• Kolom
  • Kisah Toko Buku Merpati, Bertahan Sejak Tahun 1950an

Kisah Toko Buku Merpati, Bertahan Sejak Tahun 1950an

Toko Buku Merpati di Jalan Ciledug Garut menjadi satu dari sekian toko buku lawas yang masih bertahan di tengah fenomena ambruknya toko-toko buku di zaman sekarang.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Toko Buku Merpati di Jalan CIledug Garut. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

21 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Denyut kehidupan sekitar Jalan Ciledug Garut berdentam begitu cepat. Sekilas, teramat jelas bahwa kawasan ini merupakan kawasan perniagaan. Sejumlah orang terlihat sedang berjibaku dengan barang dagangan masing-masing.

Nyaris tidak terdengar suara orang tawar-menawar. Sebagaimana biasa kumandang di pasar. Sebab, toko-toko di sekitar Jalan Ciledug telah menetapkan harga. Demikianlah. Kawasan ini lebih memantulkan kebudayaan kota. Itu pula yang menjelaskan mengapa nyaris tidak kedengaran suara orang menawar.

Pada hari Rabu, 26 Juli 2023, saya bersama ketiga kawan lainnya yang hendak pulang ke Bandung, sepakat memilih rute memutar lewat Garut. Mulanya sekadar singgah untuk mengisi perut di sekitaran Jalan Ciledug. Namun, di sini kami tak sengaja menemukan Toko Buku Merpati.

Bermula saat kami perlahan jalan kaki menuju parkiran. Menjelang sampai, seorang kawan terperanjat. Ia yang tak sengaja melirik ke sebelah kanan, lalu mendapatkan sebuah barang dagangan yang memikatnya, terpajang di salah satu toko.

Semua memutuskan untuk masuk ke dalam. Dengan asumsi bakal menemukan sesuatu. Dan betul rupanya. Ini adalah sebuah toko buku. Namun suasananya begitu sunyi. Senyap. Hening. Atau apapun istilah yang bisa menggambarkan keadaan semacam itu. Kontras dengan situasi toko yang menyediakan barang dagangan lain di kanan-kirinya.

Dari luar, terang sekali toko ini dinamai Merpati. Tetapi, benar-benar tidak terlihat seperti toko buku pada umumnya. Bangunan tua ini lebih menyerupai bioskop. Persis Bison di Sukajadi Bandung.

Kami menemukan beberapa bacaan menarik di dalam. Mayoritas diisi buku-buku terbitan Ujung Galuh, Pustaka Jaya dan Kiblat. Atau bisa dikatakan bahwa buku yang tersedia kebanyakan bertema sastra sunda. Uniknya, ada juga buku langka.

Di antara deretan buku-buku itu, terselip beberapa karya Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, Amir Hamzah, dll. Kawan saya, yang doyan pada buah pikiran sosok-sosok itu, tentu saja segera memborong buku-buku tersebut. Kami pun berkenalan dengan pengelola -sekaligus pewaris sah Toko Buku Merpati, dan berbicara panjang lebar dengannya.

Baca Juga: Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1
Sidik Kertapati, Satu dari Sekian Nama yang Dihilangkan
Sebelas Jam di Kamojang

Berdiri Sejak Tahun 1950an

Sinar mentari memancar ke sebuah bangunan tua di Garut. Di dalamnya sederhana. Beberapa mesin tik tua dipajangkan. Barang-barang vintage lainnya juga dihamparkan. Inilah Toko Buku Merpati. Ia menjadi penyalur bahan bacaan bagi mereka yang hendak mencari referensi buku-buku di kota ini. Karya-karya yang ditulis Ahmad Bakri, hingga Aan Merdeka Permana, mendominasi etalase yang terpajang di Toko Buku Merpati.

Toko Buku Merpati dikelola seorang bernama Asih Setiati. Bu Asih, demikian kami memanggilnya, merupakan pribadi yang begitu asyik. Ia sama sekali tidak kolot. Sejak muda, ia sudah menekuni disiplin ilmu Kesejahteraan Sosial. Pada saat kami berbincang, Bu Asih begitu telaten. Pemahamannya mengenai berbagai fenomena sosial begitu memukau.

Ia mampu menjelaskan persoalan rumit dengan perkataan yang mudah dicerna. Sesekali keterangan lain yang disampaikan Bu Asih menyiratkan cahaya ilmu yang terpatri dalam dirinya. Meskipun usianya memasuki 60 tahun.

Bu Asih merupakan seorang pensiunan. Sebelumnya, fokus Bu Asih terbagi dua di antara pekerjaan utama dan kesenangannya merawat warisan orang tua yang mewujud pada sebuah toko buku. Dan kini, fokusnya telah menjadi satu.

Ia antusias menjelaskan pengalaman hidupnya pada kami yang duduk di sebuah kursi. Persis di sebelah meja yang turut mengisi ruang Toko Buku Merpati. Ia juga menguraikan panjang lebar ihwal perjalanan Toko Buku Merpati yang telah berdiri sejak tahun 1950an.

Aya nu ti Sinar Harapan, Kompas, sareng Buruan.co, nu kantos kadarieu," ungkap Bu Asih. Ia lalu menegaskan, selama masih ada penerbit, dirinya akan terus bertahan. Hal ini terutama karena Toko Buku Merpati memberlakukan sistem konsinyasi. Sebuah ketentuan yang telah dijalankan sejak lama.

