• Kolom
  • Gejolak Hasrat Sepak Bola di Cijerah

Gejolak Hasrat Sepak Bola di Cijerah

Sepak bola digemari dan merekatkan jutaan orang. Di kampung kota di Cijerah sepak bola menjadi modal sosial. Di pertandingan liga di Eropa ia menjadi komoditas.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Kemeriahan Turnamen Sepak Bola di Sukamaju Kaler. Tua-muda memenuhi lapangan. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

28 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Sepak bola bukan olahraga biasa. Ia terkadang memberi kesan yang, dalam taraf tertentu, berbeda-beda. Darinya, sebagian orang mampu belajar beberapa hal. Paling tidak, sekadar memetik hikmah.

Seorang kawan, misalnya, meraih sejumlah pengetahuan ihwal bahasa-bahasa daerah di Indonesia melalui sepak bola. Ini serius. Berbasis pengalaman. Ia mengaku sulit mencerna asupan ilmu dari sekolah. Sebaliknya, dengan mudah mendapat informasi lewat obrolan. Semua terjadi saat menghadiri tim kesayangannya melakoni laga tandang.

Sebagian lagi mendapat berbagai asupan informasi dari halaman surat kabar. Mulanya didasari keinginan mengetahui hal-ihwal yang beririsan dengan hasil pertandingan. Uniknya, kebiasaan anehnya ini menjadikan ia sebagai anak remaja yang mengetahui relasi oligarki dan sepak bola di Italia.

Ia juga paham anggaran belanja daerah untuk klub sepak bola lokal. Anggaran untuk Persib, misalnya. Saat itu, tentu tidak lebih besar dari Persija. Bisa dilihat dari skuad yang dimiliki keduanya pada era 2000an awal. Hanya orang benclung yang beranggapan jika Luciano Leandro lebih murah dibanding Ade Abdillah. Pemkot Bandung biasanya hanya mampu menggelontorkan dana sekitar Rp 20-25 miliar saja per tahunnya.

Sekali lagi, ini merupakan dorongan yang begitu aneh. Terutama jika mengingat keseharian kawan tadi yang sebetulnya malas belajar di sekolah. Tetapi, ironi terjadi. Bahkan kabar aktual mengenai Liga Indonesia sering menjadi pembuka percakapan pagi hari sebelum memulai pembelajaran di sekolah yang letaknya di Jalan Semar. Aneh sekali memang.

Bagi kawan saya, atau remaja tanggung seusia saya saat itu, aktualitas adalah segalanya. Kelak, informasi aktual mengenai sepak bola ini memberi semacam otoritas bagi siapa-siapa yang hendak berusaha memamerkan pengetahuan. Serupa fafifu wasweswos belakangan ini. Dan, ya, tentu saja perkara teknis lapangan menjadi penentu segalanya. Permainan terbaik yang dihasilkan darinya acapkali membuat hati membuncah.

Banyak orang yang telah merasakan. Tak jarang sepak bola memberi kebahagiaan yang sulit digantikan oleh kata-kata. Jika tak percaya, silakan tanya bagaimana kesan yang didapat “umat” Maradona saat menyaksikan Lionel Messi angkat piala.

Perasaan itu tiba-tiba menggelegak. Nyaris serupa dengan kemunculan apa yang dinamakan orang sebagai jatuh cinta. Sementara bagi penggemar klub lawan, kekalahan tentu memberi rasa pedih. Pasti sakit sekali. Sebab, nyeri yang dihasilkannya kadang lebih menyakitkan dari patah hati.

Dan karena itu pula barangkali, di hari-hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78, sepak bola hadir dimana-mana. Salah satunya, di Sukamaju Kaler. Satu daerah di Cijerah yang secara administratif masuk Cimahi Selatan.

Kemeriahan Turnamen Sepak Bola di Sukamaju Kaler. Tua-muda memenuhi lapangan. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Kemeriahan Turnamen Sepak Bola di Sukamaju Kaler. Tua-muda memenuhi lapangan. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Baca Juga: Sidik Kertapati, Satu dari Sekian Nama yang Dihilangkan
Sebelas Jam di Kamojang
Kisah Toko Buku Merpati, Bertahan Sejak Tahun 1950an

Kompetisi Sepak Bola di Sukamaju  

Sukamaju merupakan wilayah kampung kota. Ia berada di antara Kompleks Melong Green Garden, dan Pharmindo. Untuk sampai ke sana, Anda bisa melalui Jalan Melong Asih. Struktur jalannya beraspal.

