• Kolom
  • Berkutat di antara Pustaka dan Sepak Bola

Berkutat di antara Pustaka dan Sepak Bola

Persahabatanku dengan Rizki Sanjaya yang akrab dengan sapaan Masbox berawal dari kecintaan kami pada buku dan sepak bola.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Rizki Sanjaya a.k.a. Masbox. (Foto: Instagram @rizkimasbox)

18 November 2023


BandungBergerak.id – Sore itu, suasana pilu hinggap di Stadion Surajaya Lamongan. Menjelang laga Persela melawan Persib di Liga 1 tahun 2017, publik sepak bola Indonesia dirundung duka. Raut wajah mayoritas penonton dan suporter yang hadir terlihat muram.

Sebagian tampak kesulitan membendung air mata yang mengalir deras di sekitar wajah mereka saat mengenang kepergian Choirul Huda, kiper utama Persela. Ia meninggal akibat benturan keras di lapangan pada Minggu sebelumnya. Choirul Huda memang tercatat sebagai pemain paling setia di Persela Lamongan.

Nahas, sang legenda harus menghembuskan nafas terakhir saat ia memasuki usia 38 tahun. Lagu "Sampai Jumpa" ciptaan Endank Soekamti yang diputar pasca pertandingan membuat suasana stadion kian gundah. Saya lupa tanggal, bulan, dan skor persisnya.

Yang jelas, pertandingan -dan peringatan meninggalnya Choirul Huda itu bertepatan dengan hari di mana saya dan Masbox bertemu untuk merancang beberapa hal yang kelak dilakukan bersama kawan lainnya. Ia berangkat dari Bandung, sementara saya terbang dari Makassar. Kami lalu berjumpa di sekitaran Taman Bungkul, Surabaya.

Saya ingat kala itu ia menenteng sebuah buku (kalau tidak keliru, "Bentang Lapang" karya Rachmatullah Ading Affandie). Sebuah gejala cukup aneh untuk ukuran "fan garis keras" yang acapkali dianggap biang rusuh – jauh dari tradisi intelektual. Namun siapa saja akan tersadar jika itu hanyalah sekadar prasangka. Sebab anggapan demikian segera pudar saat mengetahui bahwa ia memang memiliki kebiasaan berbeda dari kebanyakan: Ia dikenal berpikiran terbuka.

Selepas bertemu lalu ngobrol singkat di kawasan Wonokromo itu, kami berbagi kesan selama perjalanan, diselingi makan siang bersama khas Jawa Timur: Nasi Rawon. Sebelum pada akhirnya berangkat bersama-sama menggunakan mini bus menuju Lamongan. Pertemuan kami bersama teman-teman lain kemudian menjadi rutin dihelat setiap Kamis malam.

Bagi saya, itu merupakan hari-hari penuh warna. Utamanya sesaat setelah kumpulan tulisan yang kelak kami rancang disebar ke khalayak. Tak jarang pula saya menyambangi kediamannya di Cigadung. Seorang kawan kami yang lain, Taufiq Rizki, mengajukan satu nama untuk persekutuan informal itu beberapa waktu kemudian: BDG Vereeniging.

Sebuah istilah yang kemungkinan terinspirasi dari satu perkumpulan yang diinisiasi salah satu proklamator republik, Bung Hatta. Dan di sana, apa pun kami bicarakan. Terutama yang berhubungan dengan dinamika klub sepak bola yang sama-sama kami cintai dan buku-buku yang baru saja tuntas dibaca.

Barangkali di sini saya harus mengakui bahwa hari-hari penuh warna itu sebetulnya hanyalah kata ganti yang terlampau halus untuk situasi di mana kami tidak memiliki pekerjaan tetap. Masbox baru lulus kuliah di tahun 2016. Namun baginya, saat itu mungkin bukan hanya berwarna, melainkan penuh gairah.

Itu adalah waktu di mana ia yang amat sangat menggemari sepak bola bertemu sesama kawan yang juga doyan baca-tulis. Itu juga merupakan sebuah era media daring bertema bola merebak ke permukaan. Sejumlah punggawa di balik website seperti Panditfootball, Bolatotal (yang digawangi Pangeran Siahaan), Fandom, Belakanggawang, kian menunjukkan kepiawaiannya dalam menyihir publik lewat tulisan yang memukau.

Banyak sekali pencerahan yang datang dari media-media yang saya sebut di muka. Lagi, ini harus diakui. Sebab, seiring laju pertumbuhan teknologi informasi dan media sosial, kesemuanya – disadari atau tidak – mampu membuat cara pandang kami terhadap sepak bola menjadi lain. Ada semacam lompatan kualitatif yang mengiringi publik sepak bola di era ini.