Jika diamati secara seksama, buku-buku yang dipajang di Toko Buku Merpati memang mayoritas merupakan titipan dari penerbit. Namun demikian, saat ada kesempatan, tak jarang pula Bu Asih membeli buku-buku itu secara tunai. Semua tergantung kesepakatan antara dirinya dan penerbit.

Besar dugaan kami bahwa keberlanjutan Toko Buku Merpati ini, didasari atas ikatan emosional Ibu Asih beserta keluarga besarnya pada buku. Dan benar saja. Meski ia sama sekali bukan seorang penulis, ia akrab dengan sejumlah penyair kenamaan. Bahkan memiliki ikatan darah dengan beberapa di antaranya.

Ia merupakan keponakan dari sastrawan sunda Wing Hardjo. Sekaligus merupakan tante dari penyair, Ratna Budiarti. Ini diakuinya dalam obrolan panjang dengan kami yang kebetulan singgah di Toko Buku Merpati.

Tak terasa waktu berjalan. Berbatang rokok telah dinyalakan. Kami lalu melanjutkan percakapan. Seorang kawan menanyakan bagaimana strategi Bu Asih bertahan dalam menjalankan roda usaha Toko Buku Merpati. Bu Asih menjawabnya panjang lebar. Sembari mengembangkan topik pembicaraan ke hal-ihwal perbukuan lainnya.

Hingga tiba pada fenomena ambruknya toko-toko buku di zaman sekarang. Bu Asih diam sejenak. Ia tampak sedang merenungi apa-apa yang telah dilalui. Kemudian lugas menjawab pertanyaan kami. Ia mengaku, bahwa Toko Buku Merpati tidak sekadar untuk mencari keuntungan.

"Abdi mah mencari nyaman. Soal profit mah nomer sekian," tegasnya.

Secara faktual, terutama dalam beberapa tahun ke belakang, publik disajikan pemberitaan mengenai tutupnya beberapa toko buku besar. Kebanyakan tak mampu bertahan. Tetapi lain halnya dengan Toko Buku Merpati.

Tidak sedikit kolega Bu Asih yang terus memberi semangat dan dorongan. Untuk keperluan harian, Bu Asih terus terang bahwasanya dirinya memiliki ceruk penghasilan tambahan. Baginya, terpenting Toko Buku Merpati tetap hadir melayani pelanggan. Untung atau buntung. Itu soal lain.

Terang Dunia

Kita tahu bahwa perkembangan teknologi mutakhir telah sedemikian maju. Dan tentu, teknologi beririsan dengan ilmu. Sementara ilmu bisa berkembang salah satunya lewat kebiasaan membaca. Demikianlah. Buku adalah terang dunia.

Atas dasar itu saja barangkali Bu Asih setia di jalan yang ditempuhnya. Mengingat, dalam sejumlah temuan, durasi waktu masyarakat Indonesia untuk membaca rata-rata hanya 30-59 menit per hari (kurang satu jam), sementara di negara maju rata-rata mencapai 6-8 jam per hari.

Ambivalensi terjadi. Sebagian besar orang Indonesia malah mampu menghabiskan waktu 5,5 jam sehari untuk bermain gawai atau gadget. Ironis, tentu. Boleh saja dikatakan seperti itu. Tatkala teknologi kian bergerak maju, denyut nadi tradisi literasi bisa saja kian pudar. Meski kehadiran buku-buku digital sangat membantu.

Padahal, jika sedikit menengok ke belakang, toko buku dan pembacanya merupakan pemantik kemajuan. Dalam satu masa, bahkan sempat ada penguasa yang antusias mendorong rakyatnya untuk membangun peradaban lewat buku. Sebagaimana terjadi di era Abbasiah.

Atau, sebagaimana yang pernah dihelat di era demokrasi terpimpin. Saat itu, 21 Mei 1964, Hari Buku Nasional diselenggarakan secara semarak. Dalam perhelatan yang dihadiri 24 peserta (penerbit dan toko buku dari berbagai negara anti-imperialis: Uni Soviet, Cekoslovakia, China, Korea Utara), acara itu diberi tajuk “Buku Alat Revolusi Jang djitu”.

Tentu saja tidak ada faktor tunggal. Dan berbagai upaya kini telah terus-menerus dilakukan. Terutama oleh beberapa komunitas yang militan. Beberapa taman bacaan berupaya dihadirkan. Tak terkecuali di Kabupaten Garut.

Menurut data BPS pada tahun 2020, dari hasil indeks pendidikan, Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki nilai indeks di bawah rata-rata. Tercatat indeks pendidikan di Kabupaten Garut hanya mencapai 57,78.

Toko Buku Merpati berupaya hadir untuk mengikis persoalan ini. Bu Asih, yang memiliki layar belakang keilmuan kesejahteraan sosial, tentu paham. Ia hendak mendorong kualitas pembangunan sumber daya manusia di Kabupaten Garut.

Dan untuk itu, diperlukan suatu upaya untuk menghadirkan buku bacaan berkualitas ke tengah-tengah masyarakat. Meski, tentu saja hal ini bukan solusi satu-satunya untuk mengatasi masalah peningkatan kualitas sumber daya. Tetapi, bukankah ilmu pengetahuan bisa berkembang dari tradisi literasi?

Kini, dalam pertarungan di sisa hidupnya, Bu Asih fokus menempuh jalan sunyi itu; melanjutkan “pergulatan” yang dirintis keluarganya sejak tahun 1950an. Kami berjanji, jika ada waktu luang, akan kembali singgah ke Toko Buku Merpati.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//