Menjelang sampai Sukamaju Kaler, harus lebih dulu melewati gang. Apabila Anda kurang akrab dengan kehidupan di gang, sulit rasanya untuk memahami nalar jalanan di sekitar. Risikonya bisa tersasar. Atau menemui jalan buntu. Dan jika memacu dengan kecepatan tinggi, bisa-bisa menabrak anak-anak kecil yang sedang berlarian.

Mayoritas penduduk Sukamaju adalah pekerja pabrik. Mengingat letaknya yang tidak jauh dari kawasan industri Leuwigajah. Sebagian dihuni pengusaha informal, dan sebagian lagi pekerja minim keterampilan (unskilled labor).

Tak seperti biasanya, pada Agustus di musim kemarau, Sukamaju ramai oleh kompetisi sepak bola antar klub. Kebanyakan anak-anak usia 13 tahun. Mereka bersenang-senang dengan sepak bola. Memperebutkan sejumlah hadiah. Menegaskan asumsi bahwa sepak bola bisa dimainkan dan dinikmati di mana saja, dengan beragam cara.

Begitulah olahraga yang digemari jutaan orang turut hadir di Sukamaju. Ia merekatkan banyak orang. Sebagaimana pemandangan yang didapat sore itu.

Seluruh tim yang mengikuti turnamen di Sukamaju memiliki nama. Entah dari mana mereka mendapatkan inspirasi untuk menamai klub yang dibelanya. Sebab unik sekali jika dipikir lebih jauh lagi.

Di antaranya, ada Poker FC, Babakan FC, Oskadon SP, Pabrik Kurupuk FC, CT FC, dan Spice Girl FC -yang seluruh skuadnya dihuni perempuan. Klub terakhir diperkuat Siti Afifah. Ia merupakan pemain andalan. Konon, sudah lama dirinya memasuki sekolah sepak bola formal.

Soal kemampuan mengolah si kulit bundar, sudahlah tidak perlu diragukan. Anda bisa bayangkan bagaimana dribbling yang biasa dipertunjukkan Yaris Riyadi, atau Lorenzo Cabanas. Seperti itulah Siti Afifah.

Pada hari Jumat 18 Agustus 2023, sejumlah orang memadati pinggir Lapangan Sukamaju Kaler. Tentu bukan lapangan dalam pengertian biasa, atau sebagaimana yang telah dicanangkan dalam regulasi FIFA. Ia hanyalah sebuah ruang kosong yang kira-kira memiliki ukuran panjang 25 meter dan lebar 12 meter.

Jika pada hari biasa ruang kosong ini digunakan untuk parkir kendaraan pribadi, lain halnya Agustus 2023 ini. Sejumlah warga berduyun-duyun memadati pinggir lapangan. Sambutan hangat dan tepuk tangan penuh ketulusan memantul dari kejauhan. Mereka juga terlihat asyik meneriaki para pemain. Meski mayoritas masih kerabat dekat.

"Buru, asupkeun!"

"Aaa!"

"Huuuuu.."

Suasana begitu semarak. Peringatan Kemerdekaan 17 Agustus 2023 di Sukamaju, tampak sekali lain. Kali ini, terdapat fenomena yang lazimnya kita temui di tribun stadion. Tua-muda hadir. Mereka menyempatkan diri untuk keluar rumah. Memberi dukungan pada sejumlah orang yang mengerahkan segenap kemampuan terbaiknya di lapangan.

Komentator pertandingan turut menambah atmosfer pertandingan kian riuh. Semua orang -pemain, pelatih, wasit, penonton di pinggir lapangan – menikmati sepak bola sebagai wahana kegembiraan di Sukamaju sore itu. Semua senang. Semua riang. Wabilkhusus orang tua yang melihat anaknya bermain dengan cemerlang.

Siti Afifah, yang merupakan bintang di turnamen Sukamaju Kaler. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Siti Afifah, yang merupakan bintang di turnamen Sukamaju Kaler. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Atas Dasar Cinta

Kompetisi sepak bola di Sukamaju ini diinisiasi Iqbal Muhamad. Ia seorang pria berusia 30 tahun. Saya mengenalnya dua dekade silam. Saat itu, kami sama-sama menggilai Persib. Nyaris tanpa kritik.

