwa kami menginap di kediaman seorang kawan. Rumahnya terletak di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Saya ulangi sekali lagi, bahwa Wilayah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Garut. Letaknya di paling ujung.
"Sarapan dulu," kata teman saya yang menjadi tuan rumah. Pria berkaus Timnas Kamerun itu lantas menyodorkan kami masing-masing seporsi nasi kuning. Tak lupa diselipkan berbagai gorengan, seperti bala-bala, juga gehu. "Biar kuat jalan kaki," katanya lagi.
Jam menunjukkan pukul delapan. Selepas makan, kami merokok dan berbincang-bincang ringan sambil menikmati udara Kamojang. Di sela-sela embusan rokoknya, kawan saya tampak lebih sumringah. Ia bergegas ke belakang. Katanya, ingin membersihkan badan. Tak lama kemudian orang tuanya keluar dari kamar. Kami berbicara sembari hendak pamit pulang.
Selepas menunggu kawan yang sedang membersihkan badan, dan berpamitan sebagai tanda hormat, kami berangkat dari Desa Laksana menuju ke suatu tempat yang kira-kira enak untuk dipakai santai sejenak. Kawan kami lalu menawarkan sebuah lokasi yang sempat ramai dipersoalkan pada 2019 silam: Kawah Kamojang.
Bukan tanpa sebab tentu saja. Para pegiat lingkungan saat itu menolak putusan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) yang menurunkan status Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Dan kebetulan kediaman kawan satu ini letaknya cukup berdekatan dengan Kawah Kamojang.
Kira-kira, hanya menghabiskan sekitar dua kilo meter untuk sampai ke lokasi tujuan. Dan, ya, tak butuh waktu lama. Kurang dari sepuluh menit, kami sudah tiba di lokasi. Saya tak bosan untuk kembali mengingatkan bahwa, meski sebetulnya lebih dekat dengan Garut, kawasan Kamojang masih berada di Kampung Ibun. Artinya, termasuk wilayah administratif Kabupaten Bandung. Ia terletak di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut.
Entah sejak kapan Kawah Kamojang menjadi daya tarik bagi pengunjung yang singgah. Yang jelas, kebanyakan merupakan warga perbatasan Bandung-Garut dan sekitarnya. Begitu informasi yang selintas saya dengar dari seorang kawan.
Beberapa penjual makanan juga tersedia. Mereka berbaris menjelang hari masuk siang. Seiring dengan munculnya sektor ekonomi gig yang mulai melakukan penetrasi ke wilayah ini. Bisa dibilang, kiwari Kawah Kamojang menjadi opsi kesekian semenjak kehadiran tempat wisata lainnya. Seperti misal Kebun Mawar Situhapa.
Demikianlah bahwa wisata-wisata lain dengan konsep berbeda bermunculan. Barangkali, kini serupa dengan kawasan Bandung Utara. Saya teringat pada satu kawasan yang kerap disambangi muda-mudi segenerasi: Caringin Tilu, Padasuka.
Sebelum memasuki kawasan Kawah Kamojang, pengunjung wajib membayar sejumlah biaya. Saat itu, seorang kawan merogoh kocek sebesar 39 ribu rupiah untuk empat orang. Cukup terjangkau saya kira.
Kami terus berjalan. Masuk menyusuri lokasi yang konon sempat memberi kesan mendalam bagi Charlie Chaplin di tahun 1936. Kami lalu disambut dengan Kawah Manuk. Ia serupa danau. Hanya sedikit saja bedanya. Ia diwarnai kepulan asap. Memberikan suasana yang khas. Usai melewati Kawah Manuk, kami tiba parkiran yang membentang cukup luas.
Ia dikelilingi beberapa warung yang menyediakan cemilan bagi yang singgah. Dan ada pula beberapa kamar mandi yang tersedia. Saya merasa tempat ini cukup ramah bagi siapa-siapa yang tiba-tiba menerima panggilan alam.
Kawah Kamojang ini menurut taksiran memiliki lahan seluas 10 hektar. Dan ternyata bukan hanya memiliki satu kawah. Selain Kawah Manuk yang saya jumpai pertama kali, ada pula Kawah Kereta Api.
Konon, dinamakan Kereta Api karena kawah ini menggemakan suara yang menyerupai kereta. Dan benar saja. Tatkala didekati, suara persis kereta nyaring sekali terdengar. Kami terus berjalan. Hingga memutuskan istirahat di Bale dekat Kawah Kereta Api. Sebuah tempat berbentuk prisma segi enam.
Pemandangan yang tampak dari Bale begitu memukau. Sulit rasanya mendeskripsikan hal tersebut. Yang pasti, dari tempat ini, hamparan bukit dan hutan terlihat jelas sekali. Meski tentu saja narasi keindahan semacam ini bukan suatu hal yang tidak lazim.