Tak jarang saya, Masbox, dan kawan-kawan lain, mendiskusikan esai yang ditulis nama-nama sohor seperti Zen Rahmat Sugito, Darmanto Simaepa, Mahfud Ikhwan. Mereka itulah yang kerap menulis sepak bola dari perspektif sejarah, sosiologi, antropologi, ekopol, juga budaya. Bahkan bagi saya, hingga detik ini, sejumput kalimat yang terangkum dalam buku "Tamasya Bola" karya Darmanto Simaepa masih dapat membuat bulu kuduk bergidik.

Ada masanya ketika kami mendiskusikan tulisan-tulisan itu hingga larut malam. Dan mulai beranjak menelusuri beberapa referensi terkait, lalu mengetahui bahwa Presiden keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, juga merupakan seorang penulis bola yang ciamik. Bersama Sindhunata, Gus Dur bersahut-sahutan mempercakapkan isu publik dengan istilah-istilah yang akrab dikenali penggemar sepak bola.

Ironisnya, baru setelah rutin bertemu, saya tahu bahwa orang yang kerap bertukar pikiran itu bernama lengkap Rizki Sanjaya. Jauh sebelum itu, nama Masbox sajalah yang saya ketahui karena hanya itu yang biasa dilontarkan teman-teman lain saat menyapanya. Kapan persis mengetahui nama aslinya, lagi-lagi saya lupa. Tetapi, jika boleh meminjam frasa yang ditulis Shakespeare sebagai bentuk apologis: Apalah arti sebuah nama?

Baca Juga: Gunungan Sampah dan Kecemasan Petugas Kebersihan di Pasar Gegerkalong
Panggung Sejarah Gerakan Anti Fasis
Musso, Kisah Seorang Pembangkang di Dua Zaman

Mengkhidmati Sepak bola

Kami sangat menggilai sepak bola. Jika dipikir lagi, kadang apa yang kami kehendaki sering kali melampaui batas. Meski banyak pula hikmah dan pelajaran yang didapat. Dan muskil untuk tidak mengingatnya, sebab benang persahabatan yang kami sulam hingga sekarang juga berakar dari sana.

Begitulah sepak bola yang menghasilkan banyak kesan. Bagi saya pribadi, seperti melihat langit malam yang dapat membuat kita bisa merasakan kebesaran Yang Maha Kuasa. Dan di hadapan hal-hal semacam itu, saya kerap merasa ciut, rendah, dan tak berdaya. Dan hanya bisa menunggu atau mungkin berdoa hingga malam menyelesaikan tugasnya. Kemudian pasrah menyaksikan kekuatannya yang tak terkira: kadang sedih, kadang bahagia.

Beberapa pakar menyebut perasaan semacam itu dengan istilah sublim. Konon perasaan sublim muncul saat kita berhadapan dengan sesuatu yang tak berhingga -yang berjarak dari kemampuan kita. Di hadapan yang sublim, kita kerap merasa remeh, sepele, dan tak berguna.

Dalam penelusuran, istilah sublim memiliki asal-usul dari kata bahasa Latin, subliminis. Ia punya arti “ditinggikan hingga mencapai batas”. Dan studi menyoal sublim ternyata berasal karya Longinus sejak abad pertama Masehi. Baginya, sublim merupakan kata sifat yang mampu mendeskripsikan sesuatu yang adiluhung – khususnya dalam konteks bahasa dan retorika.

Sementara penggambaran lainnya mengenai sublim di masa lampau kadang menjelma lukisan pegunungan yang tinggi menjulang, jurang yang dalam, badai, hingga lautan, letusan gunung berapi atau longsor yang, jika benar-benar terjadi, dapat mengancam kehidupan.

Namun pertautan dengan apa yang sublim bukan hanya soal gejala alam. Di sini seni, sastra, puisi, lukisan, musik, dan arsitektur juga dapat memberikan pengalaman serupa. Dan, ya, tentu saja yang termasuk hal sublim bagi kami adalah sepak bola.

Sebuah cabang olahraga yang membuat Mussolini mengancam oriundi dari Argentina memilih apakah mereka pilih mati atau memenangkan Piala Dunia untuk Italia. Ia menyebabkan El Salvador berperang lawan Honduras. Ia yang – mengutip Mahfud Ikhwan – membuat Bangladesh rusuh karena listrik mati kala berlangsungnya Piala Dunia 2010.

Ya, itulah sepak bola. Karenanya, enam suporter PSIS tewas menjelang final Liga Indonesia 1999. Karenanya pula, ribuan Bonek terpaksa harus bertahan menghadapi serangan FBR jelang laga 8 Besar Ligina 2005 di Senayan. Ini yang mungkin menjadi alasan penting bagi para pemuda untuk giat bekerja selain demi mentraktir pujaan hati.

Sudah jauh hari saya berupaya menjaga jarak dengan sepak bola, sekeras-kerasnya. Terutama pasca tragedi Kanjuruhan. Dan akan terus mencoba. Tetapi, sebagaimana Mahfud Ikhwan dan Darmanto Simaepa, ternyata sulit bahkan sekadar untuk meninggalkan informasi aktual mengenai klub yang paling saya suka.