Dulu kami sering disebut anak bawang. Sebuah perumpamaan yang berarti pendapat kami jarang didengar. Biasanya gara-gara umur belum matang, atau pengalaman kurang. Dan masih tergabung dalam kelompok penggemar sepak bola asal kota kembang yang kerap terlibat bentrokan di Stadion Benteng Tangerang.

Namun, tentu saja itu dulu. Belasan tahun lalu. Jika mengingatnya, saya pastikan itu adalah hal bodoh terakhir yang, sebisa mungkin, saya hindari di sisa hidup. Dan semua ketidakwarasan yang disebabkan oleh sepak bola itu tak akan saya ceritakan pada anak-cucu kelak.

Saat ditemui belakangan ini, Iqbal Muhamad telah berubah. Jauh sekali. Nyaris tidak ada sisa-sisa dari apa yang dulu saya ketahui. Ia mengajak berbincang panjang lebar. Katanya, ia resah pada otoritas setempat, atau RW.

Iqbal Muhamad lalu berencana menggelar kegiatan sendiri bersama pemuda lainnya di Sukamaju Kaler. Mereka yang kerap dianggap tidak bisa berkarya. Dengan lain perkataan, adalah mereka yang dinilai tak mampu berbuat apa-apa.

Iqbal tentu geram. Ia berupaya menepis kesan yang datang terhadap para pemuda di Sukamaju Kaler itu. Dengan demikian, rancangan turnamen sepak bola segera direalisasikan. Semua dijalankan tanpa sekat wilayah. Siapa saja berhak mengikutinya.

Dan yang jelas, tidak sedikit pun bantuan mengalir dari otoritas setempat. Mereka berbuat semampunya. Atas dasar kecintaan pada sepak bola. Selain itu, juga mengandalkan kebersamaan warga.

"Alhamdulillah, kami bisa menyelenggarakan turnamen sepak bola dan perlombaan khas 17 Agustusan," kata Iqbal.

Ia mengaku terinspirasi dari sekumpulan anak-anak muda lainnya yang menggagas klub Riverside Forest. Kita tahu, Riverside mampu melakukan sesuatu lewat sepak bola. Mereka bersenang-senang. Menyuarakan pesan dan keresahan yang dialami jutaan orang setiap hari.

"Sementara kami, pemuda Sukamaju Kaler, sama juga, ingin bersenang-senang lewat sepak bola," katanya lagi.

Solidaritas untuk Dago Elos dari para pemuda Sukamaju Kaler. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Solidaritas untuk Dago Elos dari para pemuda Sukamaju Kaler. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Modal Sosial

Apa yang dilakukan Iqbal sebetulnya memiliki potensi hebat. Mewujud suatu hal yang menjadi modal sosial. Ini bisa ditinjau dari pendapat Robert Putnam, ilmuwan politik asal Amerika Serikat. Ia menjabarkan konsep modal sosial sebagai rangkaian proses hubungan manusia yang melibatkan kehidupan sosial, norma-norma, dan kepercayaan sosial (social trust).

Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu. Memungkinkan terjadinya kerja sama yang saling menguntungkan. Ia juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama. Bahkan pola hubungan itu memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif (Yulius Slamet, 2011).

Pendeknya, modal sosial mengacu pada tiga dimensi utama: hubungan sosial, norma-norma, dan kepercayaan. Keberadaan dimensi utama modal sosial itulah yang mengemuka di dalam kompetisi sepak bola di Sukamaju. Sebab, kompetisi itu lahir dari obrolan di lingkaran pertemanan.

Ia digagas sejumlah pemuda usia 30an. Dan mereka menjalankan apa yang, dalam pandangan Putnam, dimaknai sebagai trust atau rasa percaya (memercayai).