Ia nyaris terdapat di berbagai kitab suci. Termasuk dalam ajaran yang saya imani. Keindahan alam begitu banyak terbentang di surat-surat dalam Al-Qur’an. "Alam adalah hasil karya-Nya," tulis mendiang Kuntowijoyo, seorang sejarawan.
Betul memang. Jika dibuka kembali, tidak ada satu surat pun dari 114 surat dalam Al-Qur’an yang merujuk ke teknologi. Misalnya, demi televisi. Atau, demi AI. Sehubungan dengan permasalahan itu, seorang Ilmuwan lainnya mengatakan, "Manusia mempunyai peradaban justru karena berjuang menundukkan alam". Suatu pandangan yang, jika saya tidak keliru, bersandar pada konsepsi antroposentrisme “Baconian”.
Bagi Kuntowijoyo, istilah “menundukkan” itu sendiri bermasalah. Ia menjelma semacam kesombongan. Arogansi manusia. Yang benar, menurutnya, ialah manusia harus berdamai dengan alam.
Pendapat Kuntowijoyo ini senada dengan ilmuwan asal Trier yang saya kagumi – yang lalu dikembangkan oleh ilmuwan generasi selanjutnya bernama Bellamy Foster. Tesis yang diajukan kira-kira bahwa, "Yang lebih tepat adalah perubahan bersama (coevolution) antara manusia dengan alam itu sendiri".
Kebetulan jika nama kawah yang terakhir kami datangi diberi nama serupa fenomena alam. Ia memiliki nama Kawah Hujan. Entah bagaimana asal-usulnya. Yang pasti, letaknya kira-kira 500 meter dari Kawah Kereta Api. Suasana sekitarnya pun tampak sekali berbeda dengan Kawah Kereta Api.
Dari segi bentuk, Kawah Hujan juga agak lain. Ia dikelilingi bebatuan dan belerang. Menurut seorang pengelola yang kami temui, Kawah Hujan sangat cocok untuk orang sakit. Konon, asap yang dikeluarkan Kawah Hujan dapat mengobati berbagai macam penyakit
Ia dianggap ampuh bagi penderita stroke, jantung, influenza, penyakit kulit, dan rematik. Saya diam. Bukan menunggu pembuktian. Sama sekali bukan. Namun kagum atas pemandangan yang terbentang. Dan selain dapat mengobati penyakit di dalam tubuh manusia, uap panas yang tersedia di Kawah Kamojang juga digunakan untuk keperluan pembangkit listrik.
Bermula dari temuan JB Van Djik
Bicara mengenai pembangkit listrik, tentu tidak lepas dari sosok JB Van Dijk. Ia merupakan seorang guru di HBS Bandung. Ia pula penggagas awal energi panas bumi di era kolonial. Sebuah temuan yang melahirkan pembangkit tenaga panas bumi.
Seturut informasi yang saya petik dari parlement.com, JB Van Dijk sempat menjadi Anggota Parlemen dari Fraksi Katolik. Ia bertahan. Selama kurang-lebih sebelas tahun. Ia juga turut ambil bagian dalam dewan kota. Bahkan lihai dalam soal ekonomi dan keuangan.
Semua bermula dari satu tulisan bertajuk Krachtbronnen in Italie atau yang artinya Kekuasaan di Italia. Tulisan itu diterbitkan di majalah Koloniale Studien. Secara garis besar, tulisan tersebut memuat informasi mengenai kesuksesan Italia dalam menggunakan panas bumi untuk energi listrik. Sebagaimana terjadi di Larnderello, Italia Tengah.
Itulah yang kemudian mengilhami Van Dijk. Ia memberi usulan pada Pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan hal serupa. Namun, tentu saja semua tak berjalan lancar. Baru delapan tahun kemudian, tepat pada tahun 1926, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengucurkan anggaran untuk melakukan pengeboran di Kamojang.
Saat itu, sebuah perusahaan milik pemerintah kolonial, ditugasi untuk melakukan pengeboran. Perusahaan itu kelak dikenal dengan nama The Netherland East Indies Vulcanologycal Survey. Informasi mengenai hal ini membuat saya penasaran. Sebab, kita tahu, selalu ada kisah rumit di balik hal-hal yang tampak di permukaan.
Sungguh saya penasaran. Ingin menggali lebih jauh. Dalam hal ini, adakah kaitan yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut dengan krisis ekonomi atau dikenal Depresi Besar sepanjang tahun 1920an?
Tetapi saya cukup sadar. Untuk menggapai hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara jam menunjukkan pukul sebelas siang. Artinya, sudah waktu pulang ke tempat asal. Saya harus kembali menjalani peran sosial sebagai pekerja upahan.