Entah pemaknaan macam apa yang hinggap di benak Masbox terhadap sepak bola sekarang. Mungkin saja berbeda. Yang pasti, saya hanya bisa berusaha menikmatinya di depan layar kaca.

Zine yang kami garap. (Foto: Dokumentasi Yogi Esa Sukma Nugraha)
Zine yang kami garap. (Foto: Dokumentasi Yogi Esa Sukma Nugraha)

Menerbitkan Buku

Masbox melepas masa lajangnya bersamaan dengan serangan wabah yang meluluhlantakkan dunia. Ia menikahi seorang perempuan bernama Ismi Aulia. Sementara dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, corona beranak-pinak tanpa ampun sepanjang tahun-tahun itu.

Seolah kekuatan asmara yang bersemayam di lubuk hati mereka tak gentar menghadapi wabah dahsyat. Pernikahan keduanya lalu diselenggarakan sederhana. Kelak, buah cinta mereka melahirkan bayi mungil yang diberi nama: Pena Arrasyid.

Sesekali kami masih menyempatkan diri untuk berkumpul. Sekadar ngobrol santai, atau saling bertukar pandangan tentang hidup yang kian muram. Dan lagi, sepak bola tak luput dari pembahasan. Ia pun tak sungkan membantu kawan yang kesusahan.

Berkali-kali bantuan datang dari uluran tangan yang ia berikan. Salah satunya, saat Jayalah Persibku – putra mendiang Ayi Beutik – berencana untuk merancang zine bersama kawan-kawannya. Masbox terlibat penuh dalam proses pembuatan zine tersebut. Ia juga tak sungkan untuk berkontribusi jika ada kawan lain yang membutuhkan tenaga dan pikirannya.

Tatkala Bandung Alliance Supporter (sebuah kolektif yang diinisiasi Amet Ramadhan dan kawan-kawan) berencana menerbitkan zine, Masbox turut menyumbang sebuah tulisan. Suatu hal yang di kemudian hari, diikuti Northernwall – yang juga meminta keterlibatannya. Meski begitu, terkadang ia juga bisa amat menjengkelkan.

Kecintaannya pada buku bisa dibilang sangat berlebihan: Ia sangat overprotektif – untuk tidak berkata pelit – dalam urusan meminjamkan buku-buku yang dipunyai. Berkali-kali upaya saya gagal di tengah jalan saat hendak bersiasat meraih buku di perpustakaan kecil miliknya. Syukurlah, kebaikan yang ia tanam lebih dominan dibanding perilaku yang bikin saya kesal.

Ia merupakan seorang penyabar. Tak terhitung berapa kali ia hadir memenuhi undangan diskusi di kampus – dan mesjid dekat rumah – saya untuk menyampaikan materi yang dikuasainya. Masbox terlihat gembira jika ditawari mengisi sejumlah kegiatan sebab ia mencintai buku dan diskusi.

Saya senang bisa mendapat manfaat dari kesenangannya itu. Kadang saya berpikir, seharusnya dia yang menjadi guru anak-anak di sekolah. Sebab saya pun kagum akan kecerdasannya, meski umurnya berada di bawah: Kami terpaut dua tahun, ia lebih muda. Bahkan kadar religiusitas yang ia punya rasanya lebih tinggi dari saya beserta kawan lainnya.

Dan tentu saja ia jauh lebih berpengetahuan. Saya pikir itu yang membuatnya menyenangkan sebagai kawan. Itu pula yang kelak membuatnya dapat bercakap-cakap dengan siapa saja. Tanpa memedulikan siapa dan dari kelompok sosial mana ia berasal.

Jika mengingat masa-masa yang telah lalu, saya ingin mengatakan pada setiap orang bahwa itu merupakan salah satu momen yang amat sangat menggembirakan. Sesuatu yang kini hilang. Dan tentu tak bisa terulang kembali. Sebab, kami sudah disibukkan oleh perkara sehari-hari. Beruntung pekerjaan yang dilakoninya sekarang tidak jauh dari buku.

Ia mengemban amanah menjadi pustakawan yang letaknya di tengah Kota Bandung. Suatu hal yang terbukti membuatnya jadi kian produktif. Saya percaya ia bakal membaca (dan kembali menulis) jika berjumpa waktu luang atau ketika deadline masih terlampau lama. 

Beberapa waktu lalu kabar menyenangkan masuk ke telinga saya. Dalam satu pertemuan bersama kawan-kawan, Masbox mengatakan bahwa ia bakal menerbitkan sebuah buku berisi kumpulan kritik yang diarahkan pada pengelola klub Persib. Sebagian besar isi buku berasal dari esai-esai yang dulu pernah ia tulis.

Bukan main saya senang. Terbukti sudah dugaan sebelumnya. Kebetulan ia pun meminta saya untuk memberikan kata pengantar. Untuk itu, saya hendak memastikan padanya jika tulisan ini kelak akan dikembangkan menjadi pengantar buku yang kabarnya dirilis akhir tahun 2023.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sepak bola

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//