Kepercayaan yang muncul lalu mampu memfasilitasi orang-orang untuk saling bekerja sama. Dan kemunculan rasa percaya itu tentu saja tak bisa lepas dari inisiatif Iqbal Muhamad beserta masyarakat sekelilingnya. Tak hanya aksi di lapangan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Bentuk konkretnya, bisa dilihat dalam dukungan pada kegiatan yang diadakan di Sukamaju. Dan berhasil, tentu. Kegiatan itu menumbuhkan rasa nyaman, dan menganggap kelompok sebagai keluarga kedua. Dalam wujud lain, bisa pula menumbuhkan rasa memiliki dan kepedulian.

Yang menarik, keberadaan modal sosial itu terbukti efektif. Bahkan sama sekali Iqbal tak menghadapi kendala. Entah itu tenaga atau materi. Sebab, ia bersama kawan lainnya melakukan dengan penuh suka cita. Bahkan mulai dari anak kecil sampai ibu-ibu ikut berpartisipasi. Mereka membantu semampu-mampunya.

Iqbal juga memiliki segenggam harap. Kelak, usai turnamen dirampungkan, ia ingin menyediakan taman film di Sukamaju. "Yaaa, minimal satu bulan sekali kami memutar film untuk nobar bersama warga," katanya. Ia juga ingin membuat taman baca, dan kelas bercerita di tiap Minggu sore untuk anak-anak kecil.

Sementara untuk ke arah yang lebih serius, dan mengembangkan bakat bermain bola, ia mengaku tidak terlalu ambil fokus. Sebab, bukan kebetulan jika anak-anak di Sukamaju banyak yang telah terikat dengan sekolah sepak bola (SSB) di Bandung.

Tak Sama Lagi

Kita kerap mendengar secuplik kalimat yang entah dilontarkan siapa mulanya. Kira-kira begini: uang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang. Demikianlah. Banyak orang dibuat rela melakukan apa saja. Mengenai hal ini, bisa dilihat bagaimana bintang sepak bola top Eropa berduyun-duyun melakukan eksodus ke Arab Saudi.

Sulit rasanya untuk berhusnuzan bahwa kepindahan mereka – Ronaldo, Neymar, Benzema, Mahrez, Mane, Firminho, dan Henderson – diniatkan untuk mencari amal ibadah. Singkat saja, kepergian mereka tentu didasari uang. Mereka berupaya menambah kekayaan. Meski para penggemar sepak bola yang juga pembaca Das Kapital bakal keberatan:

“Kekayaan itu berasal dari nilai kerja, Bung!”

Tetapi, begitulah sepak bola sekarang. Ia dikuasai pemeluk ajaran laissez-faire.  Menjadi arena akumulasi skema M-C-M (money-commodity-money) yang benar itu. Klub sepak bola kiwari bergeser menjadi komoditas. Ia harus dirawat dengan uang, untuk mendapatkan lebih banyak uang. Nilai tukarnya, tentu luar biasa besar. Bahkan sulit untuk sekadar membayangkan.

Ia bukan lagi sebatas permainan 90 menit di lapangan. Tiket pertandingan menjadi skema pemindahan upah pekerja untuk kembali ke kantong majikannya. Ironi. Padahal, bagi kami berdua –saya dan Iqbal, sepak bola memiliki kesan yang agak romantik. Sangat tidak saintifik. Naif sekali.

Sepak bola yang dulu kami gemari, beriringan dengan kisah yang disajikan dalam film Kera Sakti, Padi yang mulai tancap gas dengan single Mahadewi, dan serial Jinny oh Jinny. Ia menjadi semacam situs budaya yang memiliki kesan bagi banyak remaja saat melewati masa akil balig. Bahkan tak jarang dimainkan hingga azan magrib.

Sulit untuk mengakui bahwa salah satu cabang olahraga bahkan mampu mengalahkan rasa letih, nyeri dipukuli, dan pengapnya Bus Mayasari. Suatu hal yang kami alami dua dekade silam jika hendak awaydays ke Tangerang. Tetapi semua telah berubah. Jauh sekali berubah. Kiwari, semua dibuat heran. .

Dengan modus pemasaran yang piawai, cabang olahraga ini mengalami proses komodifikasi. Ia bergeser menjadi komoditas yang memiliki jalinan rumit. Serumit menakar nilai guna, nilai tukar, dan nilai (kerja manusia) yang melekat di dalamnya. Kami pun ikut-ikutan memainkan Fantasy Premier League. Dan sejak memulai permainan ini, kami teringat kembali, bahwa sepak bola tak pernah sama lagi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//